BAB 2

1609 Words
Tuk.. Tuk.. Tuk.. Aku terbangun setelah mendengar bunyi itu. Saat aku membuka mata, aku mengarahkan pandanganku ke ruangan kelasku. Aku agak tertegun saat melihat Satria mengamataiku dari tempat ia duduk. "Sore," sapanya. Aku hanya tersenyun kecil sembari mengeliat ringan. "Hai," "Kamu semalam begadang, Nisa hingga kamu selalu ketiduran di kelas?" tanya Satria menebak-nebak. Aku hanya tersenyum tipis. "Ya, semalaman aku tidak bisa tidur," jawabku. "Kenapa?" tanya Satria penasaran. "Sudah tiga bulan ini aku mengalami insomnia," ucapku dengan jujur. "Wah, apa kamu sudah memeriksakannya ke dokter?" tanya Satria. Aku menggeleng. "Tidak, ini bukan sesuatu yang bisa diselesaikan oleh dokter," tolakku. "Ngomong-ngomong, mengapa kamu masih di sini?" tanyaku heran. "Hujan lagi," jawab Satria. "Eh?" "Wah! Payungmu!" pekikku teringat kalau aku belum mengembalikan payung milik Satria. Parahnya, aku juga lupa membawanya. Satria tersenyum. "Aku membawa payung, mau pulang bersamaku?" tanya Satria. "Hm, tapi aku-" "Jika pacarmu sudah datang menjemput, kamu boleh pergi dengannya. Aku hanya ingin mengantarmu sampai depan," ucap Satria. Aku pun menyetujui usulan Satria. "Baiklah," Kami pun berjalan bersama untuk kedua kalinya. Aku agak terkejut saat Satria mengeluarkan payung hitam. "Payungmu," aku terdiam memandang ragu pada payung hitamnya. "Ah, aku punya dua," "Oh," Aku terdiam, menatap sepatu Satria yang sedikit basah dan berlumpur. "Kamu tadi keluar, Sat?" tanyaku. Satria menggeleng. "Tidak, kok!" "Aaaaaaaaaaaaa!!!" Teriakan nyaring itu membuatku dan Satria kaget. Entah karena reflek atau tidak, Satria membuang payungnya dan berlari ke sumber suara. Aku pun melakukan hal yang sama. Seorang gadis dengan muka pucat basi terkulai lemas dengan payung yang lepas dari tangannya. "Ada apa?" tanyaku. "Itu!" tunjuk Satria. Aku mengarahkan pandanganku pada danau di depanku. Sesuatu mengambang di tengah Danau dan bagaimanapun aku melihatnya, itu tubuh manusia. "Itu mayat," gumam Satria membuatku menatapnya heran. "Hei, itu tas Dana!!" Aku mengarahkan pandanganku pada teriakan itu. Seorang lelaki sudah berdiri tak jauh dariku dengan beberapa orang lainnya. Dalam sekejap, suasana menjadi kacau dan ramai. "Aku akan menelpon polisi," ucap gadis yang pertama kali melihat tubuh itu. Tiba-tiba handphoneku berbunyi, ada panggilan masuk. Aku pun mengangkatnya. "Halo? Nisa kamu dimana?" suara di seberang sana terdengar. "Fer, kemarilah! Aku ada di dekat Danau!" "Ada apa?" tanya Ferdi. "Perburuan kita baru saja dimulai!" “Baiklah! Aku segera kesana!” “Iya, kutunggu!” *** Mayat Dana, mahasiswa jurusan Teknik Sipil telah dievakuasi. Dilihat dari penampilannya, bisa dipastikan dia tenggelam. Namun, penyebab utama kematiannya masih belum diketahui. "Nisa," Aku menoleh pada Ferdi yang duduk disampingku. Kami sudah berada di kantor polisi. Kami tidak sendiri, kami juga bersama dengan Satria, gadis yang pertama kali menemukan mayat Dana dan juga seorang lelaki yang mengenali Dana hanya dari tasnya. Kami semua di sini sebagai saksi mata. Namun, agaknya yang berada di kantor polisi saat ini adalah para tersangka. "Nis," Aku tertegun dan menatap Ferdi. "Kamu melamun?" tanyanya. Aku hanya menggelengkan kepalaku pelan. "Tidak, ada yang sedang kupikirkan," sanggahku. "Jika boleh aku tahu, apa itu?" tanya Ferdi penasaran. "Terjadi dua penyimpangan kali ini," jawabku. "Dua?" kata Ferdi sembari mengerutkan keningnya. Aku mengangguk. "Pertama, waktu kematiannya semakin maju," aku terdiam, menelan ludah untuk sedikit membasahi kerongkonganku yang kering. "Lalu?" tanya Ferdi tidak sabaran. "Sang korban telah berubah menjadi tersangka," jawabku. "Eh?" Ferdi terlihat kaget. "Maksudmu?" tanya Ferdi sembari menatap Satria. Aku pun mengarahkan pandanganku pada Satria yang sedang memberikan keterangan. "Ya, yang seharusnya mati adalah dia," kataku menegaskan. "Jadi dia pelakunya?" tanya Ferdi mengambil kesimpulan. Aku mengangkat kedua bahuku. "Entahlah, dua orang lainnya juga mencurigakan," jawabku masih ragu. "Dua orang? Maksudmu mereka?" tanya Ferdi sembari menatap dua orang lain yang juga sedang dimintai keterangan. Aku mengangguk mengiyakan. "Heem, mereka!" "Apa yang membuatmu curiga?" tanya Ferdi. "Fer, setajam apapun mata manusia, dia tidak akan mampu mengatakan kalau apa yang dilihatnya tubuh manusia bukan?" tanyaku. "Iya, kamu benar!" "Bahkan meski yang mengambang hanyalah sepotong kayu, bisa saja kita menganggapnya tubuh manusia," Ferdi menambahkan. "Nah, itu yang membuatku curiga bagaimana seorang gadis di tengah hujan berteriak dia melihat mayat padahal bisa saja itu potongan kayu atau sesuatu yang lain bukan?" tanyaku mengeluarkan keherananku. Ferdi mengangguk. "Mungkin saja." Ferdi terdiam membuatku menoleh padaku. "Jika dia pelakunya," imbuhnya. "Lalu, bagaimana dengan lelaki itu?" tanya Ferdi beralih pada tersangka berikutnya. "Dia mengenali tas Dana dari kejauhan. Ketimbang mayatnya, dia lebih menaruh perhatian pada tasnya. Itu sungguh mencurigakan bukan?" tanyaku meminta pendapat Ferdi. "Hm, memang mencurigakan. Namun, hal itu mungkin saja," sanggah Ferdi. "Alasan apa yang membuat seseorang lebih memperhatikan tas orang lain daripada pemiliknya?" tanyaku heran. "Jika yang di dalamnya, lebih menarik!" jawab Ferdi. "Heh?" tanyaku masih belum paham. "Kamu tahu pencuri bukan? Mereka akan lebih memperhatikan tas targetnya daripada targetnya," jelas Ferdi. "Hah?" Ferdi tersenyum. "Tidak usah dipikirkan, yang jelas dia bukan pembunuh!" ucap Ferdi yakin. Aku terdiam. "Bagaimana bisa kamu seyakin itu? Apa kamu peramal?" sindirku. Ferdi tersenyum geli. "Aku bukan peramal, tapi kekasihku seorang watcher! yang tidak kalah hebat dari peramal," katanya membuatku tersipu malu. "Kamu menyebalkan," ungkapku malu. Ferdi tersenyum. "Lalu, bagaimana dengannya?" tanya Ferdi sembari menatap lekat Satria. "Ah, ada banyak hal yang membuatku mencurigainya," jawabku. "Apa saja?" tanya Ferdi. "Aku belum bisa memberitahukannya padamu, tetapi jika dia benar pelakunya, kasus ini akan sangat rumit," ucapku yakin. Ferdi menggaruk alis kanannya sekali lagi. "Maksudmu?" tanya Ferdi tidak mengerti dengan ucapanku. "Kamu akan segera tahu," Ferdi hanya mengangguk. "Baiklah," Tak lama kemudian, seorang polisi muda agak terburu mendekati seorang polisi yang pangkatnya lebih tinggi darinya. Mungkin dia komandannya. Mereka pun bercakap-cakap dengan wajah tegang dan serius. "Apa???" teriak komandan polisi itu. "Maaf," "Jejak kaki pelaku berbaur dengan para jejak kaki mahasiswa yang lain?" teriak komandan itu. Polisi muda yang sepertinya masih baru itu hanya mengangguk dengan wajah ketakutan. "Lalu bagaimana kita menemukan pelakunya jika begitu? Segera amankan TKP dan barang bukti!!" pekik komandan itu sekali lagi. Polisi muda itu pun mengangguk. "Si-siap, komandan!" ucapnya lalu bergegas pergi. "Tunggu!!" Polisi muda itu berhenti lalu berbalik badan. "Ya, komandan?" sahutnya. "Hasil otopsi, apakah sudah keluar?" tanya komandan itu. Polisi muda itu mengangguk. Entah hanya perasaanku atau tidak, kini para tersangka itu menaruh perhatian mereka pada percakapan polisi muda dan komandan polisi itu. Sepertinya percakapan mereka telah menarik perhatian para tersangka, termasuk perhatianku dan Ferdi. "Apa hasilnya?" tanya komandan itu. "Korban tewas karena luka di kepalanya, komandan!" jawab polisi muda itu. "Dia dipukul dengan benda tumpul lalu ditenggelamkan," imbuhnya. "Baiklah, teruskan penyelidikan!" kata komandan itu memberikan perintah. "Tapi, komandan," polisi muda itu tampak ragu. "Ada apa?" tanya komandan itu. "Ditemukan surat kematian korban di kamar kos korban. Korban mengaku akan melakukan aksi bunuh diri," Aku menangkap sebuah senyuman seseorang saat polisi muda itu mengatakan hal itu. "Ada apa Nisa?" tanya Ferdi. "Sang pelaku, baru saja menunjukkan ekornya," jawabku.    "Eh?" Aku tersenyum kecil. "Fer, ayo kita pergi!" ajakku sembari beranjak dari kursiku. Aku berjalan keluar diikuti Ferdi di belakangku. Saat aku melewati Satria, cowok itu tersenyum. "Nisa, kamu sudah mau pergi?" tanyanya. Aku mengangguk. "Ya, aku sudah selesai memberikan kesaksian," ucapku. "Ah, baiklah! Sampai jumpa," katanya. Aku tersenyum. "Satria," panggilku. "Ya?" sahut Satria. "Payung hitammu," kataku sembali menatap Satria lekat. "Berbalik menikammu!" "Heh?" Aku tertawa geli. "Aku bercanda," ucapku lalu beranjak pergi meninggalkan Satria yang terbengong-bengong. Aku meliriknya dan kutangkap perhatian dari sorot mata sasaranku. Dia terpancing! Aku dan Ferdi telah keluar dari kantor polisi. Ferdi mengambil mobilnya dan aku pun bergegas masuk saat pintu mobilnya terbuka. Mobil pun mulai melaju pelan. "Nisa," Aku menoleh pada Ferdi yang sedang menyetir. "Ada apa?" tanyaku. "Maksud ucapanmu tadi, apa?" tanyanya penasaran. "Ucapanku yang mana?" tanyaku. "Ucapanmu pada Satria," jawab Ferdi. "Payung hitammu berbalik menikammu," lanjutnya. "Ah, itu!" "Iya, apa maksud ucapanmu itu, Nisa?" tanya Ferdi lagi. Aku hanya menyisir rambut dekat telingaku ke belakang lalu menghela napas panjang. "Kamu tidak ingin memberitahuku?" tebak Ferdi. Aku menggeleng. "Bukan begitu," sanggahku. "Lalu?" "Aku hanya ingin memancing seseorang saat mengatakan hal itu," ucapku pelan. "Memancing?" Aku mengangguk. "Aku sudah membuatnya mengeluarkan ekornya, tentu saja dia akan semakin waspada. Jadi, aku perlu melakukan sesuatu untuk membuatnya melakukan kesalahan," terangku. "Memancingnya untuk melakukan kesalahan? Jadi maksudmu dia memiliki alibi yang sempurna?" tanya Ferdi lagi. Aku mengangguk. "Tidak hanya sempurna, trik pembunuhannya pun begitu rumit dan menyebalkan!" sahutku. "Heh? Bukankah polisi bilang penyebab kematiannya adalah karena dipukul benda tumpul?" tanya Ferdi heran. Aku menggelengkan kepalaku. "Dalam penglihatanku, Satria mati karena ditikam Fer. Kalau pun terjadi penyimpangan dalam korbannya, penyebab kematiannya tidak akan berubah!" kataku menjelaskan. "Jadi maksudmu?" tanya Ferdi mulai memahami arah pembicaranku. Ferdi menoleh padaku sebentar dan aku mengiyakan praduganya. "Jadi, jika penyebab kematiannya berubah, maka-." Ferdi terdiam, enggan melanjutkan hipotesisnya. "Ya, kamu benar! Sesuai pradugamu, pelakunya pun mengalami pergeseran peran!" kataku menegaskan. "Kamu yakin?" tanya Ferdi masih merasa ragu. "Ya, aku sangat yakin. Karena itulah salah satu dari ketiga pelaku di kantor polisi tadi adalah pelakunya," aku memandang lurus ke jalanan di depanku. "Tapi, bisa jadi dua dari mereka bekerjasama," ucap Ferdi memberikan pendapat akhirnya. "Ya, itu mungkin saja. Hal yang perlu kita tahu sekarang adalah isi dari surat kematian korban!" Ferdi mengangguk. "Kalau soal itu serahkan padaku, Nisa!" ucap Ferdi. "Kamu memiliki koneksi?" tebakku. Ferdi menggeleng. "Bukan aku tetapi ayahku," sanggahnya. Aku berdecak kesal. "Itu sama saja," ungkapku. Ferdi tertawa. "Yang penting, kasus ini bisa segera kita tangani bukan?" Aku mengangguk. "Ya, karena ada hal lain yang harus kuselesaikan," "Soal apa?" tanya Ferdi penasaran. "Sesuatu yang sudah lama kutunda," jawabku. "Apa kamu perlu bantuanku?" tanya Ferdi menawarkan bantuan. Aku menggeleng. "Tidak, aku bisa melakukannya sendiri!" tolakku. "Baiklah," kata Ferdi mengalah. "Tapi, jika hal itu beresiko, kamu harus meminta bantuanku!" ujar Ferdi tegas. Aku mengangguk mengiyakan. "Tenang saja, aku akan baik-baik saja. Apa yang akan kulakukan tidak berbahaya sama sekali," kataku meyakinkan. Ferdi menarik napas lega. "Baiklah, aku percaya padamu!" katanya. Aku mengangguk. "Iya, percayalah padaku!" Kami terdiam dalam beberapa saat sampai pada akhirnya kami memasuki sebuah pekarangan rumah seseorang. Ferdi menghentikan mobilnya dan melepaskan sabuk pengamannya. "Rumah siapa ini?" tanyaku penasaran. "Turunlah! Kamu akan segera tahu!" jawab Ferdi seraya keluar dari dalam mobil. Aku pun mengikuti Ferdi, turun dari mobil dan mengejar pacarku yang sudah berjalan ke pintu masuk rumah itu. Kuperhatikan keadaan rumah itu, cukup kotor, luas dan hening. Ferdi menekan bel rumah itu. Tak lama kemudian muncullah seorang lelaki paruh baya di hadapan kami. "Erwin," katanya sedikit kaget saat melihat Ferdi. "Hai, Om! Lama tidak berjumpa!" sapa Ferdi ramah. "Ah, kamu sudah semakin tinggi rupanya!" ucap lelaki itu sembari memeluk Ferdi. Mereka berdua pun saling berpelukan cukup lama. Setelah itu, lelaki itu menatapku. "Ini Annisa, pacar Erwin!" kata Ferdi memperkenalkan aku. "Wah, kamu benar-benar sudah dewasa!" kata lelaki itu lalu mengulurkan tangannya padaku. Aku pun menerima uluran tangan dari lelaki itu. "Aww," jeritku lalu terjatuh ke tanah. Ferdi mendekatiku dan melihatku bingung. "Ada apa?" tanya Ferdi khawatir. Aku menatap linglung sambil menunjuk ke salah satu pojok rumah itu. "Fer, di sana!" tunjukku. "Tidak ada apapun disana!" kata Ferdi heran. "Di sana, aku melihat lelaki itu terbunuh," bisikku nyaris tidak terdengar. "Heh? Kamu mendapatkan penglihatan lagi?" tanya Ferdi heran. Aku mengangguk. "Bukankah kasus Dana belum selesai?" tanya Ferdi  bingung. Aku mengangguk. "Pembunuh lelaki itu," kataku sambil menatap Ferdi dengan air mata bercucuran. "Kamu bahkan melihat siapa pembunuhnya?" tanya Ferdi semakin bingung. Aku mengangguk. "Denis," Ferdi melebarkan pupi matanya lalu memelukku. “Tenanglah! Kita akan baik-baik saja!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD