Bulan merasa kepalanya ingin pecah. Sakit sekali. Tangan dan kakinya juga terasa ngilu. Seluruh tubuhnya terasa kaku dan sakit semua. Ia ingin membuka matanya, tapi ia tak kuasa, ada sesuatu yang mengganjal matanya hingga ia tak bisa membuka matanya.
Ada apa di mataku? Pikirnya heran.
Bulan ingin mengangkat tangannya, tapi ia juga tak kuasa. Ia hanya mampu menggerakkan jari jemarinya. Satu-satunya hal yang terlihat normal hanya pendengarannya. Ia mendengar angin berhembus, suara mesin tut...tut... tut yang entah apa itu, ia tak tahu, suara kicauan burung, dan ia juga merasakan hangatnya matahari menerpa wajahnya dan sebagian tubuhnya.
Ia ingin berucap sesuatu, tapi mulutnya juga sakit. Seluruh tubuhnya sakit dan lemas. Satu-satunya hal yang mampu ia gerakkan hanya jemarinya dan matanya, tapi ada sesuatu di matanya, seperti penutup mata yang ia gunakan untuk tidur sehingga ia tak bisa membuka kedua matanya.
Sebenarnya gue ada di mana?
Perlahan ia mencium aroma obat-obatan. Ia menerka-nerka keberadannya antara ambulans atau rumah sakit. Ia mencoba mengingat-ingat hal terakhir yang ia alami.
Ia ingat! iIa dan keluarganya sedang menuju Malang untuk kepindahannya. Lalu rem mobilnya blong, ia menutup matanya ketika melihat mobilnya melaju diatas kecepatan rata-rata sembari ia memeluk erat adiknya. Ia ingat pula, jeritan Mama, mbak Maya, Papa, kakak lelakinya memekakkan telinga ketika benturan keras tak bisa lagi dihindari. Kemudian ia tak tahu apa-apa lagi.
Bulan tak kuasa. Air matanya pecah. Pikirannya penuh tentang bagaimana kabar keluarganya. Tentang apa ia mati atau masih hidup? Jika masih hidup kenapa ia tak bisa membuka matanya? Ia mencoba bangkit tapi ia tak kuasa. Ia juga ingin membuka suara,tapi tetap tak bisa. Semua usahanya sia-sia. Lalu ia mengutuki dirinya yang lemah dan tak berdaya. Ia kesal dan ingin marah.
Suara mesin di sampingnya berbunyi nyaring. Kepala Bulan terasa sakit tiba-tiba ketika ia mengingat kecelakaan tersebut. Kecelakaan yang mengerikan hingga saat kejadian ia memilih menutup matanya. Kecelakaan mengerikan itu melambai dan membuat sakit di kepalanya semakin menjadi-jadi.
Selama Bulan pingsan kurang lebih dua minggu, Bian setia menemani di sampingnya. Satu-satunya yang bisa dihubungi oleh pihak kepolisian hanya Bian, karena Bian adalah orang yang tak sengaja menelepon ponsel Bulan ketika ponselnya diamankan oleh pihak kepolisian.
Hari itu saat Bulan hampir sadar, Bian sedang berbicara dengan pihak rumah sakit dan juga kepolisian. Pemuda itu terlihat kacau dan terpukul dengan semua yang menimpa Bulan.
"Sepertinya Bulan baru saja sadar..." kata dokter lelaki yang berusia sekitar hampir empat puluh tahunan menyela percakapan Bian dengan seorang polisi yang perutnya sedikit buncit. Mendengar hal itu Bian kemudian berlari ke kamar Bulan. Dilihatnya Bulan masih dalam kondisi sama seperti satu jam yang lalu, dengan perban di mata dan beberapa selang yang menopang ia hidup.
"Kemungkinan besar beberapa jam lagi ia akan sadar. " imbuh dokter yang mengikuti Bian.
"Terima kasih dokter..."
"Anda sudah paham kemungkinan terbesarnya, kan?" Bian menunduk mendengar kalimat dokter tersebut. Ia berdoa semoga hal yang paling ia takutkan tak pernah terjadi.
Beberapa jam kemudian suara mesin di dekat Bulan membangunkan Bian yang tertidur di sampingnya. Dilihatnya jari jemari Bulan bergerak cepat, ia juga mendengar Bulan mengatakan kalau ia sedang haus. Buru-buru Bian mengambil air di atas meja dan menyuapi Bulan dengan air dalam sendok perlahan-lahan.
"Gue lagi ada di mana?" Bulan mulai bisa bicara dengan baik ketika ia mengenali suara Bian.
"Bulan... tenang, lo ada di rumah sakit..."
"Bian, please jangan tinggalin gue, mata gue sakit, badan gue juga...?"
"Iya... " lirihnya lesu.
"Keluargaku... bagaimana keluargaku? mereka baik-baik saja, kan? Mama, Papa, Satria, Mbak Maya?" tanya Bulan cemas.
Bian tercekat. Ia tak tahu harus berkata apa.
"Bian! katakan!"
"Tenang Bulan, mereka semua sudah damai..."
"Maksud lo, mereka semua baik-baik saja, kan?"
"Iya..." kata Bian. Dia bingung harus menjawab Bulan apa.
"Bian, mataku... kenapa ada perban di mataku?" tanya Bulan.
"Tidak apa-apa Bulan, matamu hanya cedera"
"Jangan membohongiku, Bian!"
"Tidak apa-apa Bulan, tenanglah... besok dokter akan membuka perban matamu."
"Baiklah... aku ingin segera menemui keluargaku... Mereka ada di rumah sakit ini, kan?"
"Iya..." Bian tertunduk. Keluarga Bulan memang ada di rumah sakit, tepatnya di ruang jenazah. Ia ingin menunggu Bulan untuk pemakaman keluarganya. Seberapapun pahit kenyataanya yang bakalan di hadapi oleh Bulan, Bulan harus tahu yang sebenarnya.
Pagi sekali dokter sudah bersiaga membuka perban Bulan. Semua yang ada di situ masing-masing berharap bahwa operasi mata Bulan berhasil sehingga ia tak buta. Tapi masing-masing dari mereka pun sudah tahu bahwasannya kemungkinan itu hanya 15% persen. Pembengkakan darah juga benturan yang keras di kepala Bulan membuat matanya tak mau berfungsi dengan baik. Ia membutuhkan donor mata jika ingin melihat kembali dengan normal, itu yang dikatakan dokter kepada Bian sebelum mereka memutuskan operasi yang kemungkinan berhasilnya sangat tipis.
Bulan tak sabar ingin membuka penutup matanya dan segera menemui keluarganya. Ia bahkan berulang kali menanyakan jam kepada Bian kapan dokter akan membuka matanya dan pukul berapa sekarang.
Perlahan dokter membuka perban di mata Bulan dengan sangat hati-hati dan berulang kali beroda dalam hati agar operasi yang dilakukannya beberapa minggu lalu berhasil. Ketika perban sudah selesai di buka dokter meminta Bulan membuka matanya perlahan.
Angin menyerbu mata Bulan berebut memenuhi kedua matanya. Ia menutup matanya kembali karena perih dan kembali ia membuka matanya pelan-pelan.
Gelap.
Mungkin matanya butuh waktu, pikirnya.
Ia menggerakkan bola matanya ke kanan dan kiri, masih gelap. Ia tak menyadari bahwa dokter yang berada di hadapannya sedang melambaikan tangan di depan mata Bulan.
Melihat Bulan seperti itu hati Bian teriris-iris.
"Bian... apa butuh waktu lama untuk mataku agar bisa melihat dengan baik. Tadi sih perih, atau jangan-jangan kita berada di ruangan kedap udara dan kedap cuaca?" tanya Bulan.
Bian mendekat. Ia melingkarkan lengannya di bahu Bulan dan berusaha sekuat tenaga agar ia tak menangis. Bulan meraih tangan Bian.
"Nyalakan lampunya donk..." pinta Bulan. Entah mengapa jantung Bulan berdetak cepat. Firasat aneh yang menghantuinya sejak ia sadar matanya tertutup oleh kain kassa dan perban berusaha ia tepis jauh-jauh.
"Ini masih jam 8 pagi, lan... Dan kita sedang duduk di depan jendela membiarkan matahari menyaksikan kita." kata Bian lesu. Bulan terdiam. Ia tahu, sangat tahu apa maksud Bian terlebih ia juga merasakan hangatnya matahari pagi menyinari dirinya.
"Lo bohong!" kata Bulan dengan suara serak berusaha agar tak menangis. Bian tak kuasa lagi lalu ia memeluk Bulan sembari menagis di bahunya.
"Lepasin gue! Lo pasti bercanda,kan? Pasti sekarang lagi malem dan lo matiin lampunya, kan? Iya,kan?!" katanya. Ia berontak saat Bian memeluknya lebih erat, Bulan bahkan memukul-mukul punggung Bian dengan kekuatan tangannya yang tak seberapa. "Lepaskan! Lepaskan Bian! Gue gak mungkin buta, kan?! Hiks.. Hiks..hiks..." katanya marah dengan tangis yang pecah.
Gadis itu meronta-ronta dan berteriak memanggil seluruh keluarganya, mengadu pada Mamanya bahwa kini ia telah buta. Gadis itu menjerit-jerit dan berusaha melukai matanya. Melihatnya seperti itu hati Bian teriris-iris dan ia terus berusaha sekuat tenaga agar Bulan tenang. Di dekapnya Bulan erat-erat, dibisiknya lembut kalimat yang akhirnya membuat Bulan lelah karena telah memukul-mukul Bian dan melukai dirinya sendiri.
Aku akan bersamamu, aku akan selalu di sampingmu. Aku akan selamanya bersamamu, apapun yang terjadi.
Ya... kalimat itu, kalimat itu mampu menenangkan Bulan, setidaknya ia sudah tak meronta dan hanya menangis saja. Gadis itu tak pernah menyangka bahwa ia akan kehilangan pengelihatannya dan seluruh keluarganya di usianya yang masih muda...