PART. 8 WAKTU BERSAMA

1504 Words
Citra terbangun menjelang subuh. Matanya terbuka, diingat lagi apa yang terjadi semalam. Citra kembali memejamkan mata, mengusir harapan yang datang di dalam hatinya. Ia harus kembali menjejak bumi. Ia tidak boleh terlena, lalu berharap Cakra bisa memperlakukan dirinya sebagai layaknya perlakuan seorang suami pada istrinya. Citra bangun dari berbaring, lalu turun dari tempat tidur. Diseret langkah masuk ke dalam kamar mandi. Karena ia harus mandi, sebelum salat subuh. Tepat saat Citra selesai mandi, azan subuh berkumandang. Citra salat subuh sendirian. Setelah salat subuh, dibereskan tempat tidur. Seprai, sarung bantal, dan sarung guling diganti dengan yang bersih. Saat ingin memasukkan seprai kotor ke dalam keranjang cucian. Tanpa sadar Citra memeluk seprai, lalu membaui aroma dari seprai yang tadi malam jadi saksi sebuah malam yang indah bagi dirinya. Aroma keringat Cakra tertinggal di sana. Citra memejamkan mata, menghirup aroma keringat Cakra dengan sepenuh hatinya. Ada rasa bahagia yang hadir di dalam hati, saat mencium aroma tubuh suaminya, ayah dari janin yang saat ini ada di rahimnya. Citra urung memasukkan seprai ke keranjang cucian. Tak peduli selimut itu kotor, karena aroma tubuh Cakra yang tertinggal di sana, mampu membuat tenang perasaannya. Seprai kotor itu ia lipat dengan rapi. Diletakkan di atas kasur. Citra yang masih merasa lelah, dan merasa sedikit pusing juga mual, berbaring di atas tempat tidur. Dipeluk seprai yang kotor, kembali dicium untuk membaui aroma tubuh Cakra. Perlahan, rasa pusing, dan mual yang dirasa berangsur menghilang. 'Apakah ini yang dinamakan mengidam? Ya Allah, aku mohon, jangan beri aku ngidam, sesuatu yang sulit untuk aku dapatkan.' Citra takut, kalau ngidamnya berhubungan dengan Cakra. Karena ia pernah membaca, ada istri yang ngidam hanya ingin makan masakan suaminya, atau hanya bisa tidur setelah mencium aroma ketiak suaminya. 'Ya Allah, jangan sampai hal itu terjadi padaku, aamiin.' Citra tidak ingin lagi bertengkar dengan Tami, atau berdebat dengan Bu Cindy. Ia ingin menjalani kehamilan dengan tenang. Setenang perasaannya, saat kembali' mencium aroma tubuh Cakra yang tertinggal di seprai. * Waktu berlalu. Cakra masih kerap mencuri waktu untuk masuk ke dalam kamar Citra. Meski begitu, mereka tetap tak pernah bicara. Namun, sikap, dan tatapan Cakra tak lagi dingin seperti awal dulu. Cakra selalu mengecup kening Citra seusai mereka memadu kasih. Citra masih terkurung di kamarnya. Kecuali saat Tami tidak ada di rumah. Ia bisa menikmati sedikit kebebasan. Untuk menikmati udara di taman samping rumah. Perut Citra sudah semakin membukit. Berdasar hasil pemeriksaan, bayi Citra kembar. Kabar yang membuat orang tua Cakra bahagia. Hari ini kandungan Citra sudah memasuki usia lima bulan. Citra melangkah ke luar kamar. Ia bisa bebas ke luar kamar, karena Tami baru saja berangkat ke Surabaya bersama kedua orang tuanya. Ada acara keluarga di sana pada hari minggu. Sementara Cakra akan menyusul Tami pada hari Sabtu. Citra ke luar kamar. Ia masuk ke dapur. Tidak ada bibi di sana. Lalu ia ke ruang televisi para asisten rumah tangga, yang ada di bagian samping rumah. Ternyata kedua bibi ada di sana. Sedang menonton televisi sambil menikmati kacang rebus. "Citra sini!" Bi Sulis menggapai ke arah Citra. "Semua pekerjaan sudah selesai, jadi bisa santai. Kalau kamu ingin makan siang cepat, sudah masak semua." "Nanti saja, Bi." Citra duduk di kursi yang ada di sana. Karena sulit baginya untuk duduk di lantai, dengan perut yang semakin besar. Suara pintu gerbang yang dibuka mengagetkan mereka. "Siapa yang datang ya?" Bi Lulu bangkit dari duduk, lalu melihat ke arah pintu gerbang. "Tuan!" "Tuan?" Citra, dan Bi Sulis terkejut bersamaan. "Aku bukakan pintu dulu." Bi Lulu segera beranjak untuk membuka pintu. "Ada apa ya, Tuan pulang siang begini?" Bi Sulis merasa heran, karena tidak biasanya Cakra pulang siang. "Mungkin ada yang ingin diambil, Bi," jawab Citra asal saja. "Citra!" Citra, dan Bi Sulis menolehkan kepala, mendengar panggilan Bi Lulu. "Ya, Bi." "Tuan menunggu di kamarmu," ucap Bi Lulu. "Apa!?" Citra, dan Bi Sulis berseru, mereka sama-sama terkejut. "Mau apa?" Tanya Citra bingung. "Ya mau apalagi, kalau seorang suami menunggu istrinya di kamar," Bi Lulu tertawa menggoda. "Mumpung Nyonya Tami tidak ada. Tuan bisa mesra-mesraan terus sama kamu. Cepat sana, nanti Tuan marah kelamaan menunggu." Bi Sulis ikut menggoda. Wajah Citra jadi merona. "Aku ke kamar dulu ya, Bi," pamit Citra. "Ya, ingatkan Tuan untuk hati-hati. Jangan di gaspol, kasihan si kembar nanti." Bi Lulu masih menggoda Citra yang sudah melangkah menuju kamarnya. Citra tiba di depan pintu kamarnya. Jantungnya berdetak lebih cepat. Perasaannya berdebar. Seakan ini saat pertama ia akan bertemu Cakra. Citra membuka pintu. Cakra tidak ada di dalam kamar, tapi terdengar suara dari dalam kamar mandi. Citra menutup, dan mengunci pintu. Ia berdiri menunggu, karena bingung harus berbuat apa. Pintu kamar mandi terbuka. Cakra berdiri di ambang pintu kamar mandi hanya dengan mengenakan celana dalam saja. Tatapan mereka saling lekat sesaat, sebelum Cakra melangkah lebar untuk menggapai Citra ke dalam pelukannya. Pelukan yang dirasa Citra sangat hangat. Pelukan yang membuatnya ingin menangis tanpa sebab. Citra tidak bisa menahan air mata. Tangisnya pecah di d**a Cakra, dalam dekapan kedua tangan Cakra. Kedua tangan Citra memeluk Cakra. Tidak ada sepatah kata ke luar dari mulut Cakra. Namun usapan tangannya di kepala, dan punggung sudah cukup membuat Citra merasa bahagia. "Maaf ...." Setelah tangisnya reda, Citra melepas kedua tangan dari tubuh Cakra. Ditarik kepalanya dari d**a Cakra. Cakra juga melepas pelukannya. Kedua telapak tangan Cakra memegang wajah Citra. Wajah Citra mendongak dalam pegangan kedua telapak tangan Cakra. Wajah Cakra mendekat. Mata Citra terpejam, bibirnya terbuka, siap menyambut ciuman Cakra. Bibir Cakra bergerak lembut. Menikmati manisnya bibir Citra. Citra menyambut ciuman suaminya. Seakan ada kerinduan yang ingin mereka tuntaskan, karena tidak bisa setiap waktu bersama. Saat bersama juga hanya bisa sebentar saja, mencuri-curi waktu agar Tami tidak mengetahui pertemuan mereka. Kadang Citra merasa seperti selingkuhan yang penuh dosa. Padahal Cakra adalah suaminya. Kali ini mereka bebas untuk memuaskan hasrat diri. Karena Tami sedang tidak ada. Kedua tangan Cakra bergerak perlahan. Melepas helai demi helai yang melekat di tubuh Citra. Setelah semua terlepas. Cakra membopong Citra, dibaringkan Citra di atas tempat tidur. Gerakan Cakra lambat, dan lembut, tidak tergesa seperti biasanya. Citra menikmati sentuhan Cakra dengan sepenuh hatinya. Keinginan untuk disentuh Cakra sering terasa, tapi Citra harus bisa menahan perasaan itu, karena ia hanya bisa berharap Cakra datang ke kamarnya. Sejak dirinya diketahui hamil, Citra merasa, ada kasih sayang dari sentuhan Cakra kepadanya, meski Cakra tidak pernah mengatakan apa-apa. Sorot mata Cakra juga tidak sedingin dulu. Tatapannya terasa hangat bagi Citra. Memberi ketenangan pada dirinya, meski nasibnya nanti mungkin sama saja. Harus pergi setelah melahirkan anak-anaknya. Setelah selesai memadu kasih, Cakra tidak langsung pergi. Cakra memeluk Citra yang tertidur. Cakra selalu berusaha melawan keinginan untuk berada di dekat Citra. Namun dorongan kuat itu kadang tak mampu ia atasi. Keinginan untuk berada di dekat Citra, memeluknya, menciumnya, mengusap perut Citra yang semakin besar, bagai candu baginya. Setiap pagi Cakra selalu merasa tersiksa. Karena tidak bisa melunaskan keinginannya, untuk menyentuh Citra. Menghirup aroma tubuh Citra. Mata Cakra terpejam, dibiarkan kantuk menyerangnya. Cakra tak tergesa untuk kembali ke kantornya. Ingin dinikmati waktu yang bisa ia nikmati bersama Citra. * Citra terbangun, karena suara ponsel Cakra yang berbunyi. "Tuan!" Citra menggoyang lengan Cakra dengan perasaan panik, takut jika yang menelepon adalah Tami. "Biarkan saja." Cakra menjawab panggilan Citra tanpa membuka matanya. "Siapa tahu yang menelepon Nyonya Tami." "Biarkan saja," sahut Cakra tanpa merubah posisinya. Citra jadi gelisah, takut nanti dirinya yang kena marah. Suasana rumah tenang bisa saja kembali memanas kalau Tami tahu apa yang mereka berdua lakukan. Suara ponsel akhirnya berhenti. Citra menatap Cakra yang berbaring telentang. Wajahnya tampak tenang, tarikan nafasnya teratur. Citra bingung kapan saat harus membangunkan Cakra. Karena Cakra pasti harus kembali ke kantor setelah makan siang nanti. "Citra!" Suara panggilan Bi Sulis terdengar di pintu. Citra menarik selimut untuk menutupi tubuh Cakra. Lalu ia memungut dasternya. Dikenakan daster tanpa memakai dalaman. Digulung rambut ke atas kepala. Dibuka pintu kamar perlahan, Bi Sulis berdiri di depan pintu kamarnya. "Ada apa, Bi?" Tanya Citra. Citra ke luar dari kamar, ditutup pintu di belakangnya, agar Bi Sulis tidak melihat keadaan kamarnya. "Tadi nyonya Tami telepon. Bertanya apa Tuan ada di rumah." Cerita Bi Sulis. "Bibi jawab apa?" Tanya Citra cemas. "Aku katakan, Tuan pulang karena merasa tidak enak badan, dan Tuan sedang ada di kamarnya." Jawaban Bi Sulis membuat Citra sedikit merasa lega. "Mungkin yang menelepon ke ponsel tuan tadi nyonya Tami. Tuan tidak mau menjawab panggilan di ponselnya." "Semoga nanti tidak berakibat buruk padamu. Aku cemas, Citra." "Aku juga, Bi. Tapi bagaimana, aku sudah berusaha membangunkan tuan, tapi tuan tidak mau bangun. Aku beritahu ada telepon, katanya biarkan saja." "Ya sudah kalau begitu. Semoga tidak berakibat buruk padamu, aamiin." "Aamiin." "Masuk lagi saja, nanti tuan mencari kamu." "Iya, Bi." Bi Sulis meninggalkan depan kamar Citra. Citra kembali masuk ke dalam kamarnya. Ditatap Cakra yang masih lelap tertidur. Seakan dia sudah tidak tidur sekian lama. Citra kembali berbaring di samping Cakra. Tanpa membuka mata, Cakra menggapai tubuh Citra. Dibawa Citra ke dalam pelukannya, membuat Citra merasa mereka seperti suami istri sesungguhnya. Meski Citra tahu ini hanya sementara, tapi ingin dinikmati apa yang saat ini ada di depan matanya. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD