Bab 1

1888 Words
Tepat pukul 23.45 telepon Farhana berdering nyaring. Dia tergopoh keluar dari kamar mandi. Jantungnya seketika mencelus tatkala melihat siapa yang melakukan panggilan di tengah malam seperti ini.  Farhana memang belum tidur, setelah pulang dari masjid melaksanakan salat tarawih berjamaah, dia mencuci pakaiannya yang sudah direndam sejak sore tadi.  Tinggal jauh dari orang tua adalah pilihan Farhana, alasan lebih dekat dengan tempat kuliah dan tempat magang, adalah alasan kesekian yang pernah dia gaungkan pada kedua orang tuanya.  Farhana mendekatkan ponsel itu ke telinganya. “Halo. Assalamu’alaikum, Bu.” [Sayang,] Suara itu terdengar parau, seolah resah tengah menyelimuti hati sang ibu di seberang sana.  “Iya.”  [Pulanglah, ayah butuh kamu sekarang.] Jantung Farhana mencelus. Seolah benda berat baru saja dipukulkan ke dadanya. Ini memang hari Jumat, seharusnya Farhana mengikuti kata hati untuk segera pulang. Bukankah dia sudah berjanji akan pulang sebelum Idul Fitri. Lalu kenapa dia masih tetap ada di sini, jauh dari orang tua dan terus-menerus mengikuti hawa nafsu? “Tapi--” Farhana menatap jam di dinding, “ini sudah terlalu malam, Bu.”  Bip! Suara tersebut mengakhiri panggilan dari sang ibu. Farhana bangkit dari duduknya. Masih dalam keadaan setengah basah karena baru selesai membilas pakaian. Dia menyambar handuk untuk mengeringkan tubuhnya mengganti pakaian dengan pakaian kering. Tiba-tiba telepon kembali berdering. Kali ini datang dari keponakannya.  [Halo, Tante.] Suara di seberang sana lagi-lagi membuat perasaan Farhana tak tenang. “Iya Mel?”  [Pulang, Tante. Kakek udah kejang-kejang, dari tadi hanya terdengar suara ngorok dari mulutnya.] Ponsel Farhana jatuh terpental ke atas kasur. Dia mematung cukup lama, mencerna kalimat apa yang baru saja dia terima dari Amelia.  Farhana segera menyambar kerudung dan mantel. Ponsel yang tergeletak di atas kasur segera dia masukkan ke dalam tasnya. Kunci yang menggantung di balik pintu dia ambil dengan segera, hingga ketergesaan itu membuat tali pengait putus dari kunci tersebut, teronggok sudah gantungan kunci berbentuk kelinci hadiah dari sang ayah.  Farhana menarik napas yang bergetar tanpa suara. Tangannya terangkat di depan pintu kamar Raka. Baru siang tadi dia menolak cinta Raka, dan sekarang dia malah merendahkan diri dengan meminta bantuan pria tersebut.  Ketukan ketiga pintu terbuka. Raka menatapnya penuh keanehan. “Ada apa?”  “Antar aku pulang malam ini, bisa?” Raka mengernyit. Dia mengedarkan pandangan ke langit gelap, menengok ke belakang tubuh Farhana. Kemudian dia berbalik untuk melihat jam di dinding kamarnya. “Astaghfirullah hal‘adzim.” Raka berjalan cepat menuju pintu. “Ini tengah malam, ngapain pulang?”  Farhana menenggak liurnya. Lidahnya kelu untuk menjawab pertanyaan Raka, hanya air mata yang melintasi pipi sebagai jawaban yang dia berikan pada pria itu.  “Iya, oke. Aku antar kamu pulang, sekarang.” Raka menatap gadis bermata bulat yang kini tertunduk menyembunyikan kepedihan darinya. “Tunggu sebentar.” Dia mengacungkan telapak tangannya di depan wajah Farhana.  Raka mengganti celana dan mengambil jaket, ponsel dijejalkan pada saku celananya. “Yuk!” Raka tergesa mengeluarkan motor dari kamar kosnya. Farhana membantu Raka mengunci pintu kamar kos. Tanpa banyak bicara Farhana segera naik ke atas motor, begitu mesin dinyalakan, sesaat kemudian motor melesat memecah keheningan malam.  Sepanjang perjalanan, Farhana sibuk merangkai kenangannya bersama sang ayah. Namun, mendadak dia tidak menemukan kenangan berharga apapun bersama Harun selain perselisihannya dengan pria itu tiga bulan yang lalu.  “Rania itu, sudah pintar, tidak melawan seperti kamu, bahkan dia bisa hidup mandiri, ayah yakin kamu tidak akan bisa seperti dia.”  “Terus saja, bandingkan Hana dengan dia, Rania lagi, Rania lagi, anak ayah itu Hana.” Farhana menunjuk dadanya sendiri di depan sang ayah. Kemudian dia bangkit, lalu membanting pintu kamar dengan penuh emosi.  Dia sibuk mengemasi pakaiannya ke dalam koper. “Lihat saja kalau aku pergi, aku tidak akan kembali, biar tahu rasa!” gerutunya. Dengan tabungan yang dia punya, dia bersumpah akan membuktikan pada seluruh dunia, bahwa dia bisa hidup jauh lebih baik dibanding si Rania itu.  Hampir tiga hari Farhana mendiamkan Harun, egoisme mendominasi karakternya, meski sang ayah sudah menyadari kesalahannya dan meminta maaf karena terlalu emosi, sehingga berulang kali membandingkan Farhana dengan anak dari adiknya yang dinas sebagai perawat di luar kota.  Namun, niat Farhana untuk pergi dari rumah itu sudah bulat. Satu minggu dari kejadian tersebut Farhana menuntaskan janjinya, dia memang tidak pergi di hari yang sama, lantaran takut jika dikatakan kabur dari rumah.  Setelah suasana hati membaik, dia meminta izin pada ayah dan juga ibunya untuk ngekos. Mahasiswi desain interior semester akhir itu beralasan kampusnya terlalu jauh dari rumah, memakan waktu lama, apalagi sekarang dia sedang menyusun skripsi.  “Hana sambil magang, kalau berangkat dari sini kejauhan, Bu. Lagi pula Raka sudah janji, kok, untuk bantu Hana.”    Rahmi tersenyum sementara Harun mengangguk. “Hanya sampai lulus kuliah, ‘kan?” tanya Harun. Dia seperti menghitung bulan masehi dengan jarinya. “Sekitar enam bulan lagi, ya.” Farhana mengangguk. Namun, dalam hati bergumam, jika itu bisa dia lakukan seumur hidup, maka akan dia lakukan. “Pantang pulang sebelum sukses”. Kalimat tersebut menjadi motto hidupnya saat ini.  Rahmi mengajak Farhana untuk duduk. Dia merangkul bahu anak gadisnya itu. “Kamu tahu, sebenarnya ibu merasa berat karena kamu memutuskan untuk pergi meninggalkan rumah.” Farhana mendongak menatapnya. Terkadang memang hal itulah yang membuat Farhana sulit untuk mandiri.  “Tapi, ibu percaya anak gadis ibu adalah anak yang kuat dan pemberani.”  Farhana tersenyum, kalimat sang ibu menjadi kekuatan baginya.  “Pulang seminggu sekali, ya,” pinta Harun.   Farhana mengangguk. Namun, lagi-lagi dia bersumpah dalam hati, bahwa dia tidak akan mengabulkan permintaan ayahnya itu. Untuk apa dia pergi kalau pada akhirnya dia harus bolak-balik seminggu sekali? Lagi-lagi alasannya, dia tidak ingin orang di sekeliling meremehkannya. Farhana pergi seperti orang tak punya amarah, padahal hal itu sudah membakarnya sejak seminggu yang lalu. Farhana terlalu sibuk dengan dunianya, hingga lupa pulang. Satu bulan berlalu, akhirnya Farhana pulang ke rumah. Namun, perkataan sang ayah telah memecut semangatnya untuk semakin menjauhkan diri dari tempat tinggalnya.  “Kamu nggak usah pergi kalau pada akhirnya lupa dengan kami di sini,” ucap Harun sembari meletakkan cangkir besar berisi teh tawar di atas meja.  Bagi Farhana kedua orang tuanya terlalu khawatir, sehingga membatasi ruang geraknya. “Sebulan, dua bulan mungkin ayah sama ibu belum terbiasa, tapi nanti juga terbiasa, kok.” Farhana terdiam sejenak, “Lagian Hana di sana belajar mandiri, biar ayah tahu, Hana juga bisa jauh lebih baik dari si Rania.” Kalimat Farhana terlalu menusuk d**a Harun. Namun, dia mencoba mengerti, ini juga merupakan kesalahannya yang terlalu membanding-bandingkan Farhana dengan anak lain.  Farhana kembali kuliah sambil bekerja, hingga saat memasuki bulan suci ramadan, semua anggota keluarganya berkumpul di rumah untuk melaksanakan tradisi munggah. Hanya Farhana yang enggan pulang.  [Han, besok sudah mulai puasa loh, kok kamu nggak pulang?] tanya Rahmi di balik telepon.  Farhana tak memberikan jawaban pasti, dia terlalu ingin orang tuanya terbiasa dengan ketiadaan dirinya di rumah. Bukan meneleponnya hampir setiap hari.  [Kamu nggak kangen ibu, ayah, sama kakakmu? Mereka sudah ada di rumah loh.] “Hana pulangnya nanti aja, pas mau Idul Fitri.”  [Jangan pulang sekalian biar kamu menyesal seumur hidup.] Kali ini suara sang ayahlah yang ada di balik telepon.  Jantung Farhana mencelus. Kenapa harus kalimat itu yang dia dengar dari sang ayah. “Ayah tenang aja, Hana pasti pulang, kok. Lagian kerjaan Hana di sini nanggung banget, masa cuma di kasih libur tiga hari,” tuturnya. [Perusahaan macam apa itu, keluarga teman kamu muslim, ‘kan?] “Iya Ayah, tapi Hana udah pindah kerja ke perusahaan yang lebih besar.” [Sudahlah, terserah kamu.] Harun mematikan sambungan telepon.    Farhana baru menyadari ternyata waktu yang dia jalani selama ini dengan ayahnya terlalu singkat. Nahasnya, kali ini justru dia merasa waktu sangat lambat, bahkan hatinya menggerutu karena dia merasa perjalanannya tak kunjung sampai.  Dia teringat kembali perkataan Amelia yang memberitahu tentang kondisi ayahnya dengan suara parau seperti habis menangis, bendungan air mata kembali tumpah membuat kedua pipinya basah.  Motor memasuki jalan berbatu dengan pinggiran sungai yang deras, di sisi lain terdapat sawah membentang luas, sinar bulan menerangi perjalanan mereka. Raka baru tahu Farhana tinggal di tempat seindah ini.  “Kanan apa kiri?” tanya Raka sembari memperlambat laju motornya.  “Kiri.”  Raka berbelok ke kiri dan kembali menambah kecepatannya. Di sebuah lapang depan masjid motor berjejer rapi. “Di sini, Ka,” ucap Farhana. Seorang pria memberi aba-aba agar Raka parkir sesuai tempat yang dia tunjukkan.  Lutut Farhana lemas kala turun dari motor. Hampir semua tetangga berkerumun di depan rumahnya. Helm yang baru saja dia buka terjatuh di atas lantai hingga kebisingan yang dihasilkan membuat semua terkesiap dan menoleh ke arah pintu.  “Ayah ….” Langkah kaki Farhana terasa berat untuk melangkah. Sang ayah sedang dibisiki kalimat talkin oleh kakaknya. Dia menghambur memeluk sang ayah dan menyandarkan kepala di dadanya. “Ayah, Hana pulang, Yah.”  Fahri membelai punggung sang adik.  “Ayah, ini Hana. Hana pulang, Ayah.” Farhana tak sanggup lagi menahan tangisnya. Diana, istri Fahri segera membantu Farhana untuk bangkit dan sedikit menjauh dari ayahnya. “Ayah ….”  Pemandangan tersebut menjadi kenangan terakhirnya dengan sang ayah. Hingga pagi menjelang Farhana terus saja menangis, menyesali keadaannya. Andai dia mengikuti kata hati untuk pulang lebih awal dari yang sudah ditetapkan, mungkin dia masih bisa meminta maaf pada ayahnya.  “Kemarin--” Perkataan Farhana tersendat. “Perasaan Hana nggak enak.” Dia tertunduk di depan Diana--Kakak iparnya. “Hana inget rumah, Hana ingat ayah, ibu.” Farhana menyeka air matanya.  Raka datang membawakan tisu. Farhana segera menariknya beberapa lembar. Dia membuang lendir yang menghalangi udara masuk lewat hidungnya.  Diana terus membelai punggung Farhana. “Kamu harus ikhlas agar jalan ayah untuk kembali pada Allah diberi kelancaran.” “Hana pergi dari rumah karena Hana marah, kesal. Hana nggak suka saat ayah bandingin Hana sama Rania.” Gumaman Farhana terdengar oleh Rania. Farhana memang terlalu ingin meretas anggapan bahwa dia tidak bisa mandiri dan tak bisa jauh dari orang tua.  “Maafkanlah, Sayang.” Diana membelai puncak kepala Farhana. Farhana mengangkat wajahnya dan menatap Diana yang kembali berujar, “Maafkan ayah, sudah kak Diana bilang, ini agar Allah memudahkan jalan ayah untuk kembali pada-Nya.” Diana tak menjauhkan tangannya dari bahu Farhana.  Farhana tertunduk kembali. Keresahan membuat dia meremas jari-jemari tangannya sendiri. Hatinya benar-benar sakit, dia menyayangkan apa yang telah dia lakukan. Andai Farhana mengerti dan tidak menjadi pendendam seperti ini.  Diana mengerti jika saat ini Farhana butuh kekuatan untuk bangkit dan keleluasaan hati untuk menerima semuanya. Diana merengkuh tubuh adik dari suaminya itu. “Kamu harus ikhlas. Nanti pukul 09.00 ayah akan disemayamkan.” Farhana tidak kuat mendengar kalimat itu. “Ayah nggak boleh ke mana-mana,” gumamnya.  Rahmi mematung di depan anak gadis beserta menantunya. Dia menatap dalam wajah sedih anaknya. Air mata tak hentinya berderai. “Harus dengan cara inikah agar kamu mau pulang?” tanyanya pelan. Farhana menoleh, dia segera bersimpuh di kaki sang ibu. “Hana minta maaf, Bu.” Rahmi membantu Farhana untuk berdiri. “Ibu sudah maafin kamu. Kamu yang perlu maafin ayah, biar ayah pulang nggak bawa beban banyak.” Kalimat Rahmi telah membuatnya semakin merasa bersalah. “Hana sudah maafin ayah, tapi Hana takut ayah yang nggak maafin Hana.” Rahmi mengurai kembali air matanya. “Ayah sudah maafin kamu, ayah juga sudah cerita semuanya sama ibu.” Rahmi mencoba tersenyum, meski terkesan begitu getir. “Maafin ibu, karena nggak tahu kalau sebenarnya kamu sama ayah pernah ada masalah.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD