PART. 6 MALAM YANG TIDAK BIASA

1115 Words
Seperti keinginan Tami. Citra berusaha tidak bertemu Tami. Ia berusaha menyembunyikan diri saat melihat Tami agar Tami tidak melihat dirinya. Karena dilarang ke luar rumah, Citra jadi merasa terpenjara, tapi ia tidak bisa protes. Hal itu sesuai dengan surat perjanjian yang ia tanda tangani. Tidak bertemu Tami membuat perasaan Citra lebih tenang. Meski ia masih harus melayani Cakra hampir setiap malam, kecuali saat ia datang bulan. Cakra yang mengaku jijik melihatnya, tapi tetap bisa melenguh puas saat berada di atas tubuhnya. Terkadang hadir rasa kesal dalam hati Citra, dengan sikap dingin, dan mulut pedas Cakra. Tapi ia malas berdebat, karena pasti tidak mungkin menang juga. Tak terasa sudah hampir tiga bulan mereka menikah. Masa yang disebutkan Tami akan segera tiba. Tami ingin Citra angkat kaki dari rumahnya, kalau Citra belum hamil juga. Malam ini, orang tua Cakra datang. Citra dipanggil untuk menghadap mereka. Citra duduk bersimpuh di lantai, ada Bi Sulis, dan Bi Lulu juga di sampingnya, sementara itu kedua orang tua Cakra, Tami, dan Cakra duduk di atas sofa. "Kamu belum hamil juga, Citra?" Tanya ibu Cakra. "Belum, Nyonya." "Harusnya sebelum dipilih, dicek dulu kesehatannya, Bu. Siapa tahu dia mandul. Rugi uang, dan waktu kita, Bu," ucap Tami. "Hmmm ... besok pagi kamu ke dokter dengan Sulis ditemani supir." "Baik, Nyonya." "Ya sudah, kalian pergi sana." "Baik, Nyonya." Citra, Bi Sulis, dan Bi Lulu beringsut mundur, berbalik, lalu bangkit, dan melangkah pergi meninggalkan ruang tengah. Tiba di dapur. "Hamil dikira bisa diatur apa," gerutu Bi Lulu. "Iya. Tuan, dan nyonya sama-sama sehat, tapi nyonya belum hamil sampai sekarang. Lah ini, Citra belum tiga bulan menikah, maksa dipaksa harus hamil. Siapa tahu bibit tuan yang kurang jos!" Bi Sulis ikut menggerutu juga. "Sudah, Bi. Doakan saja aku secepatnya hamil, aamiin." "Aamiin. Sabar ya, Citra. Tabah menjalani semua ini, sampai tugasmu selesai." "Iya, Bi." "Istirahat sana." "Iya, aku ke kamar dulu ya, Bi." "Iya." Citra meninggalkan dapur untuk ke kamarnya. Dibersihkan diri di kamar mandi, diganti pakaiannya. Dibersihkan wajahnya. Lalu Citra berbaring di atas tempat tidur. Citra berpikir kalau malam ini Cakra tidak akan ke kamarnya. Jadi dibiarkan dirinya terlelap. * Citra terbangun, karena merasakan sakit pada ujung dadanya. Citra membuka mata. Ia baru sadar ada seseorang di atas tubuhnya. Cakra! Citra kembali memejamkan mata, dibiarkan Cakra melakukan apapun pada tubuhnya. Citra sangat ingin hamil secepatnya, agar Cakra tidak lagi masuk ke dalam kamarnya. Citra merasa lelah, menghadapi sikap dingin Cakra. Irit bicara, sekali bicara menusuk ke dasar hatinya. Citra tidak tahu, akan seperti apa anak yang dilahirkan dari hubungan tanpa cinta. Citra yang ingin diam saja, akhirnya terpancing juga oleh sentuhan Cakra. Seperti sebelumnya, Citra merespon sentuhan Cakra. Sampai Cakra melontarkan suara tanda puas dari mulutnya, dan Citra juga merasakan kepuasan yang sama. Citra tertidur, tidak lagi tahu akan Cakra. Citra terbangun. Ia kembali merasakan sakit diujung dadanya. Dibuka mata, Cakra kembali ada di atas tubuhnya. Sebuah kejutan bagi Citra. Ini untuk pertama kali Cakra menyentuhnya sampai dua kali dalam satu malam. Biasanya, setelah selesai satu kali, Cakra langsung pergi. Citra kembali merespon sentuhan Cakra. Meski sikap, tatapan, dan cara bicara Cakra dingin padanya. Namun Cakra bisa hangat saat mereka sedang menggapai puncak bersama. Pergulatan kali ini lebih dahsyat dari sebelumnya. Bahkan Cakra memberi peluang pada Citra untuk berada di atas tubuhnya, dan mengendalikan pertarungan di ronde kedua. Citra tidak tahu apa yang merasuki Cakra. Sehingga Cakra sangat berbeda dari biasanya. Cakra tak lagi terlihat menahan diri untuk memperlihatkan kalau dia menikmati kebersamaan mereka saat ini. Citra juga tidak berusaha menolak kehangatan yang Cakra tawarkan. Citra mengikuti saja nalurinya. Dilupakan sejenak kebencian Tami padanya. Terlupakan sejenak sakit hatinya pada Cakra. Berapa kali mereka berganti posisi. Tempat tidur sudah seperti diterpa tsunami. Porak poranda, seprai kusut masai, bahkan bantal guling tidak lagi pada tempatnya. Cakra berada di atas tubuh Citra. Tatapannya lekat ke wajah Citra. Citra tak bisa menerka apa isi hati Cakra. "Citra ...." Gumaman Cakra seiring dengan ambruknya tubuh Cakra di atas tubuh Citra. Citra terdiam, tidak yakin akan pendengarannya, kalau Cakra menyebut namanya. Hal yang belum pernah Cakra sebut sepanjang pernikahan mereka. Sesaat kemudian, tubuh Cakra berguling ke samping. Ia berbaring telentang di samping Citra. Citra tak bisa menguasai rasa kantuk yang menyerangnya. Citra tertidur. * Citra terbangun, karena suara gedoran dari pintu, dan teriakan Tami. Citra menolehkan kepala. Cakra tertidur dengan tubuh tertelungkup, ada bantai di atas kepalanya, yang ditekan di kiri kanan telinganya. Citra membungkus diri dengan selimut, sehingga tubuh Cakra yang polos terlihat jelas. Diseret langkahnya menuju pintu. Dibuka pintu kamarnya. Tami merangsek masuk seraya mendorong bahu Citra. Tami tertegun, melihat suaminya tanpa busana. "Mas!" Tami berteriak nyaring, direnggut bantal yang menutupi kepala Cakra. Cakra membuka matanya. Cakra terbelalak melihat Tami. Tangannya meraba-raba mencari sesuatu yang bisa menutupi tubuhnya. Cakra meraih seprai, ditarik seprai, ditutup tubuhnya. Tami berbalik untuk menatap Citra. Dipegang kedua bahu Citra. "Dasar pelakor, kamu cari kesempatan di saat aku sedang datang bulan! Wanita jahat! Tidak punya harga diri, tidak tahu malu!" Tami mengguncang tubuh mungil Citra. Tangan Citra tak bisa bergerak, karena bahunya dicengkeram kuat, sementara kedua tangannya sendiri memegang selimut yang menutupi tubuhnya. Dua tamparan Tami mengenai pipi Citra, lalu Tami mendorong kuat tubuh Citra, sehingga Citra jatuh terduduk di ambang pintu kamarnya. Bi Sulis, dan Bi Lulu yang datang bersimpuh di samping Citra. Citra meringis, perutnya dirasa sakit luar biasa. Kepala Citra mendongak, menahan rasa sakit diperutnya. Tami mendekat, kakinya tersangka, siap untuk mendarat di tubuh Citra. Namun Cakra yang sudah mengenakan pakaian, menarik tubuh Tami ke belakang. "Jangan keterlaluan, Tami. Ini bukan salahnya, aku yang salah," ucap Cakra dengan nada memohon. Tami memutar tubuh, ditatap wajah Cakra. "Kamu membelanya, Mas. Apa kamu mulai jatuh cinta dengan wanita kampung ini!" Tami menunjuk Citra yang dibantu kedua bibi untuk berdiri. "Tidak, Sayang. Aku tidak membela dia. Tapi memang aku yang salah. Aku tertidur, sehingga tidak kembali ke kamar kita. Aku banyak pekerjaan di lapangan kemarin, sehingga terlalu lelah. Sedang kalian menuntut dia untuk segera hamil. Karena itu, meski lelah aku tetap datang ke kamar ini." Cakra berusaha meredakan amarah Tami. "Ayo, kita kembali ke kamar. Maafkan aku ya, Sayang." Cakra memeluk bahu Tami. Dibawa Tami melangkah ke luar kamar. Sedang Citra dipapah kedua bibi masuk ke dalam kamar. "Bi, perutku sakit sekali." Citra meringis. "Pakai bajumu dulu, Citra." Bi Sulis mengambil pakaian Citra yang berserakan di atas lantai. Citra mengenakan pakaian lewat atas kepala. Citra memegang perutnya yang semakin sakit. Citra meringis, merintih, air mata berjatuhan dari kedua matanya. "Sakit sekali, Bi," runtuh Citra. "Ya Allah! Citra!" Bi Sulis, dan Bi Lulu memegang tubuh Citra yang lemas. Citra tak sanggup lagi menahan rasa sakit. Ia jatuh pingsan, membuat kedua bibi jadi panik. "Panggil tuan, Lu!" Bi Lulu berlari ke luar kamar untuk memanggil Cakra. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD