Bertemanlah Dengannya

1183 Words
Adel melangkah dengan riang menuju sekolah. Dini telah memberitahunya jalur-jalur yang aman dari tawuran sehingga membuat Adel bisa mengurangi kewaspadaannya. Sebelum masuk ke gerbang yang masih sepi, Adel melihat patulan dirinya di cermin sebuah mobil yang terparkir di depan gerbang sekolahnya. Adel tersenyum sendiri sambil melihat bayangan dirinya yang menawan. Adel berhenti sejenak di depan kaca mobil itu untuk merapikan rambutnya. Adel melihat ada sebuah nasi yang menyangkut pada giginya sehingga mengurangi keanggunannya. Adel lantas menyengih untuk menyingkirkan benda itu dari giginya. Tepat saat itu jendela mobil terbuka dan memperlihatkan sosok seorang bapak yang duduk di balik kemudi. Bapak itu berambut pirang itu tertawa melihat raut wajah Adel yang berubah warna menjadi merah padam. “Sudah cantik, Mbak,” goda Bapak itu sambil tertawa. Adel tersenyum canggung, meminta maaf lalu segera mengacir pergi. Si Bapak membuka pintu lalu merapikan jasnya. Dengan langkah pasti dia memasuki gerbang lalu berbicara dengan satpam yang melongo karena melihat rambut pirangnya. “Permisi, Pak. Ruang BP di sebelah mana?” tanya pria necis itu. *** Adel menutupi wajahnya yang merona merah karena kejadian memalukan di depan tadi. Gadis itu menuju kelas dengan langkah cepat-cepat. Dia baru berhenti saat mendengar namanya dipanggil. Nino yang berdiri dalam jarak dua meter darinya tersenyum padanya. “Pagi, Adel,” sapa Nino. “Pagi, Kak.” Adel balas menyapa. “Kamu sudah melihat Dira pagi ini?” tanya Nino. “Belum.” Nino tampak kecewa. “Kalau kamu ketemu dia, tolong beritahu dia kalau aku mencarinya.” “Nino!” Sebuah suara memanggil Nino. Dia memandang lurus ke belakang Adel dengan terpana. Sesosok pria berambut pirang berdiri dengan senyuman menawan di sana. “Paman... itu rambut...” Nino tidak dapat berkata-kata saking takjubnya. Adel menyusuri arah pandang Nino dan terbelalak melihat Pria berambut pirang yang telah membuatnya malu tadi menghampiri mereka dengan senyum yang merekah. “Aku ingin berganti suasana. Bagaimana menurutmu? Aku jadi lebih keren?” kata pria itu sambil menyeringai. Adel hendak menyingkir tanpa suara. Namun, si pria itu rupanya mengenalinya. “Eh, Mbak cantik yang tadi,” goda pria itu sambil menunjuk Adel. Adel terpaksa tersenyum canggung. “Siapa ini, Nino? Kenalkan aku,” kata pria itu jenaka. “Namanya Adel. Dia teman sekelas Dira,” kata Nino. Mata pria itu melebar. Dia lalu mengulurkan tangannya pada Adel. “Kenalkan, Mbak Adel. Saya Ayah Dira dan Nino.” Adel terbelalak. Pria ini ayah Dira dan Nino? Adel segera menyadari wajah tampan pria itu yang diwariskan pada kedua putranya. Meski sudah tidak muda lagi, pria nyentrik itu masih tampak menawan. Adel menjabat tangan pria itu dengan hormat. “Mungkin Dira sedikit menjengkelkan, tapi sebenarnya dia anak yang baik. Bertemanlah dengannya,” pinta Pak Aris sambil tersenyum lagi. Dia lalu menoleh pada Nino. “Antarkan aku ke ruang BP, Nino.” Nino mengangguk. Setelah berpamitan, kedua lelaki itu meninggalkan Adel. Adel lanjutkan langkah menuju kelas. Dia melewati taman yang dihiasi lorong berdinding kaca, di dalam kaca itu terpajang banyak piala yang membuat Adel takjub. Adel lebih ternganga saat mengetahui sebagian besar piala atas nama Nino dalam berbagai bidang kejuaraan. Olimpiade sains, catur, taekwondo, bulu tangkis, dan lain sebagainya. Rasa kagum pada kakak Dira itu semakin menanjak dalam diri Adel. Bukan hanya tampan, kaya, baik hati namun juga berprestasi pantas saja Nino menjadi idola. Namun, seketika Adel tercekat saat masa lalunya membayang. Nino sangat mirip dengan Dira yang dulu. Sahabat yang selalu diandalkan Adel. Adel termenung sejenak saat menyadari suatu hal yang aneh. Nino dan Dira bersaudara, tapi bukankah mereka seharusnya seumuran? Karena Adel dan Dira sebenarnya satu angkatan dengan Nino. Apa mungkin Nino pernah tidak naik kelas? Adel menggeleng melihat deretan piala di depannya. Hanya ada dua kemungkinan, saudara tiri atau berbeda ibu. Adel kembali menggeleng. Untuk apa dia mengurusi urusan orang lain? Terlebih memikirkan kehidupan Dira yang kini sudah menjadi musuhnya! Adel menelan ludah saat mengingat permintaan Pak Aris. Berteman baik dengan Dira? Rasanya Adel tidak akan bisa melakukan hal itu lagi. *** Dira melenggang dengan santai menuju SMA Nusantara. Meskipun jam di ponselnya sudah menunjukkan pukul tujuh lebih, pemuda itu tidak tampak panik. Di sudut sekolah dekat warung, Dira menyelinap ke sebuah pagar yang rusak. Di sana dia menyapa beberapa anak Nusantara yang telah menjadi teman baiknya. Mereka sedang membolos atau merokok. Setelah itu, Dira melompati “Tembok Berlin” tanpa susah payah. Tembok setinggi dua meter itu mendapat julukan demikian karena memisahkan SMA Nusantara dengan SMA Dharma. Saat berada di atas tembok, sialnya seorang senior memergokinya. Dia adalah Anton, senior yang sejak hari pertama sudah membenci Dira. “Woi! Sedang apa lo di situ!” teriak Anton gusar. Dira berlari dengan lincah di atas tembok, menyusuri jalur menuju atap kelas. Anton yang terhalang oleh gedung tidak bisa mengikutinya. Dira tertawa senang. Adrenalin yang mengalir dalam darahnya membuatnya merasa menjadi Prince of Persia yang hendak menyerang Alamut. Dia melangkah di atas atap dengan hati-hati kemudian melogok ke jendela kelas X MIA 2 yang sedang mendapatkan wawasan nusantara dari Pak Sugiono. Dira mengerutkan kening melihat tempat duduknya yang kemarin telah diduduki orang lain. Hanya ada satu tempat duduk yang kosong yaitu di pojok belakang di samping Adelia! Dira mengumpat. Dia tidak punya pilihan lain. Dia menyusuri atap lalu bergelantungan di tembok dengan hati-hati. Dira mengetuk jendela kemudian memunculkan kepalanya sehingga membuat Adel terbelalak. “Buka!” kata Dira sambil menunjukan bogemnya. Adel tampak gugup dan menelan ludah. Dia membuka jendela dan membiarkan Dira masuk. Dira berhasil duduk dengan selamat tanpa sengetahuan Pak Sugiono. “Kenapa tempat duduknya ganti?” bisik Dira. “Sudah ditentukan dengan undian,” jawab Adel lirih. Pak Sugiono berbalik dan tampak terkejut melihat kehadiran Dira di kelas. “Dira! Sejak kapan kamu di situ!” hardik Pak Sugiono. “Saya dari tadi di sini,” jawab Dira sambil mengangkat bahu. “Jangan bohong kamu. Tadi bangku itu kosong!” seru Pak Sugiono. “Memangnya Bapak pikir saya bisa teleportasi? Ini lantai tiga! Saya mau lewat mana? Mata Bapak rabun kali,” jawab Dira asal. Pak Sugiono mengerutkan kening tampak merenung. Benar juga. Ini lantai tiga, di depan kelas ada banyak senior yang berjaga. Dari mana Dira bisa masuk? Pak Sugiono yang merasa dirinya sudah semakin tua lanjut mengajar tanpa berkomentar lebih jauh. Dira menyeringai senang atas kemenangannya sementara Adel berdecak dan menggelengkan kepala. Dira menatap Adel tajam. “Awas kamu sampai berani beritahu Pak Sugiono!” ancam Dira. “Aku nggak tertarik dengan permainan Tarzan kampungan,” balas Adel sambil melengos. Dira melirik mantan sahabatnya itu dengan seksama. Adel sebenarnya tidak benar-benar berubah drastis. Dia hanya jadi lebih langsing dan giginya lebih rapi karena memakai behel. Wajah gadis itu sedari dulu memang sudah cantik. Hanya saja tertutupi oleh puluhan jerawat yang sekarang tidak tampak bekasnya. Dira termenung. Sepertinya diet dan perawatan dokter saja sudah cukup menjadikan Adel cantik. Mungkin Dira agak keterlaluan menuduh gadis itu operasi plastik. “Lapo ndelok-ndelok![1]” tantang Adel yang merasa risih karena Dira terus memerhatikannya. “Sopo sing ndelok![2] GR!” olok Dira. Dira lalu melihat di luar jendela Anton berdiri dengan geram sambil menunjuknya. Dira hanya menyeringai. *** [1] Apa lihat-lihat! (bahasa Jawa Ngoko) [2] Siapa yang lihat! (bahasa Jawa Ngoko)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD