Bab 3 : Hanya Khayalan

1310 Words
"Helo?" "Astaga, apa dia melamun?" "Kak Leon?" Leon tersadar dari lamunannya dan menyadari dia terpaku di ruang musik itu sambil menatap Vlora. Sial. Ternyata itu semua hanya khayalan Leon belaka. Vlora menyilangkan kedua tangannya di d*da. "Jadi, mau bicara apa?" ucapnya ketus. Leon mencoba menutupi raut wajah terkejutnya dengan senyuman tipis. "Ehm, maaf, Vlo. Tadi hanya terlalu larut dalam pemikiran sendiri." Vlora memutar bola matanya. "Lalu? Mau bicara apa? Ini benar-benar membuang waktuku." Leon mencoba untuk mencairkan suasana di antara mereka. "A-Apa kabar, Vlora?" "Baik." ucapnya singkat. "Sudah lama sekali, ya. 14 tahun." ucap Leon pelan. Vlora menatap Leon dengan tatapan tajam. "Oh? 14 tahun? Nggak tau tuh. Saya ga ngitung." Leon menelan ludahnya. "Vlora.." Leon menghela napas. "Saya minta maaf." Vlora mengangkat alisnya, menunjukkan ketidakpercayaannya. "Maaf? Maaf untuk apa?" Leon memiringkan kepalanya, mencoba menemukan kata-kata yang tepat. "Maaf karena dulu.. saya pergi tanpa sepatah kata pun. Maaf karena saya menyakiti perasaan kamu, Vlora." Vlora memutar bola matanya dengan gerakan kasar. "14 tahun, Kak Leon. Kakak pikir dengan minta maaf sekarang akan mengubah segalanya?" "Ga pernah ada sedikit pun niat saya untuk nyakitin perasaan kamu, Vlora. Saat itu.. umur saya masih 16 tahun, dan saya-" Vlora memotong dengan cepat. "Dan umur saya saat itu 8 tahun, kak." ucapnya kesal. "Ma-Maaf, Vlora." ucap Leon menundukkan kepalanya. Vlora mengepalkan tangannya. "Saya ga peduli. Mau kakak bilang maaf atau apapun saya udah ga peduli. Saya udah terbiasa sendiri." Leon menatap Vlora, mencoba mencerna kata-kata itu. "Saya ingin memperbaikinya. Saya mau kita perbaikin semuanya, Vlora." Vlora tertawa dengan nada pahit. "Perbaikin? Kakak pikir kita bisa kaya dulu lagi? Apa kakak ga paham kalau 14 tahun itu bukan waktu yang sebentar? Saya bukan anak kecil yang butuh kakak laki-laki lagi." Leon merasa perih mendengar kata-kata Vlora. Dia merenung sejenak sebelum menjawab dengan serius, "Vlora, saya tahu bahwa tidak ada cara untuk menggantikan waktu yang hilang. Saya sadar bahwa 14 tahun itu waktu yang panjang. Tapi, saya ingin mencoba memperbaiki hubungan kita, meskipun saya tahu bahwa tidak akan sama seperti dulu." Vlora mendengus. "Saya ga tertarik." "Saya udah ga butuh kakak lagi di dalam hidup saya. Saya baik-baik saja tanpa kakak." Leon mencoba memahami rasa sakit yang telah dia sebabkan pada Vlora. "Vlora, saya ga memaksakan kehadiran saya lagi di hidup kamu, tapi saya mau mencoba untuk perbaikin semuanya." "Kakak tahu ga sih? Waktu itu kakak tiba-tiba pergi tanpa bilang apapun dan itu menyakiti hati saya? Saya cuma punya kakak, dan kakak pergi tanpa bilang apa-apa." Vlora menghela napas panjang. "Setidaknya.. setidaknya.. bilang sama saya kalau kakak mau pergi." Leon mendekati Vlora dengan hati-hati, mencoba tidak menyinggung perasaannya. "Saya sangat menyesal, Vlora. Saya tidak bermaksud menyakiti hati kamu. Dan saya memahami jika kamu tidak dapat langsung menerima maaf saya. Saya bersedia untuk membuktikan diri saya lagi." "Saya sudah melupakan semuanya. Hidup saya baik-baik saja sekarang. Kenapa kakak harus datang lagi dan mengacaukan semuanya?" "Karena saya.." Leon menelan ludahnya. "Karena saya sadar kalau kamu adalah seseorang yang berarti di hidup saya. Saya sayang sama kamu, Vlora." Vlora menatap Leon tanpa sepatah kata. Pada saat itu, suara hujan yang gemericik di jendela musik menjadi satu-satunya melodi yang mengisi keheningan antara mereka. "Udah cukup, kak. Saya lelah." ucap Vlora dingin, berbalik untuk meninggalkan ruangan. "Vlora, tunggu!" Leon mencoba mengejar langkah Vlora. Tetapi Vlora terus berjalan tanpa menoleh. "Maaf, kak Leon. Saya udah ga tertarik dengan hal-hal kaya gini." Setelah Vlora meninggalkan ruang musik, Leon tetap berdiri di tempatnya, merenung. Hati dan pikirannya berkecamuk, mencoba mencari jalan keluar dari situasi yang rumit ini. Dia menyadari bahwa memperbaiki hubungan dengan Vlora tidak akan mudah, dan perlu usaha ekstra untuk mendapatkan kepercayaannya kembali. Leon turun tangga dengan langkah berat, mencoba merapikan pikirannya sebaik mungkin sebelum duduk di meja. Hanny melihat ke arahnya dengan senyum penuh kebaikan, sementara Gani melirik sekitar Leon untuk mencari keberadaan Vlora. "Leon, ayo sini duduk." ucap Hanny tersenyum ramah. Leon menuruti undangan Hanny dan duduk di sebelahnya. Pemandangan di sekelilingnya terasa datar setelah pertemuan intens dengan Vlora. Dia mencoba tersenyum, meskipun beban di hatinya terasa begitu berat. "Loh, Vlora mana, Leon?" tanya Gani sembari mencari sekitarnya. Leon menggeleng. "Sepertinya Vlora ga mau ada saya di sini." ucapnya pelan. Gani dan Hanny saling pandang, memahami situasi yang sedang terjadi pada mereka. Hanny menaruh mangkuk berisi sup di depan Leon. "Mungkin butuh waktu untuk meresapi semua ini. Setidaknya kamu sudah berani mencoba." Leon mengangguk, menggenggam sendok dengan perasaan campur aduk. "Saya hanya ingin memperbaiki kesalahan saya." Gani tersenyum. "Leon, om mau kasih tau satu cerita yang mungkin perlu kamu tahu." Leon mendongak. "Apa, om?" "Waktu kamu pergi ke Amerika, Vlora yang saat itu berusia 8 tahun tentu saja merasa kehilangan. Dia selalu menangis setiap malam dan terus mencari-cari kabar tentang keberadaan kamu. Hanny dan saya, kami mencoba memberikan dukungan sebanyak mungkin, tapi Vlora tetap merasa kesepian. Tapi, saat Vlora memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di Oxford, kami melihat perasaan Vlora sudah lebih baik sekarang. Jadi, kamu harus sabar kalau kelihatannya Vlora seperti itu." jelas Gani. "Saya tidak pernah tahu itu semua terjadi," ucapnya dengan nada penuh penyesalan. "Ini bukan sepenuhnya kesalahan kamu, Leon." ucap Hanny menenangkan. Leon mengangguk. "Tapi saya merasa bertanggung jawab, Tante. Saya tahu Vlora membutuhkan saya, dan saya pergi tanpa memberikan penjelasan apa pun." Gani meletakkan tangannya di pundak Leon. "Ini bukan kesalahan kamu, Leon. Saya paham keputusan Daniel dan Carla memindahkan pendidikan kamu ke Amerika untuk kebaikan kamu." Hanny tersenyum lebar. "Benar. Lagi pula tante yakin Vlora sebetulnya senang kamu datang." Leon mencoba tersenyum mendengar kata-kata Hanny, meskipun dalam hati masih terasa ragu. "Saya harap begitu." Gani menepuk bahu Leon dengan ramah. "Sekarang yang penting adalah memberikan waktu pada Vlora untuk meresapi semuanya. Jangan terlalu memaksakan diri, Leon. Hubungan butuh waktu untuk pulih." Leon meresapi kata-kata bijak dari Gani dan Hanny. Meskipun hatinya masih terasa berat, ia menyadari bahwa proses memperbaiki hubungannya dengan Vlora membutuhkan kesabaran dan waktu. Setiap langkah yang diambilnya harus hati-hati agar tidak memperburuk keadaan. *** Tok. Tok. Tok. Leon mengetuk pintu kamar Vlora sembari membawaa nampan berisi makan malam untuknya. Tidak ada jawaban. Apa Vlora tidur? "Vlo, saya masuk, ya?" ucap Leon dengan ragu. Langkah Leon melintasi ambang pintu kamar Vlora dengan hati-hati. Kamar itu terasa hening, kecuali suara gemericik hujan di luar yang mengiringi langkah-langkahnya. Vlora terbaring di tempat tidur, membelakangi pintu. Leon bisa melihat bagian belakang rambutnya yang basah. Astaga, apa dia mandi malam-malam? Dia mendekati tempat tidur, namun ragu untuk membangunkan Vlora yang mungkin sedang dalam tidur yang pulas. Namun, sebelum Leon bisa memutuskan langkah selanjutnya, Vlora berbicara tanpa berbalik. "Sepertinya, saya ga mengizinkan kak Leon untuk masuk." Leon terkesiap. "Ah, maaf." Leon menaruh nampan makanan di atas meja kecil di samping tempat tidur. "Saya bawa makan malam karena tante Hanny khawatir kamu belum makan." Vlora tidak memberikan respons apa pun, hanya terdiam di tempat tidurnya. Leon merasa kebingungan, tidak yakin apa yang harus dilakukan dalam situasi ini. Beberapa saat kemudian, Vlora berbalik. Wajahnya yang basah terlihat pucat, dan matanya yang cokelat seakan-akan memberitahu Leon bahwa dia baru saja menangis. "Saya ga lapar." ucap Vlora dingin. Leon terkesiap melihat kondisi Vlora. Hati Leon bergetar melihat kesedihan di wajah gadis itu. Tanpa berkata apa-apa, Leon duduk di samping tempat tidur dan memandang Vlora dengan penuh perhatian. "Maaf, Vlora," ucap Leon pelan. Vlora tetap terdiam, membiarkan hening menciptakan dinding antara mereka. Leon merasa berat untuk melihat Vlora seperti ini. Setelah beberapa saat, Vlora akhirnya bersuara dengan suara yang terdengar rapuh. "Sudah 14 tahun, kak. 14 tahun saya hidup tanpa kehadiran kakak, dan sekarang kakak datang kembali, seolah-olah semuanya bisa kembali seperti dulu." Leon merasakan kepedihan dalam kata-kata Vlora. Dia tahu bahwa kata-kata maafnya tidak cukup untuk menghapus seluruh rasa sakit dan kekecewaan yang Vlora rasakan selama 14 tahun ini. "Saya ga ada maksud untuk merusak hidup kamu, Vlo. Saya datang karena ingin memperbaiki semuanya," ucap Leon dengan tulus. "Kak.." Vlora melirik ke arah Leon. "Saya mohon. Pergi dari hidup saya." lirihnya pelan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD