Selesai salat Maghrib, Citra ke luar dari kamar. Ia menuju dapur untuk makan malam bersama bibi. Disaat Tami ada di rumah, hal itu tidak bisa ia lakukan. Makanan untuknya diantar ke kamar, dan ia hanya bisa makan sendirian. Hal ini untuk menghindari bertemu Tami. Itu memang lebih baik, daripada ia harus menerima sumpah serapah dari Tami. Terkadang timbul pikiran untuk melakukan apa yang Tami tuduhkan. Menggoda Cakra, ingin merebut Cakra, tapi pikiran buruk itu bisa ia tepis.
Citra tiba di dapur. Disambut senyuman kedua bibi.
"Makan malam sudah siap, ayo makan." Bi Sulis menunjuk makanan yang terhidang di atas meja makan yang ada di dapur.
Ikan nila goreng, tempe, dan tahu goreng, juga lalapan, beserta Sambal terasi. Sangat menggugah selera Citra.
Mereka bertiga makan menghadapi hidangan di atas meja.
"Tadi siang, Tuan lama sekali di kamarmu ya, Citra," ujar Bi Lulu.
"Suami kalau istrinya sedang hamil ya begitu, maunya nempel terus," sahut Bi Sulis menggoda.
"Kasihan juga Tuan ya, harus menahan diri, tidak bisa setiap saat berada dekat dengan calon bayinya."
"Calon bayi, atau ibu calon bayi," canda Bi Sulis. Membuat Citra tersipu.
"Kedua-duanya." Bi Lulu tersenyum sambil menatap Citra.
"Aku senang bisa melihat wajahmu seperti saat ini, Citra. Bahagia terpancar dari tatapan, dan raut wajahmu," ujar Bi Lulu.
"Bagaimana tidak bahagia, dekat dengan suami, dan bapak calon anaknya." Bi Sulis kembali menggoda Citra.
Tidak ada Tami, membuat mereka bebas bercanda, dan tertawa.
Bi Lulu, dan Bi Sulis terus menggoda Citra. Citra hanya bisa tersenyum, dan kadang menampilkan wajah cemberut. Sampai suara panggilan dari Cakra terdengar. Panggilan yang mengagetkan mereka semua.
"Citra!" Serempak mereka menatap ke pintu dapur. Cepat Citra bangun dari duduknya. Ia menatap Cakra yang berpakaian tidak seperti biasanya.
"Ya, Tuan."
"Saya tunggu di kamarmu. Setelah makan, langsung ke kamar." Cakra menunjuk ke arah kamar Citra.
"Baik, Tuan." Citra menganggukkan kepala, wajahnya merah merona.
Cakra melangkah ke kamar Citra. Setelah Cakra berlalu, Bi Sulis, dan Bi Lulu kembali menggoda Citra.
"Cie ... yang ditunggu suaminya. Sebentar lagi salat Isya. Salat dulu baru mesra-mesraan." Goda Bi Lulu.
"Tuan Cakra kalau pakai baju koko, sarung, dan peci begitu gantengnya tambah ya. Iya tidak, Citra." Bi Sulis mengedipkan mata pada Citra.
"Bibi, jangan menggoda terus dong." Wajah Citra cemberut.
"Taruhan yuk, Lu. Malam ini, Tuan kembali ke kamar, atau menginap di kamar Citra," ujar Bi Sulis.
"Menginap!" Tebak Bi Lulu.
"Eh, kok sama prediksi kamu dengan aku. Ya sudah, nggak jadi taruhan." Kedua bibi tertawa, Citra tersenyum dengan wajah merona.
Selesai makan.
"Ke kamar sana, ini biar jadi urusan kami berdua. Nanti Tuan ngambek kalau kelamaan menunggu." Bi Sulis mengusir Citra dari dapur, agar Citra segera menemui Cakra di kamar.
"Bibi." Wajah Citra cemberut.
"Sudah sana ...." Bi Sulis mendorong lembut bahu Citra.
"Aku ke kamar dulu ya, Bi," pamit Citra.
"Iya, pelan-pelan saja ya." Bi Lulu belum puas menggoda Citra.
"Bibi ...." Citra tersipu, lalu melangkah meninggalkan dapur dengan perasaan deg-degan.
Satu hal yang Citra sadari. Dirinya sudah jatuh cinta pada Cakra. Meski Citra tahu, perasaan cintanya tidak punya masa depan, tapi Citra tidak ingin mengingkari hal itu. Dibiarkan cinta tumbuh di dalam hatinya, sampai waktu dimana mereka tak bisa lagi bersama. Perpisahan itu Citra tahu nyata adanya, tinggal menunggu waktu saja. Itu membuat d**a Citra sesak terasa.
Citra tiba di kamarnya. Dibuka pintu kamar tanpa mengetuk lebih dulu.
Suara azan panggilan salat isya terdengar.
"Salat isya dulu," ucap Cakra. Tanpa menunggu Citra bicara. Cakra ke luar kamar, ia mengambil air wudhu di keran yang ada di samping kamar Citra. Sedang Citra di kamar mandi.
Cakra jadi imam salat.
Setelah salat isya. Cakra memutar tubuhnya yang duduk bersila, untuk menghadap Citra. Citra menatap wajah Cakra. Dengan ragu diambil telapak tangan Cakra. Tubuh Citra sedikit membungkuk. Dicium punggung tangan Cakra. Citra tak mampu menahan rasa haru yang datang. Citra menegakkan tubuhnya kembali. Cakra meraih kepala Citra. Dikecup puncak kepala Citra. Didekap kepala Citra ke dadanya. Dibiarkan air mata Citra membasahi bagian d**a baju kokonya yang masih baru.
Sudah sangat lama Cakra melupakan penciptanya. Sudah sangat lama ia tidak menadahkan tangan untuk meminta. Betapa angkuh dirinya selama ini. Kali ini, doa di dalam hatinya, ia meminta, agar tak terpisah dari Tami, juga dari Citra. Ia berdoa agar kedua istrinya bisa hidup rukun nantinya. Citra cukup lama menangis di d**a Cakra. Cakra tak bicara apa-apa, tapi usapan lembut tangannya, mampu memberi Citra rasa tenang.
Setelah tangis Citra berakhir. Kemesraan mereka dimulai. Bercinta dengan sepenuh hati, tak ada rasa terpaksa lagi. Meski Cakra tetap tak banyak bicara, tapi Citra tetap bahagia. Tatapan, dan sikap Cakra baginya, sudah menunjukkan kalau Cakra menyayanginya. Dan, untuk malam ini, Cakra bermalam di kamar Citra. Mereka menghabiskan malam dengan bahagia. Mereka juga salat Subuh berdua. Cakra kembali ke kamarnya, setelah mereka sarapan berdua di kamar Citra. Sungguh malam yang indah bagi Citra.
*
Cakra sudah pergi menyusul Tami. Rasa rindu Citra rasa, tapi hanya bisa dipendam di dalam lubuk hatinya. Bahkan saat Cakra kembali dari luar kota, rasa rindu untuk bersama tidak juga bisa dituntaskan, karena Cakra tak kunjung datang ke kamarnya. Citra yakin, bukan Cakra tidak mau menemuinya, tapi kesempatan untuk itu yang tidak ada.
Satu bulan berlalu. Selama satu bulan ini, Cakra tidak sekalipun ada menemui Citra. Citra merasakan kerinduan yang luar biasa, tapi ia tidak bisa melakukan apa-apa. Karena dirinya hanya bisa menunggu. Tak bisa memulai, atau meminta.
Pagi ini, Citra bangun dengan rasa pusing di kepala. Ia tidak langsung ke kamar mandi, tapi hanya berbaring saja. Diusap perutnya yang semakin besar. Teringat akan nasib anaknya nanti, membuat datang rasa sakit hati. Pikiran buruk selalu menganggu. Banyak pertanyaan yang tidak mendapat jawaban, karena hanya waktu yang bisa menjawabnya.
Citra berusaha meyakinkan diri. Jika Tami tak bisa mencintai anak-anaknya, maka masih ada Cakra, dan orang tua Cakra yang akan memberikan cinta, dan kasih sayangnya.
Citra dikejutkan oleh suara ketukan di pintu, dan panggilan Tami. Citra menatap jam di dinding. Sudah jam delapan lewat, itu artinya Cakra sudah tidak ada di rumah. Cakra pasti sudah ke kantor. Citra turun dari atas tempat tidur. Diseret langkah menuju pintu. Pintu ia buka, Tami, dan ibunya berdiri di hadapannya.
"Waktunya untuk kamu pergi! Kamu, dan anakmu tidak diperlukan lagi! Pergi sejauh-jauhnya, ke tempat di mana Mas Cakra tidak bisa menemukanmu!"
Citra bingung dengan ucapan Tami kepadanya. Ada apa lagi yang membuat Tami menginjakkan kaki di depan kamarnya. Dan mengusirnya tanpa jelas apa sebabnya.
*