Bab 4 : Kamu Khawatir?

1391 Words
Leon merasa nadi dalam tubuhnya berdenyut kencang mendengar permohonan Vlora. Walaupun sulit untuk diterima, dia mencoba untuk tetap tenang. "Saya mohon.. pergi dari hidup saya." lirih Vlora sekali lagi. Leon menggeleng. "Saya nggak bisa. Saya ga mau pergi lagi." ucap Leon tegas. Vlora menoleh ke arah Leon dengan tatapan yang penuh dengan rasa sakit dan kekecewaan. Wajahnya masih memancarkan sedikit sisa air mata yang baru saja ia tangisi. "Kakak harus mengerti. Saya sudah merasa baik-baik saja tanpa kakak selama ini," ujar Vlora dengan suara bergetar. Leon merasa hancur melihat kondisi Vlora yang rapuh. Ia mencoba mendekat, ingin menyentuh lengan Vlora, namun Vlora menarik diri dengan kasar. "Saya sudah biasa sendiri, kak Leon. Saya sudah tumbuh dewasa tanpa kehadiran kakak," sambung Vlora dengan nada tajam. Leon terdiam sejenak sebelum mencoba membuka mulutnya lagi, "Vlora, saya datang karena saya ingin memperbaiki kesalahan saya. Saya mau menepati janji saya ke kamu. Saya sayang sama kamu. Saya mau menepati janji saya untuk nikahin kamu." Vlora menatap tajam. "Nikahin saya? Kakak pikir saya masih seorang gadis kecil yang bisa diatur begitu saja? Apa-apaan ini?" "Bukan seperti itu maksud saya, Vlo. Saya ingin memperbaiki semuanya, memulai ulang, dan-" Vlora menggeleng dengan keras. "Sudah terlalu lama, kak. Terlalu lama bagi saya, dan sekarang, tiba-tiba kakak datang dan berbicara tentang pernikahan. Apa kakak pikir kakak bisa mempermainkan perasaan saya lagi?" "Nggak, Vlo. Saya ga berniat seperti itu. Saya ingin memperbaiki kesalahan saya sekarang karena kamu ada di Indonesia. Saya juga selalu mikirin kamu, Vlora. Saya selalu menunggu kamu di sini saat kamu tinggal di Inggris." jelas Leon. Vlora tertawa sinis. "Jadi, maksud kakak, saya bikin kakak nunggu pas saya tinggal di Inggris?" Leon menggeleng cepat, mencoba memberikan klarifikasi. "Bukan itu maksud saya, Vlo. Saya cuma mau kasih tau ke kamu kalau kamu selalu ada di pikiran saya, dan saya berusaha untuk memperbaiki kesalahan yang dulu saya buat." Vlora mendengus. "Saya udah ga tertarik. Saya udah ga punya perasaan apa-apa lagi sekarang. Bisa ga kakak pergi dari sini? Kehadiran kakak benar-benar mengganggu." Leon merasa seolah dunianya runtuh mendengar kata-kata Vlora. Segala upayanya untuk memperbaiki hubungan tampaknya semakin memperburuk keadaan. Meskipun hatinya hancur, Leon mencoba menyimpan ketenangan. "Vlora, saya ga bisa begitu saja pergi. Saya mau membuktikan bahwa saya bisa menjadi bagian dari hidup kamu lagi," ucap Leon dengan lembut. Vlora memicingkan matanya. "Membuktikan? Bagaimana kakak mau membuktikan sesuatu yang sudah terlanjur rusak selama 14 tahun? Apa yang bisa berubah sekarang?" "Vlo, saya mohon-" "Pergi kak. Saya mohon. Saya lelah. Saya mau istirahat sekarang." ucap Vlora dengan tegas. Leon terdiam sejenak, berusaha menenangkan dirinya sebelum akhirnya berdiri. "Oke. Saya akan pergi sekarang. Tapi hanya malam ini. Saya ga akan pernah lepasin kamu lagi dari hidup saya, Vlora." Vlora membulatkan matanya. Tidak percaya dengan apa yang Leon katakan. Leon, yang sejak dulu selalu memaksakan kehendaknya, menunjukkan kembali sisi dominan dalam hidup Vlora. Leon melangkah ke pintu kamar, tetapi sebelum membukanya, ia menoleh sekali lagi ke arah Vlora. "Jangan bikin tante Hanny khawatir. Habisin makan malamnya." ucapnya dengan tenang. Leon melangkah keluar dari kamar Vlora dengan langkah berat. Pintu kamar tertutup rapat di belakangnya, meninggalkan Vlora dalam keheningan. Leon merasa kecewa dengan hasil pertemuan mereka, tetapi di dalam hatinya masih berkobar tekad untuk memperbaiki segalanya. Di luar kamar, Leon menemui Hanny dan Gani yang masih duduk di ruang tengah. Keduanya mengangkat alis, menunjukkan rasa ingin tahu terhadap Vlora dan Leon. "Bagaimana, Leon?" tanya Hanny dengan ekspresi khawatir. Leon tersenyum. "Gapapa, tante. Vlora mau habisin makan malamnya." ucapnya berbohong. Hanny tersenyum. "Syukurlah." Dia lalu berdiri. "Ayo ikut sama tante. Kamu bisa tidur di kamar tamu, Leon." Leon mengangguk. "Iya, tante." Belum sempat Leon melangkah lagi, tiba-tiba suara seorang pria menggema di ruang tengah itu. "Mamah!" ucap pria itu berlari ke arah Hanny. Hanny terkesiap. "Bima! Ya ampun! Kenapa kamu telat, sayang!" Bima memberikan pelukan hangat pada Hanny. "Maaf, Ma. Macet banget tadi di jalan. Aku langsung pulang dari kantor kok tadi." ucapnya lalu melirik ke arah Leon. "Ah ya," Hanny tersenyum ke arah Leon. "Ini Leon. Kamu inget kan? Teman masa kecilnya Vlora." Bima mengerutkan keningnya. "Yang bikin Vlora nangis tiap malem?" ucapnya ketus. Hanny terkesiap. "Sayang! Jaga ucapan kamu." Bima menatap Leon dengan tajam. "Lo. Ikut gue ke taman." ucapnya berjalan meninggalkan mereka. Hanny berteriak. "Bima Sanjaya! Mamah ga ajarin kamu untuk kasar sama tamu!" Leon tersenyum ke arah Hanny. "Gapapa, tante." "Tapi-" Gani tiba-tiba menyela. "Sayang, biarin Bima bicara sama Leon." ucapnya tenang. Hanny terlihat khawatir, namun Gani menggeleng pelan, mencegah Hanny untuk ikut campur urusan mereka. Leon mengikuti Bima ke taman, merasa sedikit cemas dengan ketegasan Bima. Mereka berdua berdiri di taman yang diterangi oleh lampu-lampu taman yang lembut. "Leon, Leon," ucap Bima memutar tubuhnya perlahan. "Sini lo." Leon berjalan mendekati Bima, dan saat jarak sudah cukup, Bima melayangkan pukulan pada Leon. Leon terkejut dengan tindakan Bima, tetapi ia tetap berdiri tegak. Rasa sakit dari pukulan itu membawanya pada kesadaran bahwa ia bukan saja harus menghadapi Vlora, tetapi juga dengan Bima, kakak kandung Vlora. "Mau apa lo dateng ke sini?" ucap Bima kesal. "Ga gue ijinin lo deket-deket sama ade gue." "Saya ga akan pernah pergi lagi dari hidup Vlora, kak." "Gue bukan kakak lo b*ngsat!" Bima melayangkan pukulannya lagi pada Leon, kini tidak berhenti dan membuat sedikit luka di wajah Leon. Leon mencoba bertahan, tetap berdiri di tempatnya meskipun pukulan itu menyakitkan. "Saya datang karena ingin memperbaiki hubungan saya dengan Vlora. Saya ga punya niat buruk," ucap Leon dengan tenang, walau napasnya terengah-engah. Bima menatap Leon dengan tajam. "Sekarang lo mau jadi pahlawan yang ngebantu Vlora? Lo pikir setelah 14 tahun, Vlora masih butuh lo?" "Saya ga mau jadi pahlawan, kak Bima. Saya hanya ingin memperbaiki kesalahan saya." "Bacot!" Bima melayangkan pukulan lainnya, kali ini mengenai perut Leon. Walaupun terasa sakit, Leon mencoba mempertahankan ketenangannya. "Saya ga akan mundur, kak. Saya mencintai Vlora, dan saya mau memperbaiki segalanya. Kalau saya bisa membuktikan bahwa saya bisa membuatnya bahagia, saya akan melakukannya," ucap Leon sedikit terbatuk-batuk. Bima menarik kerah kemeja Leon dengan kasar dan menyentaknya. "Lo pikir hidup itu gampang? Lo kira Vlora masih ada di masa kecil yang butuhin lo? Cinta itu bukan alasan buat lo dateng lagi setelah 14 tahun, b*ngsat!" "Saya tau saya-" Belum sempat Leon menjelaskan, Bima melayangkan pukulan lain hingga Leon tersungkur di tanah. Darah mulai mengalir dari hidungnya dan Leon merasakan rasa sakit yang semakin terasa di sekujur tubuhnya. "Saya-" Bima membungkuk dan meninju Leon berulang kali, tidak membiarkan Leon mengatakan apapun. Bima, sebagai kakak kandungnya, dia benar-benar sangat marah melihat Leon. Leon, di sisi lain, mulai kehilangan keseimbangannya. Dia tidak berusaha melawan atau pun menghindar. Dia tahu, bahwa Bima melakukan ini karena dia berulang kali melihat Vlora tersiksa karena Leon. *** Suara berisik-berisik di luar membuat Vlora terkesiap. Dia bangkit dari kasur dan melangkah menuju jendela. Perasaannya mulai tidak enak karena mendengar Bima yang berteriak. Cahaya taman yang lembut dengan sedikit gerimis menerangi adegan di depannya. Vlora mendapati Bima sedang memukuli Leon tanpa ampun. Dengan ekspresi marah, Bima terus memberikan pukulan-pukulan keras pada Leon yang tergeletak di tanah. "Leon!!!" Vlora merasa detak jantungnya berhenti sejenak. Rasa syok dan kepanikan melanda dirinya. Tanpa berpikir panjang, Vlora berlari ke luar dari kamarnya dan menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa. Hanny dan Gani terkejut saat Vlora berlari melewati ruang tengah dan menuju ke taman. Hanny berteriak memanggilnya, "Vlora, sayang, mau kemana?" Vlora tidak menjawab dan terus berlari menuju taman. Dia merasakan perasaan cemas dan kekhawatiran yang mendalam. Begitu dia mencapai taman, dia melihat Bima masih menghajar Leon tanpa belas kasihan. "Berhenti! kak Bima, berhenti!" teriak Vlora sambil berusaha mendorong Bima menjauh dari Leon. Bima menoleh ke arah Vlora dengan wajah marah. "Buat apa kamu bela si b*ngsat ini!" "Kak Bima, berhenti!" seru Vlora, mencoba untuk menghentikan saudaranya. Bima memandang Vlora dengan kesal. "Dia ga pantas ada di sini, Vlo!" Vlora merasa amarahnya memuncak. "Itu bukan alasan untuk memukulnya seperti ini! Berhenti sekarang juga!" Hanny dan Gani ikut keluar ke taman, terkejut melihat kejadian ini. Hanny menutup mulutnya dengan kedua tangannya, sedangkan Gani mencoba untuk meredakan situasi. "Vlora, tenang dulu. Bima, berhenti!" ucap Gani dengan nada tegas. Bima melepaskan cengkeramannya pada Leon, tetapi tatapannya masih penuh amarah. Leon, yang terluka dan lemah di tanah, mencoba untuk duduk. Vlora berjongkok di samping Leon, mencoba memeriksa sejauh mana cedera yang dialami olehnya. Wajahnya penuh kekhawatiran. "Kak Leon, kamu berdarah.." ucap Vlora dengan suara bergetar. Leon tersenyum lemah. "Kamu.. khawatir sama saya.. Vlora?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD