Bab 2

1653 Words
Hidangan tersaji di atas meja, berbagai macam makanan dari mulai makanan berat hingga ringan ada di sana, minuman berwarna merah, orange, hingga hijau melengkapi semuanya. Ini adalah acara syukuran kelulusan Farhana.  Meski masih merasakan duka, lantaran kepergian sang ayah yang baru tiga bulan itu, namun mereka harus tetap melangkah dan melanjutkan hidup, terutama Farhana karena babak baru dalam hidupnya baru saja dimulai.  Ucapan selamat dari seluruh keluarga besar menggaung di ruangan itu, paman, bibi, adik dari Harun pun datang memenuhi undangan, meski hanya untuk menyantap hidangan sederhana yang disediakan oleh Rahmi.  Acara ini diadakan bukan hanya untuk syukuran atas kelulusan Farhana. Namun juga untuk membahas surat wasiat yang kini ada dalam genggaman Farhana. Surat yang ditinggalkan Harun untuknya, ada atau tidak adanya Harun, surat itu memang akan tetap diberikan padanya saat acara kelulusan ini. Namun, ketika Harun sudah tiada, status surat itu berubah menjadi sebuah wasiat.  “Hana nggak kuat.” “Apa perlu Kakak bacain?” tanya Fahri mendekat.  Farhana menggelengkan kepala. Genggaman tangannya pada surat itu semakin menguat, seolah dia tidak mengizinkan Fahri untuk melihatnya.  “Maafin Hana, Bu. Hana nggak tahu kalau kemarin adalah ramadhan terakhir ayah.” Rahmi mengumbar senyum yang Farhana rasakan getir mengoyak hati. “Umur memang nggak ada yang tahu, Han. Ayah ‘kan nggak sakit, dia hanya terpeleset di kamar mandi, ibu kira ayah akan baik-baik saja.” “Hana nyesel, Bu. Hana memang egois. Terlalu menuruti nafsu.”  Rahmi membelai puncak kepala anaknya. “Ikhlaskan, maafkan semua yang pernah ayah katakan sama kamu, dia sayang banget kok sama anak gadisnya.” Farhana mengangguk. Sebagai anak bungsu dari dua bersaudara, apalagi sebagai anak perempuan, Farhana ingat betul kasih sayang dan perlindungan yang Harun berikan terhadapnya lebih besar dari yang diberikan pada Fahri sebagai kakaknya. Dan dia menyesali sikapnya yang menjadi pembangkang. Dia memang terlambat menyadari kasih sayang orang tua lebih berharga dari apapun. Andai dia tahu sejak awal, cara membalas kasih sayang mereka sebenarnya cukup mudah, hanya perlu menjadi anak yang solehah, patuh, mencari keridhaan Allah pun mudah, karena ridha itu sendiri ada pada ridha orang tua. Namun, memang manusia selalu tergoda dan mengutamakan nafsunya sendiri. “Hana memang sering melawan sama ayah.” Farhana tertunduk. Andai waktu bisa diulang, akan dia perbaiki semuanya. “Tugas kamu sekarang adalah doakan ayah.” Rahmi tersenyum sembari kembali membelai puncak kepala anaknya. “Doa anak shalih dan shalihah  itu, 'kan mustajab.”  Farhana mengangguk. Kemudian dia menarik napas dan menatap sepucuk surat yang masih dalam genggamannya itu. Sebagai para saksi, Rahmi dan Fahri beserta istrinya duduk di depan Farhana. “Bacalah,” pinta Rahmi, sudah saatnya kamu mengabulkan keinginan ayahmu.” Jantung Farhana mencelus. Perasaannya tidak nyaman. Farhana membuka lipatan pertama, di sana tertulis “untuk anakku tersayang Farhana Zean Marada binti Harun Shofwan Marada.” Baru saja Farhana membaca baris pertama paling atas, dia sudah merasakan napas yang mendadak sesak dengan jantung yang terasa dicubit.  Han, ayah minta maaf karena ayah terlambat menyadari kalau cara ayah mendidik kamu mungkin salah. Ayah memang terlalu keras, kamu mungkin tidak suka cara ayah yang terlalu menjadikan orang lain sebagai cerminan untuk pencapaian kamu, padahal itu tidak menjadikan kamu terpacu tapi malah menjadikan kamu benci sama ayah.  Han, ayah punya janji, ayah harap kamu mau bantu ayah untuk memenuhi janji itu.  Farhana menatap ibu dan juga kakaknya. “Kenapa cuma Hana?” tanyanya.  Fahri mengedikkan bahu. “Berarti cuma kamu yang bisa penuhi janji ayah.” Rahmi mengangguk membenarkan perkataan Fahri. Kemudian Farhana kembali menatap surat itu.  Kamu harus tahu, sewaktu perusahaan ayah bangkrut, keluarga Pranaja banyak membantu, mereka membantu membayar sisa utang-utang ayah. Kini utang itu sudah lunas dengan ayah bekerja sebagai sopir mereka. Namun, sebuah janji mengikat ayah untuk tetap bekerja pada mereka.  Farhana menarik napas. Dia menatap Rahmi yang tidak sabar melihat Farhana menyelesaikan kalimat selanjutnya.  Janji itu terbentuk sejak kamu masuk perguruan tinggi. Anak sulung keluarga Pranaja ingin kamu menjadi istrinya.  Jantung Farhana mencelus dengan mulut terbuka karena kalimat yang dia baca menggantung di pikirannya.  Fahri terperangah. Namun Rahmi cukup santai karena dia sudah tahu semuanya. Sementara Diana tak begitu terkejut karena dia tidak begitu paham dengan apa yang dirasakan Harun kala menjanjikan itu pada anak dari majikannya. Diana yakin bukan itu yang mengikat ayah mertuanya itu. “Bu … maksud ayah apa? Apa sebelumnya ayah sudah ceritakan ini sama ibu?” tanya Farhana. Rahmi mengangguk. Dia kemudian menarik napas. “Ayah memang pernah katakan itu. Ayah hanya ingin kamu memenuhi janjinya.” “Tapi Hana--” Farhana tercenung memikirkan apa sebaiknya dia mengatakan apa yang tengah dia rasakan atau memendam semuanya? “Ibu tahu kamu perlu waktu untuk mengenalnya, iya ‘kan?” Farhana menarik napas, kemudian mengangguk.  “Datanglah pada keluarga pranaja dan bawa surat ini,” titah ibunya.  Farhana terperanjat. Membawa surat ini? Dia tidak mungkin melakukan itu. Itu sama saja dengan dia merendahkan diri dan mungkin saja keluarga Pranaja tidak akan mempercayainya. Bisa saja kan dia dituduh ingin menjadi kaya raya dengan menikahi anak sulung keluarga Pranaja, lantaran dia dari keluarga biasa-biasa saja.  “Hana nggak bisa.” Farhana bangkit dan meninggalkan surat itu teronggok di sana. Farhana telah melewatkan paragraf terakhir dari isi surat itu.  “Hana?” Fahri hendak mengejarnya, namun tangannya ditahan Diana. Istrinya itu ingin menunjukkan isi terakhir dari surat tersebut.  Diana ingin biar Rahmi saja yang mengejar Farhana ke kamarnya. Sementara Fahri termenung dengan paragraf terakhir yang dituliskan ayahnya untuk Farhana. Kecurigaan Diana benar, ternyata bukan itu yang menjadi pengikat ayahnya membuat janji.  “Aku harus kasih tahu Farhana.” Fahri hendak bangkit. Namun, lagi-lagi Diana mencegahnya.  “Nggak, Mas. Sebaiknya tidak sekarang, itu justru akan membuat Farhana semakin merasa sedih.” Fahri seketika mengangguk. Sebagai seorang laki-laki dia memang kurang peka, beruntung Diana sebagai istri begitu sensitif sehingga cepat menyadari dengan perubahan yang terjadi.  Cara Rahmi mengenyakkan b****g membuat ranjang Farhana sedikit bergoyang. “Hana nggak siap, Bu,” ucap Farhana yang sedang membaringkan tubuh membelakangi ibunya.  Air mata menetes membasahi pipi Rahmi. “Ini pesan terakhir ayah, Han.” “Hana tahu, tapi Hana nggak bisa.” Farhana menggerakkan tubuhnya sebagai bentuk protes, membuat Rahmi menghela napas dan air mata kembali terjatuh. Hana merentangkan jari jemarinya. “Lihat, jari Hana cuma sepuluh, semua sudah terisi dengan keinginan Hana.” Farhana kemudian berbalik. “Ibu mau dengar?”  Farhana segera menegakkan tubuhnya. “Satu.” Farhana mengacungkan ibu jarinya sebelah kanan. “Setelah Hana lulus kuliah, Hana mau kerja. Dua--” Farhana kemudian mengacungkan telunjuknya, “Setelah pengalaman Hana mempuni, Hana mau kuliah mengambil S2 jurusan komunikasi bisnis di luar Negeri.”  Rahmi hanya bisa tertunduk mendengar penuturan Farhana, dia tidak akan memotong perkataan Farhana jika apa yang ingin Farhana katakan dulu tidak dapat didengar ayahnya, mungkin inilah saatnya dia mendengar seluruh mimpi Farhana.    “Tiga--” Suara Farhana bergetar. “Setelah Hana lulus kuliah S2, Hana ingin bangun lagi bisnis Ayah.” Rahmi semakin tertunduk menyembunyikan dukanya.  “Empat.” Farhana terdiam sejenak menikmati tetesan air mata yang turun membasahi pipi. “Hana tahu, ayah punya banyak utang.” Farhana meraih tangan ibunya. “Hana mau bantu ayah lunasi semua utang-utangnya.”  Rahmi terenyuh.  “Perlu waktu banyak untuk Hana bisa membangun kembali bisnis ayah.” Farhana membuka telapak tangannya dan membukanya lebar-lebar. “Mungkin perlu yang ke lima, enam, tujuh, bahkan mungkin sampai delapan, Farhana berjuang.”  Farhana menyeka air mata di pipinya dengan kasar. “Sembilan. Hana ingin--” Suara Farhana semakin parau, “lihat senyum ayah saat Hana sudah ada di atas membangun kembali bisnis ayah.” Bahu Rahmi bergerak naik turun menahan pekikan yang bisa saja keluar dari mulutnya bersamaan dengan air mata yang terus-menerus lolos tanpa bisa ditahan.  “Sepuluh.” Farhana merentangkan seluruh jarinya. “Hana mau ayah, ibu, kak Fahri, semuanya bangga dengan pencapaian Hana. Hana ingin--” Farhana membari jeda, “menunjukkan pada dunia, inilah Hana, Farhana Zean Marada anak Harun Shofwan Marada.” Farhana menarik napas dalam-dalam. “Sudah saatnya ayah membanggakan anaknya sendiri, bukan lagi membanggakan anak orang lain.” Rahmi semakin mengencangkan tangisnya, isakan itu sudah tak terelakkan lagi. Dia benar-benar sedih mendengar keinginan Farhana, seharusnya  Harun dapat mendengar ini.  Farhana pun hanya bisa tertunduk sembari menangis. “Ibu sendiri yang bilang, perempuan itu kalau sudah menikah, tujuh puluh persen, bahkan mungkin sembilan puluh persen akan dia habiskan untuk mengurus rumah tangga, suami, anak--” Farhana memejamkan mata kuat-kuat. “Hana nggak siap.” Tanpa pikir panjang Rahmi segera merengkuh tubuh anak perempuannya itu. “Maaf, ibu minta maaf.” “Ibu nggak salah,” gumam Farhana. Rahmi segera menggenggam kedua pipi Farhana. “Banyak kok wanita yang berkarir sambil mengurus rumah tangganya.” Farhana menggelengkan kepala. “Hana nggak bisa. Fokus dan tujuan Hana cuma satu. Bikin ayah dan ibu bangga tanpa mengharuskan Hana bercermin pada orang lain.” “Ayah akan lebih bangga kalau kamu memenuhi janji ayah,” ucap Fahri yang berdiri di depan pintu, kemudian dia mendekat pada Farhana. Dia meletakkan surat wasiat itu lagi di tangan Farhana.  “Bukan hanya janji yang mengikat ayah dengan keluarga itu.” Yang dimaksud Fahri adalah keluarga Pranaja. “Dari awal kamu masuk ke universitas pilihanmu, keluarga Pranajalah yang membiayai semua dengan syarat setelah lulus kuliah kamu harus menjadi istri dari anak sulungnya.” Farhana mematung dalam keadaan sebenarnya, tubuhnya terasa seperti disambar petir secara bertubi-tubi hingga menghanguskan tubuh beserta semua mimpinya dalam sekejap. Bahkan Farhana merasa sesuatu telah membuat jalannya menjadi buntu.  Diana menggelengkan kepala. Fahri tidak menepati janjinya untuk tidak memberitahu Farhana sekarang. Diana memang tidak mengerti, jika Fahri kesal dengan berjuta keinginan Farhana tanpa mengingat apa yang wajib baginya.  Farhana kembali membuka surat itu. Apa yang baru saja Fahri katakan tertera di paragraf terakhir surat wasiat tersebut.  Seketika jantung Farhana mencelus. Ribuan pedang terasa seperti menusuk jantungnya. Patah hati tak melulu datang dari pacar atau hubungan yang kandas karena sebuah pengkhianatan, tapi, putusnya mimpi karena sebab yang tidak diinginkan pun membuat seseorang merasa hancur, termasuk yang dirasakan Farhana saat ini.       
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD