Citra terbangun. Dibuka mata perlahan. Kepalanya menoleh ke samping. Cakra tak ada di atas tempat tidurnya. Citra juga yakin, Cakra tak lagi ada di dalam kamarnya. Cakra pasti sudah ke luar, karena tidak mau berlama-lama didekatnya.
Citra menatap jam di dinding kamarnya. Belum jam dua belas malam. Saat Cakra masuk ke dalam kamarnya tadi, sekitar jam sembilan malam. Citra tidak tahu, jam berapa Cakra ke luar dari kamar.
Citra menatap langit-langit kamar. Istri kedua sepertinya biasa disebut madu. Tapi dirinya bukan madu yang biasa. Karena bukan madu manis yang diterima dari pernikahannya. Justru rasa pahit yang dirasa.
Citra bangun dari berbaring. Ia turun dari atas tempat tidur. Diseret langkah menuju kamar mandi. Tiba di kamar mandi, Citra menatap wajah di cermin wastafel. Kamarnya memang lebih bagus dari kamar para bibi, meski letaknya juga di bagian belakang. Di dalam kamarnya ada kamar mandi sendiri. Jadi ia tidak perlu ke luar kamar kalau ingin ke kamar mandi.
Citra masih menatap wajahnya. Wajah yang tentu tidak secantik Tami, tapi tidak juga terlalu buruk. Citra memejamkan mata, menarik dalam nafas, sebelum beranjak ke bawah shower. Dinyalakan shower setelah mengatur suhu airnya. Citra mandi dengan cepat, ia tidak ingin berlama-lama di dalam kamar mandi. Begitu selesai membersihkan diri, ia segera ke luar dari kamar mandi. Dan mengenakan pakaiannya yang teronggok di atas kursi.
Citra duduk di kursi rias. Disisir perlahan rambutnya yang panjang. Ditatap wajahnya yang tak pernah memakai polesan. Andai mengenakan seragam SMP, orang pasti mengira dirinya siswi SMP. Citra teringat akan orang tuanya. Rasa rindu membuat menetes air matanya.
'Bapak, Ibu. Maafkan anakmu, karena memilih jalan seperti ini. Inilah yang harus aku lakukan, demi membalas kebaikan paman, dan bibi yang sudah merawat, dan membesarkan aku. Bapak, ibu, semoga kalian bahagia di sana. Ya Allah, ampuni dosa kedua orang tuaku, jadikan mereka sebagai penghuni indahnya surgaMu, aamiin aamiin aamiin ya rabbal alaamiin.'
Citra mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya. Setelah menyisir rambut, Citra beranjak ke tempat tidur. Ia berbaring, dan memejamkan mata. Rasa lelah setelah menunaikan kewajibannya pada Cakra, membuat dirinya cepat terseret ke alam mimpi.
*
Setelah salat subuh, Citra ke dapur. Bi Sulis mempersiapkan sarapan. Bi Lulu mencuci pakaian. Citra membersihkan rumah di bagian lantai bawah saja, karena lantai atas terlarang baginya. Citra menyapu, dan mengepel lantai seluruh ruangan yang ada di lantai bawah.
Saat ia membersihkan perabot di ruang tengah, terdengar langkah kaki yang mengenakan sendal menuruni anak tangga. Citra menyingkir agar tidak terlihat oleh sepasang suami istri yang turun dari lantai atas. Ia bersembunyi di dekat lemari.
"Ingat ya, Mas. Kalau dia hamil, Mas tidak boleh lagi masuk ke dalam kamar dia. Sudah cukup aku berbagi tubuh Mas dengan dia." Citra bisa mendengar suara manja Tami.
"Aku juga terpaksa tidur dengan gadis kampung itu."
"Pasti tidak enak ya Mas tidur dengan dia. Badannya kurus, tidak ada dagingnya. Wajahnya jelek tidak ada cantiknya. Aku heran, kenapa ibu memilih dia."
'kalau ibu memilihkan yang cantik, nanti kamu cemburu."
"Bagaimana nanti kalau anakmu sejelek ibunya. Apa ibu tidak berpikir sampai ke sana?"
"Entahlah, aku tidak mengerti dengan jalan pikiran ibu. Membabi buta ingin segera memiliki cucu. Yang dipilih untuk mengandung cucunya, wanita yang tidak jelas bobot, bebet, dan bibitnya."
Sepasang suami istri itu masuk ke ruang makan. Citra mengelus dadanya, lalu mengusap mata yang basah, sebelum ke luar dari persembunyian. Hatinya terluka, karena dihina oleh Cakra, dan Tami. Namun tidak ada yang bisa dilakukannya. Ia tidak ingin bertengkar, hanya karena hinaan. Selagi mereka belum keterlaluan, Citra memilih untuk diam, dan terus berdoa, agar ia segera hamil, dan bisa pergi dari rumah Cakra secepatnya.
Citra menyibukkan diri dengan pekerjaan. Ia membersihkan halaman juga. Sebuah mobil masuk dari pintu gerbang pagar yang dibuka oleh satpam. Citra yang tengah menyapu halaman berdiri tegak. Supir ke luar dari dalam mobil. Dibuka pintu mobil bagian belakang. Citra menatap pintu mobil yang terbuka. Ke luar seorang wanita cantik yang sudah berumur dari sana.
"Hay kamu! Kamu pembantu baru di rumah ini, atau kamu istri muda Cakra?" Wanita tua itu menunjuk Citra dengan jarinya.
"Iya, Nyonya. Saya Citra, istri muda Tuan." Citra menundukkan wajah saat wanita itu berdiri di hadapannya.
"Saya tidak habis pikir, kenapa ibunya Cakra memilihkan istri muda Cakra yang seperti kamu ini! Kampungan, jelek, pasti tidak berpendidikan. Cih, kalau anakmu lahir, pasti akan susah anakku mendidiknya nanti. Lah, ibunya modelnya begini!" Wanita itu mencibir sinis.
Citra mengangkat wajah. Dibalas tatapan sinis wanita di hadapannya. Citra yakin, sang wanita tua adalah ibunya Tami.
"Maaf, Nyonya. Posisi saya sebagai istri muda Tuan adalah permintaan tuan, dan nyonya besar. Bukan kemauan saya. Jadi sangat salah, kalau Nyonya mencibir saya. Selamat pagi."
Citra berlalu dari hadapan wanita tua itu. Ia tidak ingin menyodorkan hatinya untuk disakiti.
"Hey kamu! Berani kamu sama saya ya!"
Citra yang masuk lewat pintu samping, masih bisa mendengar teriakan marah wanita itu. Citra tak peduli. Dirinya bukan babu yang bisa diperintah semaunya. Keberadaannya di rumah ini diminta, bukan kemauannya. Tak ada keharusan baginya untuk melayani tamu Cakra, atau Tami.
Citra masuk ke dalam kamar, dengan air mata berderai. Hinaan demi hinaan ia dapatkan, itu membuat hatinya sakit. Citra masuk ke kamar mandi, dibersihkan kaki, dan tangannya. Dicuci juga wajahnya yang dihina jelek. Ditatap wajahnya yang basah oleh air di cermin.
"Kamu tidak jelek, Citra, tapi hati mereka yang menghinamu adalah hati yang busuk! Abaikan apapun hinaan mereka. Fokus menjalani perjanjian. Kamu harus semangat!"
Citra bicara pada bayangannya yang ada di cermin. Citra menarik nafas dalam. Lalu ia hembuskan.
Suara ketukan di pintu, dan panggilan suara Bi Lulu mengagetkannya. Citra segera menuju pintu. Dibuka pintu dengan perlahan.
"Citra, kamu tadi bicara apa dengan nyonya besar?" Nada cemas terdengar dari suara Bi Lulu.
"Aku hanya mengatakan, kalau aku ada di sini atas permintaan tuan, dan nyonya besar, Bi. Memangnya ada apa?"
"Nyonya besar mengadu kepada tuan, dan nyonya. Katanya kamu kurang ajar sekali, menghina nyonya mandul."
"Astaghfirullah Al adzim, fitnah itu, Bi. Sedikitpun aku tidak ada menjelekkan nyonya. Justru nyonya besar yang menghinaku."
"Ya Allah, tega sekali. Itu kamu dipanggil nyonya. Sabar ya, Citra."
"Iya, Bi."
Citra menutup pintu, bersama Bi Lulu ia melangkah untuk menghadapi apa yang akan terjadi di hadapannya saat ini.
Di ruang tengah, ada Cakra, Tami, kedua orang tua Tami, dan Bi Sulis. Begitu melihat Citra, Tami langsung mendekat, dijambak rambut Citra.
"Berani sekali ya kamu menghina aku!"
Citra tidak tinggal diam. Dipegang kuat lengan Tami yang menjambak rambutnya. Kebiasaannya mengulek sambal gado-gado dengan mencengkeram ulekan kuat berguna hari ini. Tami berteriak kesakitan. Dilepas tangannya dari rambut Citra. Citra melepas pegangannya di lengan Tami.
Satu tamparan dari Tami mendarat di pipi Citra.
"Nyonya! Anda orang berpendidikan, tapi bodoh sekali. Menelan begitu saja apa yang dikatakan ibu anda, tanpa bertanya pada saya. Kalau memang kalian tidak suka saya di sini. Saya akan bicara pada orang tua Tuan Cakra. Saya akan ceritakan semuanya. Bagaimana saya bisa hamil, kalau pikiran, dan perasaan saya tidak tenang!"
Citra berbalik ingin pergi, tapi Tami menarik kuat tangannya. Mereka kembali berhadapan.
"Jangan coba-coba melakukan itu, Citra!" Ancam Tami, jari telunjuknya menuding hidung Citra. Tatapannya tajam mengintimidasi.
"Kenapa? Apa yang akan Nyonya lakukan kalau saya melakukan itu. Saya tidak takut, Nyonya. Saya tidak salah. Kenapa harus takut!"
"Kamu!" Tangan Tami kembali terangkat, siap menampar Citra.
"Sayang, sudahlah. Biarkan dia di sini sampai tugasnya selesai," bujuk Cakra pada Tami.
"Oke, aku tidak akan mengganggumu. Tapi kamu tidak boleh menampakkan batang hidungmu di depanku!"
"Tidak masalah buat saya."
"Pergi sana!"
Citra melangkah pergi di bawah tatapan semua orang.
"Cakra, kalau diberi hati dia akan bertingkah nanti!" Citra masih bisa mendengar suara ibu Tami.
"Bu, biarkan dia menyelesaikan tugasnya. Setelah itu dia pasti pergi dari sini."
"Huh, benci sekali aku melihat dia!"
Citra tidak bisa mendengar lagi apa yang mereka bicarakan selanjutnya. Sambil melangkah menuju kamar, diusap matanya yang basah. Citra masuk ke dalam kamar, dan menumpahkan tangisnya di atas bantal. Ia bisa tegar di hadapan orang-orang yang membencinya. Namun ia menangis di belakang mereka. Jiwanya tak rapuh, tapi menghadapi kebencian yang ditujukan secara terang-terangan padanya, Citra tak bisa menahan sesak di dadanya.
'Ya Allah, aku mohon, kuatkan hatiku untuk menjalani ini semua. Demi masa depan sepupu-sepupuku. Beri aku rasa ikhlas, aamiin.'
Baru sebentar menjalani hidup sebagai istri muda, berbagai kejadian sudah menggores begitu banyak luka di dalam hatinya. Sebelumnya, Citra tidak pernah bertemu orang-orang seperti Cakra, Tami, dan ibunya. Orang yang menyimpan benci luar biasa, sehingga melontarkan fitnah, dan hinaan kepadanya. Namun Citra juga merasa, lebih baik tahu kalau mereka benci padanya, daripada berurusan dengan orang yang bermuka dua. Baik di hadapannya, menikam di belakangnya.
'Ya Allah, baru hari kedua aku di sini. Tapi sudah begitu banyak air mata yang alu tumpahkan karena sikap mereka. Mereka membenciku, seakan aku sudah merebut sesuatu yang paling berharga dari hidup mereka. Tuan Cakra juga sikapnya padaku sedingin salju. Yang jadi beban pikiranku sekarang. Bagaimana nanti nasib anakku. Apakah mereka bisa mencintainya, sedang ibunya mereka benci luar biasa. Ya Allah, bagaimana kalau anakku tidak mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari mereka. Sedang aku tak mungkin pergi dengan membawa anakku.'
Air mata Citra kembali menetes. Hanya doa yang bisa ia panjatkan, agar hal buruk yang ia pikirkan tak terjadi nantinya.
*