MENGAPA DINAMAKAN KENANGAN?

1729 Words
POV ADHIT  Setiap melewati SMA Harapan Bangsa, aku selalu memalingkan muka. Terlalu banyak kenangan menyakitkan di sana. Namun beberapa minggu ini, aku harus masuk kembali ke dalamnya dan terpaksa merasakan bagaimana satu per satu kenangan itu dihadirkan kembali ke hadapanku tanpa ampun. Tidak ada satu pun tempat di sudut sekolah ini yang bisa kujadikan tempat bersembunyi. Menghindar dari bayangannya yang berlarian ke sana kemari. Bahkan, meskipun lapangan basket tempatnya dulu sering mencetak skor untuk kelas telah berubah menjadi aula serba guna, tetap saja aku seakan bisa melihatnya bersandar di dinding aula dan tersenyum hangat ke arahku. Shila, seandainya kamu tahu, bagaimana sulitnya diriku hidup tanpa sosokmu di sampingku. Kamu mungkin berpikir kalau aku sudah mencampakkanmu dan membuatmu menderita. Kamu mungkin berpikir kamulah pihak yang paling dirugikan dalam masalah kita. Seandainya kamu tahu, Shila. Seandainya aku punya keberanian memberitahumu. “Ngelamun lagi?” Suara seseorang menarikku dari bayangan masa lalu. “Hai, Feb. Udah lama datang?” “Baru aja. Sorry, Dhit jadi lama nungguin, ya?” “Enggak papa. Aku juga enggak ada kerjaan di rumah. Jadi datang lebih cepat ke sini.” “Akhirnya. Sudah dua puluh tahun, ya?” Febi mengembuskan napas dan berjalan ke arah aula. “Ya. Rasanya seperti baru kemarin.” “Masih sering memikirkan dia?” “Hhh. Bahkan terapi pun tidak bisa membuatnya hilang dari sini,” kataku sambil mengetuk-ketuk pelipis. “Mungkin …, karena ada masalah yang belum terselesaikan di antara kalian,” kata Febi. Dia menarik kursi yang kelihatan tidak rapi dan keluar dari barisan. Aku mengernyit. Hubunganku dan Shila memang berakhir. Namun tidak berakhir baik-baik. Ada permasalahan yang kusembunyikan dari dia dan itu membuatku merasa sangat bersalah. Aku terpaksa harus menyakitinya untuk bisa membuatnya lepas dariku. Jika tidak begitu, dia akan terus mencariku dan aku takut dia akan merasakan sakit lebih banyak. “Aku tidak suka rasa sakit, Dhit. Aku benci rasa itu,” ujarnya ketika aku memergokinya menangis karena terjatuh dan lututnya berdarah. Gadis seperti dia, yang terlihat kuat di luar, ternyata rapuh di dalam. Gadis seperti dia, yang membuatku jatuh hati dan selalu ingin melindunginya. “Apa yang membuat cewek kayak Shila jadi istimewa? Yang lebih cantik banyak, lebih kaya, lebih seksi. Kenapa harus Shila?” Pertanyaan seperti itu sudah sering kuterima ketika SMA dulu. Semakin orang-orang berusaha memisahkan aku dari Shila, semakin Shila terlihat istimewa dan ingin terus kulindungi. “Sudah berhenti dulu ngelamunnya. Itu coba tolong dicek, apa soundnya cukup?” Febi menepuk bahuku dan menunjuk ke arah panggung dengan dagunya. “Kayaknya cukup, Feb. Kita, kan nggak mau bikin konser musik. Sound bagus-bagus juga buat apa, sih?” “Ya mana tahu ada yang mau karaokean. Aku lihat di list yang mau datang, ada biduan-biduan kita zaman dulu, lho. Kayak Widi dan Astrid. Inget, nggak?” “Yang sering mewakili sekolah buat lomba nyanyi, kan?” “Yup. Tepat sekali.” “Eh, ngg ..., anu. Aku boleh lihat list peserta yang bakal hadir?” Febi tergelak, aku tahu dia mengerti apa mauku. “Mau ngecek apa dia datang atau enggak, ya?” tanyanya. Aku hanya tersenyum malu. “Nih, cek saja sendiri biar lebih yakin. Kalau aku yang bilang pasti dipikirnya aku sekongkol.” “Kamu, kan sahabatnya, Feb.” Perempuan bertubuh semampai itu menghela napas. “Sahabat macam apa aku yang membiarkan sahabatnya kesakitan sendiri?” Dia pun tersenyum sinis. “Bukan cuma kamu yang merasa bersalah sama Shila. Aku juga. Seharusnya aku langsung pulang sewaktu kudengar dia nggak jadi datang ke Jogja. Seharusnya aku bisa memediasi kalian berdua, jadi nggak harus sampai seperti ini. Dan seharusnya aku, tuh memukul kepalamu sampai bolong sehingga otakmu dapat oksigen dan bisa berpikir jernih.” Kalimat terakhir diucapkan Febi dengan tajam. Dia adalah orang yang sangat mengecam keputusanku untuk berpisah dari Shila. Apa pun alasannya, bagi Febi keputusan yang kuambil itu karena aku sedang tidak bisa berpikir jernih. Padahal jika kupikirkan baik-baik, aku dan Shila tidak harus putus dan saling menyakiti. “Sudahlah, Feb. Semua sudah berlalu. Kita sudah sering ngebahas ini.” “Dhit, kalau kamu bahagia sama pernikahanmu, aku nggak masalah. Tapi ini, kamu kayak tertekan! Padahal punya istri cantik dan anak yang ganteng dan cantik juga, tapi kamu tetap kelihatan nggak bahagia. Tuh, coba lihat rambut putihmu, udah banyak banget untuk orang seumuran kamu.” “Cuma kamu sama mamah yang berpikiran aku nggak bahagia.” “Karena cuma kami yang memahami perasaanmu yang sesungguhnya.” “Kalau kamu memahami perasaanku, seharusnya kamu bisa bantu aku, Feb.” “Bantu apa? Menemukan Shila? Aku udah nggak tahu lagi harus nyari ke mana. Dia kayak ditelan bumi, tahu nggak. Bahkan keluarganya pun nggak mau ngomong.” “Keluarganya di Bandung, kan sekarang?” tanyaku. Febi mengangguk. “Seperti yang kamu ceritakan, kamu punya banyak kesempatan untuk baikan dengan Shila. Tapi kamu lepaskan. Sekarang ..., kenapa kamu ngebet minta ketemu sama dia? Dia sekarang sudah punya keluarga sendiri. Ketemu sama kamu tidak akan mengubah apa-apa,” kata Febi dingin. Dia benar. Aku memang egois. *** Setelah perpisahaan kami di terminal Cilacap, aku ingat hujan turun dengan deras selama berhari-hari. Semakin deras kudengar suara hujan, semakin hatiku tertusuk-tusuk. Aku tahu Shila sedang menumpahkan amarahnya dan juga kesedihannya. Semakin deras hujan turun, semakin hancur perasaannya. Dan aku hanya orang bodoh yang tidak bisa mendatanginya dan menghiburnya. “Pergi temui dia, Dhit! Bawa dia pergi ke manapun kamu mau. Jauh dari sini. Kalau perlu buang keluargamu, asal kalian hidup bahagia!” Berkali-kali Mamah menyarankan hal itu padaku. Namun aku menolak. Shila mungkin sedang terluka parah, tapi dia akan bangkit. Dia gadis kuat yang akan kembali berjalan tegak. “Lalu kamu memilih hidup tidak bahagia dengan gadis yang tidak kamu cintai?” tanya Mamah ketika aku mengambil keputusan yang menurutnya salah. “Cuma dengan cara ini Adhit bisa memperbaiki masa lalu, Mah. Adhit nggak mau melakukan kesalahan yang sama kedua kali.” “Walau harus mengorbankan kebahagiaanmu? Kebahagiaan Shila?” “Walau harus mengorbankan kebahagiaan kami berdua,” sahutku mantap kala itu. Mamah hanya memandangiku tak percaya. Namun kuyakin, dia selalu mendukung apa pun keputusanku. Setelah hari itu, hari di mana aku resmi menjadi suami bagi perempuan yang bukan Shila, hidupku seperti mengambang di atas awan. Seolah aku hidup tapi sebenarnya mati. Seperti aku mati tapi aku masih bernapas. Pikiranku seperti terblokir. Sekeras apa usahaku untuk mencintai dan menerima istriku, aku selalu gagal. Perasaanku tidak bisa berkhianat. Aku masih dan selalu mencintai Shila. Bahkan ketika anak pertamaku lahir, duniaku tidak sepenuhnya teralihkan dari Shila. Aku bisa mencintai putraku, bermain bersamanya, juga tertawa bersamanya. Namun ketika kupandangi istriku, kepalaku mendadak hening. Seolah segala ingar bingar di sekitarku tercabut begitu saja. Aku masih dan tidak akan pernah menerima dia di hatiku. *** Tahun 2000 akhir, aku bertemu Shila secara tak sengaja di Bandung. Dia hampir tak bisa kukenali. Tubuhnya sangat kurus dan rambutnya sangat pendek. Sangat berbeda dengan Shila yang kukenal. Sorot matanya juga sangat dingin. Aku ingin menjangkaunya. Memeluk dan