Ayah

1197 Words
Dira mengela napas setelah yakin Nino tidak mengikutinya. Pemuda itu berhenti di sebuah gedung tua. Gedung itu telah dihentikan pembangunannya sejak lima tahun lalu karena ada seorang pekerja yang mengalami kecelakaan kerja. Tersebar gosip bahwa arwah penunggu di gedung itu menolak didirikan bangunan di sana. Akibatnya bangunan itu ditelantarkan sampai sekarang. Bagi Dira tempat itu adalah rumahnya. Dira biasa tidur dengan sleeping bag atau menggelar tikar lalu bermain kartu dengan teman-temannya semalaman. Dira melompati tembok setinggi dua meter yang mengelilingi bangunan itu dengan mudah. Dia lalu melalui beberapa anak tangga untuk sampai ke atap, tempatnya menjemur pakaian. Dira duduk dengan santai di pinggir gedung tanpa rasa takut sembari menyalakan sebatang rokok kemudian menghisapnya. “Adi!” Dira menoleh saat nama barunya dipanggil. Dio sahabatnya yang berambut gondrong dengan seragam SMA Nusnantara yang lusuh duduk di sebelahnya. “Bagi rokok donk.” Dira menyodorkan bungkusan rokok pada Dio. Pemuda itu mengambil sebatang lalu menyalakannya dengan korek api milik Dira. “Gimana rasanya sekolah di SMA Dharma?” tanya Dio sambil membuat kepulan asap dari mulutnya. “Seru juga. Seniornya sok-sok. Gue sekarang masih diam, tapi lihat saja kalau sudah selesai MOS nanti. Gue habisi mereka semua,” kata Dira sambil tertawa. Dio ikut tertawa. “Gue sebenarnya agak kecewa lo nggak masuk SMA Nusantara.” Dira mengedikan bahunya. “Tua bangka itu berulah lagi. Sekarang ini gue belum bisa ngelawan,” kata Dira. “Manggil bokap sendiri begitu. Nanti lo jadi batu lho!” nasihat Dio. “Bokap yang mana?” tanya Dira, “bokap gue udah mati,” kata Dira seraya mengepulkan asap ke udara. Dio tahu bahwa tidak seharusnya dia mengkonfrontasi Dira dengan menyinggung ayahnya. Namun Dio merasa memiliki kewajiban untuk membuat Dira lebih menghormati orang tua yang tak pernah dimilikinya.  “Lo nggak boleh ngomong gitu. Lo beruntung karena masih punya orang tua. Suatu hari lo akan yesel kalau ada apa-apa.” Dira menghela napas. Dia merasa lelah jika harus berdebat dengan Dio lagi tentang bagaimana seharusnya cara bersikap pada orang tua. Untuk mengalihkan pembicaraan yang tidak menyenangkan itu, Dira menyodorkan sekotak kartu brigde pada Dio. *** Adel duduk di atas ranjang sambil membuka album lama. Matanya tertuju pada sebuah foto, seorang gadis berseragam SMP yang gendut dengan wajah penuh jerawat dan gigi tongos tersenyum dalam foto itu. Di sampignya, ada seorang pemuda tampan berambut hitam cepak. Mereka mengangkat piala juara satu lomba karya ilmiah tingkat SMP. “Penampilanmu berubah dari itik buruk rupa jadi angsa cantik? Penjelasan apa yang masuk akal selain operasi plastik?” Adel mengepalkan kedua tangannya saat kalimat Dira itu bergema dalam kepalanya. Adel mengeluarkan foto itu dari album, hendak menyobeknya. Namun, kedua tangannya mendadak tidak dapat berfungsi. Tubuh Adel bergetar dengan hebat. Air mata pun meleleh dari kedua matanya. Gadis itu menangis sejadi-jadinya. *** Lani melemparkan tas ke atas ranjang dengan jengkel. Nino telah menolaknya pulang bareng karena ada urusan lain, namun Lani memergoki pacarnya itu tengah mengobrol dengan Adel sambil tertawa. Lani mengingat kembali kata-kata Silvi tadi siang yang membuatnya kesal. “Cantik juga anak baru itu. Jangan-jangan sebentar lagi dia menggusur singgasana lo.” Lani mengumpat kesal lalu menjatuhkan diri di atas ranjang. Nino berubah drastis sejak  dua tahun yang lalu. Ya! Sejak Dira ada di Jakarta Nino berubah. Apa-apa selalu Dira! Nino tidak pernah memerhatikan Lani lagi. Dira selalu jadi prioritas baginya. Lani mengumpat-umpat lagi saat mengingat Silvi yang mengatakan Nino sudah bosan dengannya atau bahkan menuduh Nino homo. Lani menendang bantal dengan kesal. Anak baru itu memang menyebalkan. Semua orang memujinya, bahkan mengatakan dia jauh lebih cantik dari Lani. Tidak masalah sebenarnya jika gadis itu lebih populer, tapi Lani tidak terima jika Nino ikut direbut. Lani harus menyelidiki anak baru baru itu! *** Nino berdiri di depan sebuah pintu dengan sambil menghela napas. Dia memberanikan diri mengetuk pintu tersebut tiga kali. Terdengar suara seorang pria ramah yang memberinya ijin masuk. Nino membuka pintu kemudian melogok ke dalam kamar. Seorang pria berusia setengah baya duduk di depan laptop sambil menyunggingkan senyum dibalik kacamatanya. Namanya Pak Aris Prasaja, pemilik Grup Prasaja. Mantan bos ibu Nino dan juga orang yang selalu dikagumi Nino sejak kecil. “Ada apa, Nino?” tanya pria itu. “Anu... Paman. Hari ini Dira membuat sedikit masalah. Rambutnya dicat warna pirang dan dia menindik telinganya. Guru BP marah dan memberinya surat panggilan orang tua, tapi saya rasa dia nggak akan menghubungi Paman.” Nino menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal sambil memandangi pria itu dengan gugup. “Begitu... terima kasih, Nino. Maaf aku selalu membuatmu repot.” Pak Aris tersenyum meskipun di sudut mata Nino bisa melihat sebuah kesedihan. “Nggak masalah. Dira adalah saudara saya. Saya permisi dulu.” Nino urung menutup pintu saat Pak Aris memanggilnya. “Nino.” Nino berhenti dan membalikkan badan menatap Pak Aris. Pak Aris tersenyum padanya.  “Jangan pakai bahasa formal saat bicara denganku. Kalau kamu menganggap Dira sebagai saudaramu, bukankah seharusnya kamu menganggapku sebagai ayahmu?” Nino menundukan kepalanya. “Dira nggak akan senang,” gumamnya lirih. Pak Aris tersenyum. Nino memang benar-benar anak baik. Dia dan Dira memang telah berteman sejak kecil. Dulu mereka saling menyayangi seperti saudara. Namun ternyata rasa sayang itu justru mendadak lenyap ketika mereka benar-benar menjadi saudara. “Dia akan mengerti suatu hari nanti, Nino. Saat ini sudah nggak ada yang bisa dirubah,” ujar pria itu. Dia lalu melirik jam dinding di ruang kerjanya yang menunjukkan pukul sebelas malam. “Wah, sudah malam rupanya. Istirahatlah, Nino. Ayah juga mau istirahat,” tutur Pak Aris. Dia memutuskan memanggil dirinya sendiri dengan sebutan ayah meskipun Nino masih canggung untuk menyebutnya demikian. Setelah Nino pamit, Pak Aris tak beranjak dari kursinya. Matanya menatap nanar sebingkai foto di ruang kerjanya. Foto seorang wanita cantik yang seusia dengannya. Wanita itu mengenakan jaket dan topi rajut warna navy yang serasi. Dia tersenyum manis pada kamera. Ingatan pria itu mengapung di udara. Dia pun kembali mengenang masa itu. Tatkala dia berlutut di depan ranjang istrinya yang tengah dirawat di rumah sakit. Istrinya terbaring lemah di atas tempat tidur. Sebuah selang oksigen membantunya untuk bernapas untuk meringankan rasa sesak di dadanya. “Apa kamu pernah dengar pepatah?” tanya wanita itu dengan suaranya yang serak. “Jika kamu menyukai dua orang sekaligus pilihlah yang kedua, karena jika kamu mencintai yang pertama tidak akan pernah ada yang kedua.” Dada Pak Aris berdenyut nyeri. Matanya mulai terasa panas. Dia mecengkram celananya kuat-kuat. “Tolong jangan bicara begitu! Aku mohon maafkanlah aku,” pintanya memelas. Wanita itu terbatuk-batuk lalu kemudian tersenyum. “Sejujurnya aku lega. Aku tidak tahu bagaimana jadinya jika aku pergi meninggalkanmu dan Dira. Tapi sekarang aku percaya, kamu akan baik-baik saja.” Ucapan wanita itu semakin membuat d**a Pak Aris terasa sesak. Seketika dia merasa sangat sulit bernapas. “Lia.... haruskah kamu lakukan ini? Aku tahu aku salah. Tapi tidak bisakah kamu memaafkan aku?” pinta pria itu dengan tulus. Bulir-bulir air yang menggenang mulai mencair dan  membasahi pipinya. Wanita itu tersenyum getir. “Aku tidak marah padamu. Tapi rasanya terlalu sakit untuk melihatmu di sini. Aku mohon pergilah. Tinggalkan aku sendiri.” Ingatan Pak Aris menguap. Itulah saat terakhirnya bertemu dengan almarhum istrinya. Saat yang disesalinya sampai hari ini. Air mata kembali mengalir dan membasahi pipinya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD