BAB 1

1686 Words
Duniaku hancur. Itu anggapan yang ada dibenakku sekarang. Tak ada yang bisa aku lakukan lagi dengan kematian yang sudah berada di depan mata. Tuhan telah mengatur batas waktuku. Enam bulan. Itu bahkan bukan waktu yang cukup untuk menyelesaikan sekolahku. Seandainya saja ini sekadar candaan, mungkin aku sudah tertawa. Faktanya, ini adalah kenyataan yang harus aku terima. Rata-rata manusia bisa hidup kurang lebih 60 tahun. Sedangkan aku baru berusia lima belas tahun. Itu artinya aku baru menjalani seperempat hidupku. Lantas, kenapa Tuhan menginginkan kematianku sekarang? Kenapa semua ini terjadi padaku, Tuhan? Pertanyaan itu selalu berputar-putar di kepalaku diiringi dengan rasa sakit di ulu hati. Jika sudah begitu, mata ini akan mengeluarkan air mata yang tidak mudah diakhiri. Aneh, air mataku seperti tak pernah ada habisnya. Mungkin ini dikarenakan aku jarang menangis sebelumnya. