BAB 2

1558 Words
Saat aku bangun, bau obat yang menyengat dan cahaya lampu yang berpendar, menyambutku. Suara keluargaku juga menjadi penenang tersendiri untukku yang masih merasa linglung. Seolah berada di garis antara sadar dan tidak sadar, suara mereka membawaku menemukan jalan pulang. "Renata." Samar, aku bisa melihat bayangan seseorang. Namun dari suaranya, aku bisa tahu bahwa itu suara Mama. Aku terselamatkan. "Renata. Sayang, kamu sudah sadar?" Suara Mama kini terdengar lebih jelas. Aku membuka mulutku, berniat menjawab Mama tetapi tidak bisa. Padahal aku merasa mulutku sudah bergerak, tetapi suaraku tidak keluar. "Renata, jangan khawatir, Sayang. Kamu akan baik-baik saja." Remasan tangan Mama memberikan kehangatan yang segera menjalar dari ujung jari lantas merambat hingga hati. Aku menyunggingkan seulas senyuman, sedikit terhibur. Walau mataku masih terasa panas dan bengkak. Mungkin ini adalah efek karena aku terus menangis. Ah..hidungku. Tiba-tiba aku teringat tentang hidungku yang berdarah. Semoga saja tidak parah. Akan tetapi, jika itu penyebab aku pingsan, tentu itu bukan hal bagus. Mimisanku sepertinya sudah berhenti. Aku mencoba menggerakkan tanganku, ingin memeriksa keadaan hidungku tetapi terhalang. Ada benda besar dengan selang yang terpasang. Benda itulah yang mengembuskan oksigen sehingga membuatku bisa bernapas dengan normal. Sekarang aku paham maksud dari Bu Emmy, guru Ekonomiku kalau benda bebas bisa menjadi benda ekonomi. Seperti halnya oksigen yang sebenarnya bisa didapat secara gratis dari alam, akan menjadi mahal saat manusia sesak napas atau sekarat. Lucu, bahkan benda gratis pun sekarang harus dibeli agar aku tetap bertahan hidup. Mungkin ini alasan mengapa bersyukur itu perlu dilakukan. Sedangkan sombong tidak dianjurkan. "Bagaimana keadaan Renata, Ma?" Papa datang. Wajahnya menguratkan rasa cemas yang tinggi. Anehnya, Papa datang sendiri. Aku sapu pandanganku dan tidak mendapati Amanda di manapun. Seperti dugaanku, dia hanya berpura-pura. Tak diduga kalau bulu Serigalanya akan tampak lebih cepat dari dugaanku. "Bagaimana kata dokter, Pa?" tanya Mama. "Tenanglah, Ma. Dokter bilang mimisan Renata disebabkan stress yang membebani otaknya. Oleh karena itu, secepatnya, kita harus melakukan prosedur operasi untuk Renata. Kita juga tidak boleh membuatnya banyak pikiran," jelas Papa. Mama terdengar mengembuskan napas berat. Genggaman tangannya menguat membuatku sedikit merasa sedih. Mama dan Papa pasti membutuhkan banyak biaya untuk operasi dan perawatanku. "Amanda, bagaimana?" tanya Papa. "Dia di rumah, Mama menyuruhnya istirahat. Papa juga, pulanglah dulu. Biar Mama yang akan jaga Renata di sini," ujar Mama meminta Papa untuk pulang. Aku memperhatikan Papa dengan seksama. Lelaki yang sudah memiliki sedikit uban di kepalanya itu memakai baju yang sama seperti kemarin. Papa pasti menemukanku yang tidak sadarkan diri lalu membawaku ke rumah sakit tanpa berganti baju. Mama pun juga begitu. Ternyata, mereka menyayangiku. "Mampirlah dulu untuk membeli makanan di perjalanan pulang, Pa. Amanda pasti kelaparan sekarang," pesan Mama membuat sekilas harapan kecil di hatiku menguap menjadi partikel-partikel Atom. Aku tidak berniat untuk menyombongkan diri, tetapi keluargaku tergolong kaya. Papa dan Mama mampu mempekerjakan Pembantu Rumah Tangga. Bahkan, ada tiga orang PRT ditambah dua supir dan tukang kebun di rumah kami. Seharusnya Amanda tidak akan kelaparan, tetapi Mama mengkhawatirkannya secara berlebihan. Ini tidak adil. Bahkan saat aku sekarat pun, kepedulian mereka terhadap Amanda tidak menurun. Menyebalkan. "Sayang, Papa pulang dulu ya." Papa mendekat ke ranjangku, membelai lembut pipiku dengan seulas senyum yang mengandung 70 % kesedihan, 20%  ketabahan dan 10% penyesalan. Tiga perasaan itulah yang terlihat dari sorot mata Papa. Seandainya bisa bergerak, aku pasti akan bangkit dari kasur j*****m ini lalu memeluk Papa dengan erat. Sayangnya tubuhku tidak mau menuruti keinginanku. Tubuhku seolah mati rasa. Kaku. "Renata baik-baik ya, Sayang. Papa tidak akan lama. Papa sayang Renata," ucap Papa lantas memberikan kecupan singkat di keningku. Setelahnya Papa pergi, meninggalkan aku dan Mama. Mata wanita yang sudah melahirkan aku itu tampak sembab. Mungkin, sebelum aku sadar, Mama sudah menangis. "Kamu akan baik-baik saja, Sayang." Lagi, Mama mencoba menguatkan aku. Bibirnya mencoba mengulas senyuman tetapi matanya tidak mampu membohongiku. Air mata di sudut pelupuk mata tuanya membuat hatiku teriris. Bukan ini yang aku inginkan. Seiri-irinya pada Amanda, aku tidak pernah ingin membuat Mama berduka. Aku tidak suka pandangan Mama padaku saat ini. Sorot matanya hanya menampakkan dua hal, luka dan sesal. Cukup, aku tidak ingin Mama menampakkan itu. "Kenapa, Sayang? Kenapa menangis? Apa yang sakit, Sayang?" tanya Mama yang tampak terkejut karena aku meneteskan air mataku. Tenggorokanku yang kering terasa mencekik membuatku hanya mampu menangis tanpa suara. Bahkan, sepertinya bicara pun kini aku tak bisa. Entah apakah ini hanya sementara atau aku telah menjadi tuna wicara. Aku tidak sanggup membayangkan kemungkinan kedua. Sial. Tangisku semakin menjadi. Ratapan putus asa telah membuatku meledak. Ini terlalu berat untuk aku tanggung. Aku tidak sanggup untuk terus hidup lebih lama. Jangankan enam bulan, seminggu rasanya aku tidak ingin bertahan. "Renata, tenanglah, Sayang. Renata. Hei, Sayang!" Mama mencoba menenangkanku. Wanita itu memelukku erat seperti memeluk dirinya sendiri. Dia seolah ingin mengatakan padaku, bahwa tanpa harus menjadi aku, Mama bisa mengerti bagaimana rapuh dan hancurnya aku sekarang. Energi seperti itu yang bisa aku terjemahkan dari gesture tubuh Mama. Kami saling berpelukan cukup lama, sampai akhirnya aku bisa menguasai diriku. Tangisku sudah mereda, tetapi tidak dengan penyakitku. Dia akan tetap ada, sehingga harus segera dilenyapkan. Operasi, hanya itu satu-satunya jalan. Walau tidak akan membuatku sembuh, operasi bisa membuat parasit di otakku itu berkurang. Ini langkah awal yang harus dilakukan sebagai pasien Kanker stadium empat. Aku tidak bisa langsung dioperasi, dokter harus lebih dulu memastikan tentang kesehatan dan kesiapan tubuhku untuk itu. Ribet, tentu. Inilah penyebab mengapa sehat itu mahal dan lebih berharga daripada harta. Dokter Boy adalah dokter yang menanganiku. Berdasarkan personality, aku menilainya cukup tampan, baik hati dan jujur. Tidak suka bertele-tele, bicara to the point walau terkadang terdengar sedikit menyakitkan. Bukan karena kata-katanya yang kasar, tetapi bagaimana kejamnya kenyataan yang disampaikannya. Bagaimanapun aku baru berusia lima belas tahun. Meski mencoba untuk dewasa, aku tetaplah seorang remaja dengan pemikiran serupa. Dokter Boy membuatku menjalani enam pemeriksaan setelah selang bantu pernapasanku dilepas. Kondisiku dinilai cukup stabil sehingga proses pemeriksaan segera dilakukan. Dengan begitu, operasi pengangkatan Kanker di kepalaku bisa cepat dilaksanakan. Pemeriksaan pertama bernama Radiografi sinar X. Ini membantu mengetahui ada tidaknya gejala peningkatan tekanan intrakranial ( Rongga kepala ) atau kerusakan kepala dan lainnya. Kedua, pemeriksaan CT-Scan Kepala. Hal ini perlu dilakukan untuk mengetahui ukuran lesi ( istilah kedokteran untuk menunjukkan keabnormalan jaringan ), bentuk, jumlah, lokasi dan lainnya. Begitu keterangan yang diberikan oleh Radiografer yang bertugas di sana. Kalau tidak salah, petugas itu bernama Rangga. Lelaki yang cukup hangat meski awalnya terkesan dingin. Ketiga proses lainnya adalah MRI, EEG ( Elektroensefalogram ) dan Biokimia. Setelah menjalani serangkaian pemeriksaan itu, Dokter Boy bilang akan meninjau lebih jauh kondisiku baru memutuskan kapan aku akan dioperasi. Selama aku melakukan pemeriksaan, Mama setia menemaniku. Demikian pula Papa. Lelaki itu menepati janjinya untuk kembali. Walau Amanda belum menemuiku lagi sampai detik ini. "Bagaimana keadaan Renata, Dok?" tanya Mama saat dokter Boy datang untuk memeriksaku lagi. Dokter Boy mengulas senyuman tipis. "Kondisi Renata cukup stabil, Bu. Jika terus begini, kita bisa melakukan operasi lusa," jawab dokter Boy membuat Mama dan Papa yang mendengar itu terlihat bahagia. "Pa.." Suara Mama tercekat. Wanita itu sepertinya akan kembali menangis. Melihat hal itu Papa dengan sigap merangkul Mama, mendekapnya masuk ke dalam pelukannya yang hangat. "Kamu dengar itu, Sayang? Jadi, jangan memikirkan apapun yang membuatmu stress, oke?" ujar Papa sembari menatapku dalam. Aku hanya mengangguk dengan seulas senyuman di bibirku. Aku tidak bisa bicara, untuk sekarang, begitu yang dokter katakan padaku. Akan tetapi seiring waktu, kemampuan bicaraku akan kembali. Walau mungkin tidak akan secepat dulu. Namun tidak mengapa asal aku bisa bicara. Tidak apa-apa. Air mataku menetes lagi. "Ah, Sayang. Jangan menangis." Papa mengusap lembut air mataku yang baru saja jatuh. Bibirku memang tersenyum tetapi hati ini adalah pengkhianat terkejam. Meski terus mencoba untuk kuat dan meyakinkan diriku bahwa aku baik-baik saja, kenyataannya aku tidak baik-baik saja. Aku sekarat. "Jangan nangis, lho. Nanti operasimu batal dilakukan," celetuk dokter Boy membuatku dan kedua orang tuaku menatapnya dengan perasaan yang susah dijelaskan. Entah apakah yang dikatakannya itu adalah ancaman atau sekadar candaan, yang jelas, aku bisa menilai bahwa dokter Boy adalah seorang entertainer yang buruk. Bahkan tidak berbakat sama sekali. Apa yang dikatakannya sama sekali tidak mencairkan suasana. "Baiklah, Renata, sebaiknya kamu istirahat," ucap dokter Boy yang segera melarikan diri dari suasana canggung akibat perkataannya. Papa melepas rangkulannya, lalu menyusul dokter Boy. Sepertinya ada hal yang ingin Papa katakan padanya secara pribadi. Mama mengulas senyuman, memperbaiki letak selimutku dan mengucapkan perpisahan. Dia menyuruhku untuk istirahat. Hari sudah beranjak malam dan memang sebaiknya aku segera tidur untuk menyambut hari esok. Itu pun, kalau aku belum meninggal dunia. Berpikirlah positif, Renata. Nasehat dokter Boy tiba-tiba terpikirkan membuatku memilih untuk memejamkan mata. Aku mencoba tidur sembari memikirkan hal-hal yang membuatku bahagia dan merasa nyaman. Contohnya, Kak Gandhi, pemuda yang sudah cukup lama aku taksir. Senyumku memudar. Teringat bagaimana pemuda itu berakhir dengan menyukai kakakku sendiri, Amanda. s**l. Aku menarik napas panjang lantas mengeluarkannya secara perlahan, mencoba untuk rileks kembali. Cara ini cukup berhasil setelah berulang kali dilakukan. Aku menatap langit-langit kamarku. Kosong. Tidak ada yang menarik di kamar ini. Tentu, ini sangat berbeda dengan di rumah. Bahkan meski di ruangan ini hanya terdapat aku sendiri, itu tidak membuatku terlepas dari rasa sepi. Mama tidak bisa menemaniku selama dua empat jam. Akan ada waktu-waktu tertentu di mana akan keluar untuk makan, mandi atau mengurus dirinya sendiri. Jika sudah begitu, kesepian akan datang menyapaku. Hampa. Sendirian itu menyesakkan. Aku akan mati. Sendirian. Tidak. Tidak. Aku harus tidur. Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikiranku yang mulai kacau lagi. Seperti Mr. Bean, aku mulai memejamkan mata sembari menghitung jumlah domba. Satu. Dua. Tiga... Aw. Kepalaku mendadak pening, terutama di bagian belakang. Beruntung, rasa sakitnya hanya terasa untuk sesaat. Setelahnya, aku benar-benar terlelap. Tuhan, jika ini adalah tidur terakhirku, aku hanya menginginkan satu hal. Tolong, matikan aku tanpa rasa sakit.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD