(Sebulan sebelum reuni)
Wijatmoko, itu namanya. Di tempat dugem ini orang mengenalnya dengan nama Mike. Hei, nama itu terdengar lebih elegan ketimbang nama kampung pemberian orang tuanya! Dia nggak mungkin jejingkrakan sambil mendekati perempuan dengan nama seperti itu. Perempuan akan langsung mengira kalau dia sopir yang sedang mengantar tuannya dugem.
Sambil bergoyang mengikuti hentakan musik, langkah Wijat perlahan tapi pasti semakin dekat ke arah perempuan incarannya. Perempuan cantik yang dilihat dari bodynya mungkin berumur 30 tahunan. Di bawah lampu disko yang temaram dan berkelip, rona merah bibirnya masih terlihat jelas dan yang paling memikat darinya adalah bagian bawah tubuhnya yang aduhai.
Bukan hanya dia yang berusaha mendekatinya sedari tadi. Beberapa lelaki sudah memberi isyarat untuk mengajaknya menepi dan minum. Tetapi perempuan itu seolah datang hanya untuk menikmati musik. Dia bergoyang tak memedulikan sekitarnya. Gerakan tubuhnya terkesan liar dan erotis. Membuat lelaki yang memandangnya dipenuhi fantasi dan ingin segera mengajaknya ke tempat tidur.
Semakin dekat ke arahnya, Wijat semakin bisa melihatnya dengan jelas. Sesuai perkiraan, dia memang cantik. Rambutnya lurus dengan poni ala Cleopatra. Hidung mungil berujung runcing dan sorot matanya yang tajam menggoda. Belum lagi senyum dikulumnya yang seolah memberi harapan pada Wijat untuk mendekatinya.
“Ah, aku lelah. Bisa papah aku ke tepi?” Tiba-tiba perempuan itu menjatuhkan diri ke tubuh Wijat.
Rezeki nomplok, pikir Wijat. Tak disangka semudah ini mendapatkan incarannya. Wijat pun membawa tubuh perempuan itu ke tepi dan mendudukannya di kursi bar.
“Mau minum?” tawar Wijat. Perempuan itu mengangguk dan menyebutkan sebuah nama cocktail. Tak berapa lama minuman pun datang, perempuan itu menghabiskan isi gelas dalam sekali teguk.
“Tidak perlu tambah. Aku harus menyetir pulang,” katanya sambil berdiri. Langkahnya sedikit terhuyung. Dia berpegangan kembali pada sandaran kursi.
“Kamu mabuk. Biar aku antar pulang,” tawar Wijat.
“Apa? Mabuk?” Perempuan itu tergelak. Cara tertawa yang memikat, membuat Wijat ikut tertawa bersamanya.
“Aku masih bisa melihatmu dengan jelas, Ganteng. Aku nggak mabuk. Dahhhh ...” Perempuan itu pun pergi hendak meninggalkan Wijat.
“Tunggu! Siapa namamu?” Wijat menangkap siku perempuan itu dan menariknya mendekat.
Dari jarak kurang dari sejengkal, Wijat bisa mencium aroma manis cocktail yang dia minum tadi. Bibir merahnya membuka, sangat menggoda untuk ... menciumnya.
Ya, Wijat mencium perempuan itu. Dia tak peduli sekalipun setelah ciuman itu berakhir dia akan dihadiahi tamparan dan makian. Namun yang terjadi malah sebaliknya, perempuan itu membalas ciuman Wijat dengan gairah yang menggebu. Tangannya mengerayangi punggung Wijat dan tubuhnya ditempelkan begitu lekat ke tubuh Wijat. Dia pun menggoyangkan tubuhnya mengikuti irama musik. Membangkitkan gairah kelelakian Wijat.
“Sudah cukup. Cinderela harus pulang sebelum sepatu kacanya berubah jadi sendal butut,” katanya tiba-tiba sambil melepaskan diri dari belitan tubuh Wijat. Dia mengecup bibir Wijat yang masih sedikit membuka lalu pergi begitu saja meninggalkan Wijat yang setengah bengong.
“s**t!” Maki Wijat saat menyadari jika dia belum mendapatkan nama dan nomor ponsel perempuan itu.
“Kenapa? Nggak dapat nomernya? Gue punya, kok.” Seseorang berbisik di telinga Wijat.
“Elo? Kok, bisa?” tanya Wijat tak percaya saat menyadari siapa yang berbisik di telinganya itu.
“Ya kenapa nggak bisa? Bukan susah dapetin nomornya. Yang susah itu adalah menghubungi balik setelah pertemuan tiba-tiba kayak elo tadi.”
“Maksudnya gimana, nih?”
“Maksudnya, bukan cuma elo laki-laki yang di PHP-in dia kayak tadi. Kalau sekadar ciuman, sih, beberapa orang di klub ini juga pernah. Tapi giliran ditelponin, tu perempuan ngilang. Nggak pernah angkat telepon.”
“Mungkin dia punya dua nomor.”
“Bisa jadi,” sahut temannya sambil manggut-manggut.
“Omong-omong, siapa, sih nama perempuan tadi?” tanya Wijat penasaran.
“Hastuti. Hastuti Wennemer.”
Seketika darah Wijat meninggalkan kepala dengan cepat. Bayangan masa lalu berkelebat di kepalanya. Ada sebuah nama yang sama yang dulu sering jadi bahan olok-olokan sewaktu SMA. Wijat tak mungkin lupa pada perempuan itu. Karena perbuatan ayah perempuan itu, keluarganya menjadi berantakan.
Namun tidak mungkin mereka orang yang sama, kan? Berapa persen kemungkinan itu? Wijat mendengus. Tidak mungkin! Hastuti yang dia kenal sangat jelek dan gendut. Eh, tunggu dulu. Apa katanya tadi? Dia mengaku kalau dirinya itu Cinderela yang akan berubah kalau pulang telat?
Gila! Nggak mungkin banget, kan? Hastuti yang cantik tadi kalau jam dua belas teng berubah jadi Hastuti yang kampungan? Nggak. Itu nggak mungkin. Wijat lelaki dewasa dengan hormon pejantan yang sehat. Dia bukan anak perempuan cengeng yang percaya sama kisah-kisah fairy tales.
Shit! Perempuan tadi benar-benar bikin Wijat penasaran.
***
Pandangannya kosong. Sambil mengetuk-ngetukkan jari-jemari di meja, Wijat memandangi perempuan lima puluh tahunan yang berdiri mondar-mandir di depannya. Belahan kancing atasnya terbuka. Disengaja. Wijat tahu perempuan ini sedang memancingnya.
Untuk apa jam 7 malam dia mengadakan meeting di kantornya yang tertutup rapat? Hanya berdua lagi!
“Kamu dengar penjelasanku nggak, sih? Ini proyek penting, lho!” gertak Bu Isye, atasannya.
“Sepenting apa?” tanya Wijat balik.
“Nilainya em em-an!” kata Bu Isye sambil meletakkan dokumen di hadapan Wijat.
“O, ya? Kalau ini berapa nilainya?” tanya Wijat sambil menarik tangan Bu Isye hingga perempuan itu jatuh di pangkuan Wijat.
Wijat memeluk Bu Isye seperti menggendong bayi. Lalu dia mendekatkan bibirnya ke bibir perempuan itu.
“Sebenarnya ini yang kamu mau, kan?” tanya Wijat sambil memagut kuat-kuat bibir Bu Isye sementara tangan yang bebas mulai melepaskan kancing blouse Bu Isye.
Tidak ada perlawanan dari Bu Isye karena memang itu yang diharapkan, cumbuan Wijat. Dia tidak berani membawa Wijat ke rumahnya karena ada suaminya di sana. Ke hotel juga tidak mungkin kalau jam segini, bisa-bisa kepergok relasi atau teman. Jakarta kelihatannya besar, tapi ketika main sembunyi-sembunyi, tiba-tiba Jakrta seukuran rumah tipe 21. Ke manapun sembunyi selalu ketahuan.
Sudah lima tahun ini Wijat menjadi lelaki simpanan Bu Isye. Bagi perempuan karir sepertinya, hal semacam ini bukan hal yang tabu. Kehidupan rumah tangganya yang monoton kelihatan membosankan. Bagi Bu Isye, menjaga kewarasannya adalah dengan mengencani lelaki yang usianya jauh di bawah dia. Dengan begitu dia merasa memiliki gairah layaknya remaja dan juga merasa cantik dan percaya diri. Apa lagi di usianya yang awal 50, Bu Isye masih datang bulan dengan teratur. Sehingga tidak ada kesulitan baginya ketika melakukan penetrasi.
Wijat mendudukkan Bu Isye di pangkuannya. Sambil menciumi d**a Bu Isye yang terbuka, dia mulai melolosi celana dalam Bu Isye. Dengan terburu-buru, Wijat melepas celananya sendiri dan mengeluarkan senjata kebanggaannya yang telah meniduri puluhan perempuan.
Setelah menemukan posisi yang tepat, mereka berdua pun mulai saling pacu. Kadang lambat, kadang cepat. Mengatur tempo teramat penting dalam sebuah permainan seksual. Semakin lama bermain, semakin leluasa dua insan saling menjajal titik kenikmatan masing-masing. Sudah setengah jam Wijat dan Bu Isye berpeluh-peluh. Bu Isye sendiri sudah berkali-kali mencapai klimaks dan dia terlihat puas. Namun Wijat belum sekalipun menemukan titik puncak. Sengaja. Dia sengaja berlama-lama agar Bu Isye kelelahan dan semakin puas. Begitulah cara Wijat mengikat Bu Isye padanya. Dia sadar, jika pelayanan yang diberikan kurang, Bu Isye dengan mudah akan menggantinya dengan yang lain.
Hidup di metropolitan dengan gaya yang glamor tidak mudah. Wijat butuh uang tambahan di luar gaji. Inilah caranya mencari uang tambahan. Dengan memacari perempuan-perempuan kaya dan kesepian.
Bu Isye, bukan satu-satunya. Dan Wijat harus pandai melangkah. Jika ketahuan, ladang uangnya bisa hilang dan dia akan hidup menggembel di ibu kota.
Wijat menggendong Bu Isye dan merebahkannya di atas meja. Dengan sekali gerak, dia meniduri Bu Isye dan mulai memacunya kuat-kuat. Tak perlu pengaman karena Bu Isye sudah steril. Wijat bebas menyemprotkan cairan kebahagiaanya di dinding rahim Bu Isye tanpa perasaan was-was.
“Kamu memang selalu bisa membuatku kelelahan,” kata Bu Isye sambil menciumi telinga Wijat.
“Terima kasih karena bertahan untukku,” sahut Wijat terengah.
“Aku senang.”
“Mau membuatku lebih senang tidak. Sekali ini saja.”
“Apa?” tanya Bu Isye heran mendengar permintaan Wijat yang tidak biasa.
“Kasih aku cuti bulan depan. Aku mau pulang kampung sebentar.”
Bu Isye semakin heran menatap Wijat. Pulang kampung? Tumben. Biasanya Wijat paling anti pulang kampung. Meskipun ketika mendengar berita kematian ibunya, Wijat tetap bertahan tidak pulang dan membiarkan jasad ibunya dikubur tanpa kehadirannya, anak tertua.
“Kenapa tiba-tiba?”
“Aku mau datang ke reuni SMA.”
“Apa?!” ©