menopang tubuhnya yang sepertinya sangat rapuh. Sayang aku tak bisa. Aku hanya bisa memandanginya dari jauh dan menitipkan dia pada sepupuku, Zaki. “Kamu sudah tahu semua ceritanya, Ki. Tolong berikan ponsel ini sama Shila, terserah kamu gimana caranya. Aku nggak tega lihat dia selalu ngantri ke wartel buat nelpon.” “Kenapa nggak kamu coba ngasih sendiri, Dhit? Mungkin aja reaksinya di luar perkiraanmu.” “Gila! Di luar perkiraan giman? Nggak akan pernah aku nemuin Shila, Ki. Aku nggak mau bikin hatinya makin hancur.” “Kalau semisal, nih. Semisal, ya, Dhit, pas kalian ketemu hati Shila nggak hancur, gimana? Malah bahagia.” “Ya kalau emang itu perasaan dia, terus kita mau apa? Aku, kan nggak mungkin nyuruh Shila nunggu aku jadi duda.” Itu benar. Aku nggak mungkin memintanya menungguku, sementara dia punya kesempatan untuk bahagia. Aku egois kalau begitu. Satu kesempatan emas untuk baikan sama Shila di Bandung lewat begitu saja. Aku nggak pernah punya keberanian untuk menemuinya. Yang aku lakukan hanyalah jadi pengecut, yang diam-diam misscall ke ponselnya. Atau sampai terdengar suara ‘hallo’. Itu sudah cukup menyudahi perasaan rinduku padanya. *** “Gimana persiapan reuni besok?” tanya Mamah ketika menyambutku pulang ke rumah. “Sudah beres. Semua oke. Kalau di handle Febi, semua urusan pasti clear,” jawabku sambil memeluk perempuan tersayangku dan mengecup puncak kepalanya. “Mandi dulu sana, badanmu bau matahari!” Mamah mendorongku dan menutup hidung. Aku tergelak dan berjalan dengan langkah lebar ke kamarku. Usai mandi, masih berkalungkan handuk untuk mengeringkan rambutku yang basah, aku menghampiri Mamah yang duduk di teras belakang sambil memandangi kebun buah dan sayuran. “Cabainya sudah merah-merah kenapa nggak dipetik, Mah?” Perempuan yang masih awet cantiknya meski seluruh rambutnya sudah memutih, menoleh padaku dan tersenyum. “Sengaja. Mamah suka melihat warna-warninya. Cantik.” “Masih cantikkan Mamah,” kataku menggoda. Beliau tertawa lepas. Senang rasanya melihat Mamah bahagia. “Dhit, menurut kamu ....” Mamah tidak melanjutkan kalimatnya, sepertinya dia ragu. “Kenapa, Mah? Mamah perlu sesuatu?” Dia menggeleng. Wajahnya tiba-tiba berubah muram. “Tapi kamu jangan marah, ya kalau Mamah tanya sesuatu.” Mamah memandangku takut-takut. Sepertinya aku tahu dia hendak mengatakan apa. “Nggak mungkin Adhit marah, Mah. Bilang aja Mamah mau apa.” “Mamah nggak mau apa-apa, Dhit. Mamah cuma mau nanya. Apa ..., apa mungkin ....” “Ya?” tanyaku mulai tak sabar. “Menurut kamu, apa mungkin ..., besok Shila bakal datang?” Mata Mamah menatapku penuh harap. Aku menggeser dudukku mendekatinya dan merangkul bahunya. “Hhh. Adhit nggak tahu, Mah. Sampai hari ini tidak ada konfirmasi dari dia. Semoga ada keajaiban, ya, Mah. Jadi kita bisa ketemu dia lagi,” kataku sambil mengusap bahunya. “Kita harus minta maaf sama dia, Dhit. Mamah mau ketemu dia sebelum meninggal.” “Mah, sudahlah.” Kurasakan Mamah memandangku lekat-lekat. Mau tak mau aku memalingkan wajah ke arahnya. “Mamah tahu, kamu kangen banget sama dia. Kalian harus ketemu sekali lagi meski menyakitkan. Meski nggak akan bisa mengubah masa lalu maupun masa depan. Shila harus tahu kebenaran ceritanya.” “Adhit tahu, Mah. Adhit ngerti,” kataku sambil memeluknya semakin erat. Aku menyandarkan kepala Mamah ke dadaku. Berdua kami memandangi gerimis yang mulai turun membasahi daun-daun. Aku memejamkan mata. Berharap hujan deras turun dan aku bisa merasakan kehadiran Shila bersama hujan. Asyifa Deshila, perempuan hujanku. Sekali ini aku berharap, semoga semesta mempertemukan kita kembali dan memberi kesempatan padaku untuk meminta maaf. ©        
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD