Katakanlah seluruh dunia telah tenggelam dan kau terpaksa terapung dengan sebuah pelampung yang melekat di dirimu. Kau terus terbawa arus entah kemana, siang dan malam bagimu sama saja, tak ada bedanya, sama-sama dingin dan sunyi, seperti itulah yang Bulan rasakan ketika mendapati dirinya tengah buta, juga ketika pihak rumah sakit dan kepolisian mengucapkan bela sungkawa kepadanya atas tewasnya seluruh keluarganya.
Ia sudah lelah karena dua jam lamanya ia telah bertengkar hebat dengan Bian. Dirinya dihadapan Bian seolah makhluk paling lemah di dunia dan butuh dikasihani.
Ia tak ingin hidup, tak ada yang bisa membuatnya bertahan hidup. Apa lagi yang ia miliki di dunia ini? Tak ada. Keluarganya sudah lenyap, ia bahkan tak mampu pergi ke pemakaman seorang diri dan menyaksikan keluarganya menyatu dengan tanah. Ia hanya mampu merasakan tanah tersebut basah dan ia berharap bisa menyatu dengan tanah itu bersama keluarganya.
Tak ada yang tersisa di hidupnya. Semuanya telah pergi, kemudian untuk apa ia berlama-lama di dunia?
Bulan menebak hari sudah malam karena suara kaki Bian yang meninggalkan kamarnya. ia sengaja pura-pura tidur di samping Bian, hanya agar Bian pergi seperti malam-malam sebelumnya, Bian akan kembali ketika Bulan mendengar beberapa perawat ke ruangannya dan rumah sakit kembali ramai. Ia sangat yakin rumah sakit telah sepi, para pasien telah tidur dan penjaga atau perawat punya jadwal kunjungan pasien yang Bulan hapal waktunya.
Aneh, sejak pengelihatannya menjadi seperti itu, beberapa indra yang lain semakin tajam. Ia mampu mendengar percakapan meski itu dilakukan dengan berbisik dan di luar kamarnya, padahal untuk sampai ke pintu kamar, ia harus melangkah sebanyak 10 langkah. Juga ketika ia mencium aroma lain dalam makananya, ia mampu mengenali masakan apa yang dibawa suster untuknya dari jarak cukup jauh, serta tangannya mampu merabaa lebih baik. Sebenarnya ia sudah bisa membedakan mata uang kertas yang asli dengan palsu dengan meraba bagian angka nominal yang terasa kasar saat ia dulu masih bisa melihat, tapi kini ia merasa tangannya memiliki kepekaan yang tinggi. Ia bahkan mampu merasakan debu halus di kasur atau bantalnya.
Tuhan mungkin mempertajam indranya yang lain, tapi tanpa mata ia tetap saja terlihat cacat dan kasihan.
Ia tak ingin hidup seperti itu. Menyedihkan. Jika ia mati, orang yang mungkin sedih hanya Bian. Ia tak memiliki keluarga lagi di dunia ini. Ibunya anak tunggal, kakek dan nenek dari ibunya juga sudah meninggal. Papa anak bungsu, dan sebenarnya ia masih memiliki Paman, tapi pamannya sudah menetap di Australie dan semenjak kakek dan neneknya dari Papanya meninggal pamannya sudah tak pernah ke Indonesia lagi.
Ia ingat pertengkaran Papa dan Pamannya saat upacara peringatan 7 hari kematian kakeknya. Pamannya mati-matian menyalahkan papanya karena tak mengabarinya. Padahal Papanya sudah berulang kali menelepon, mengirim pesan hingga email, namun tak ada satupun yang dibalas. Setelah menjual properti milik kakek yang diwariskan kepada pamannya, pamannya meninggalkan Indonesia dan tak pernah kembali.
Mengabarkan kematian Papanya kepada pamannya menurut Bulan hanya akan membuang tenaga, pasalnya pamannya sudah termakan oleh omongan istrinya yang tak pernah menyukai Papa Bulan juga mertuanya.
Bulan sudah menghitung sampai seratus dan Bian belum kembali. Ia menebak lelaki itu sedang khusyuk shalat di masjid rumah sakit atau entah kemana, ia tak tahu. Bulan menarik selang inpus di tangannya sangat kuat, sehingga tanpa sengaja ia menjatuhkan inpus yang tergantung di sisinya.
Ia tak peduli. Bukankah tak ada orang disekelilingnya? Ia hanya perlu mengiris nadinya dengan jarum inpus lalu semuanya akan beres. Saatnya meninggalkan dunia, itu pikirnya.
Saat ia akan mengiris pergelangan nadinya, seseorang menerobos masuk ke dalam kamarnya, berjalan ke arahnya cepat, mengambil jarum inpus dan melemparkannya begitu saja.
"Ah, b******k! Sapa lo?!" kata Bulan. Pemuda dihadapannya melihat Bulan dengan sedikit terkejut, pasalnya Bulan menengok ke kanan kiri mencarinya, padahal ia tepat berada di hadapannya. Mereka hanya berjarak dua langkah. Laki-laki itu menggoyangkan telapak tangan kanannya ke kiri dan ke kanan. Ia cukup tercengang gadis cantik di hadapannya tak bisa melihat.
Bulan turun dari ranjang, ia mendengar jarum tersebut jatuh tak jauh dari sisi sebelah kanannya. Ia meraba-raba lantai. Laki-laki itu masih terus memerhatikan Bulan dan segala yang ia lakukan.
Laki-laki tersebut menghidupkan lampu kamar Bulan tepat ketika Bulan telah menemukan jarum yang ia cari. Ketika Bulan ingin memotong nadinya kembali, lelaki itu menggenggam erat kedua tangan Bulan.
"Lepaskan! b******k lo!" umpat Bulan. Pemuda itu masih tercengang. Dimatanya Bulan terlihat sangat putus asa. Tetapi, gadis itu bahkan tak menangis ketika pemuda itu mencengkram erat kedua tangannya. Ia sangat yakin cengkramannya kuat dan sakit, tangan gadis itu bahkan merah.
"Lo mau mati?! jangan disini! ikut gue!" katanya seraya menarik tubuh Bulan. Bulan gelagapan dan berontak ketika pemuda itu menarik dan memaksanya berjalan, ia bahkan berulang kali terjatuh dan menabrak orang, perawat, troli, kursi roda.
Tak ada yang menghentikan pemuda berjas putih itu saat memaksa seorang pasien buta yang cantik berjalan. Semuanya diam. Ya, dokter tersebut memang terkenal jahat dan tegas.
Tiba-tiba di tengah usahanya melepaskan diri dari cengkraman lelaki kasar, Bulan mendengar sesuatu. Ia menahan dirinya kuat-kuat dan terpaku.
"Ayo!" kata pemuda itu berusaha menariknya lagi. Bulan terdiam dan tak meronta, ia bergeming dengan wajah tegang mendengar suara yang sangat ia hapal milik siapa. Ia yakin sekali dua suara yang ia hapal sedang melakukan perbincangan tersembunyi. Laki-laki yang menarik tangan Bulan ikut terdiam, ia memerhatikan Bulan baik-baik ketika Bulan mengangkat telunjuknya ke arah bibirnya-menyuruh pemuda itu diam. Bulan melepaskan genggaman tangan lelaki itu, lelaki itu merenggangkan ikatannya, ia juga penasaran. Beberapa orang yang berlalu lalang di sekitar mereka melewatinya buru-buru. Lorong itu kini hanya tinggal mereka berdua saja.
Bulan berjalan dengan tangan yang mengudara, berusaha meraih sesuatu, sedangkan laki-laki tersebut mengikutinya perlahan-lahan. Bulan merapatkan telinganya di dinding rumah sakit dengan masih mencari-cari suara yang menurutnya tak asing.
Bulan berhenti, tepat di ruang tangga darurat. Ia berjarak sekitar tiga langkah dari pintu darurat tersebut. Laki-laki di belakangnya melangkah mendahuluinya dan Bulan yang tahu dari suara langkah kakinya meski pelan menarik lengan lelaki itu. Lelaki itu membalikkan wajah dan melihat Bulan menggelengkan kepalanya. Lelaki itu tak menghiraukan Bulan, ia merapatkan tubuhnya ke arah pintu, dengan posisi lengan kirinya yang masih dipegang Bulan.
Terlihat di mata lelaki itu seorang lelaki dan perempuan sedang berdebat di tangga rumah sakit yang gelap. Ia menempelkan telinganya seperti Bulan, ia tak menyangka bahwa gadis buta di belakangnya sungguh memiliki pendengaran yang peka, padahal jarak dari tempat Bulan sebelumnya berdiri dan tangga darurat ini kurang lebih sepuluh sepuluh meter.
"Lo gila!" umpat lelaki itu di tangga darurat rumah sakit.
"Gue gak nyangka akan sejauh ini akibatnya..." gadis di tangga itu terisak.
"Jangan deketin gue dan Bulan lagi!" kata lelaki itu tegas.
"Bian gue ngelakuin itu semua karena cinta sama lo!"
"Lo gila! lo bunuh keluarga Bulan!"
Bulan yang mendengar itu spontan tercekat dan kaget. Termasuk lelaki yang juga menguping bersamanya. Ia tak menyangka akan mendengarkan kalimat mengerikan seperti itu di tempatnya bekerja. Lalu perempuan itu menyebut nama lelaki itu siapa? Bian?
"Gue ngelakuin itu karena gak mau kehilangan lo, Bi!" ucap Siska. Bulan mendengarnya baik-baik. Ia tak percaya dengan pendengarannya. Tapi matanya yang terlihat terkejut hingga air matanya yang keluar membuatnya benar-benar sadar bahwa ia sedang tak bermimpi. Tiba-tiba seluruh badan Bulan bergetar.
"Dengan membuat keluarga Bulan kecelakaan lo sebut cinta?!" kata Bian geram dan marah. "Gue gak kenal lo Sis, lo harus ke kantor polisi!" kata Bian. Siska terlihat marah dan terkejut. Ia tak pernah menyangka Bian memintanya untuk menyerahkan diri. Ia pikir Bian akan melindunginya, nyatanya ia keliru dan kebenciannya kepada Bulan semakin besar, hingga rasa penyesalan yang menyebabkan keluarga Bulan tewas tiba-tiba saja menguap dari dadanya begitu saja.
"Lo mau gue di penjara? padahal lo sendiri tahu gue ngelakuin ini semua buat hubungan kita! lo gak mungkin lupa, kan? sebelum lo jatuh cinta ke Bulan dan ngabaikan gue, lo sempet hancurin keluarganya dengan membuat perusahaan bokapnya bangkrut? lo pikir gue gak tahu lo manipulasi laporan keuangan perusahaan bokapnya agar mau join dengan usaha bokap lo?" kata Siska. Bian tampak pucat. "Gue masih simpen bukti-bukti kecurangan lo dan semua korupsi lo, bagaimana kalau kita sama-sama di penjara? Hah? Bulan? tentu saja gue yakin ia akan mati mengetahui bahwa lelaki yang dicintainya mengkhianatinya! apalagi kalau gak mati? lo tau kan dia udah berusaha bunuh diri?" Bian semakin pucat.
Lelaki berjas itu berbalik dan dilihatnya perempuan muda di hadapannya kini tengah gemetaran dan menangis. Ia yakin sekali perempuan di hadapannyalah yang kini sedang dibicarakan oleh dua orang asing di tangga darurat itu.
Bulan yang terkejut dan tercekat mundur perlahan-lahan setelah menghapus air matanya. Ia merasakan kakinya gemetaran dan tak ingin terjatuh di sana. Ia yakin sebentar lagi Bian akan mengunjunginya di kamar dan ia tak ingin Bian mengetahui bahwa dirinya telah mendengar percakapannya dan Siska.
Bulan hampir terjatuh, tapi dengan sigap lelaki berjas putih itu menangkap tubuhnya.
"Diamlah. aku akan membawamu ke kamar." Kata pemuda itu seraya menggendong Bulan dan melangkah menuju kamarnya. Entah mengapa untuk pertama kalinya dalam hidup ia merasa sangat simpati kepada orang asing.
"Dokter Rendy, butuh kursi roda?" tawar seorang perawat dan pemuda itu menolak tawarannya dengan menggelengkan kepalanya.
Rendy. Bulan merekam namanya dalam memorinya. Pemuda dengan aroma maskulin di leher dan nafasnya yang hangat serta aroma mint segar mulutnya.
Aku berharap kita akan sering bertemu setelah ini.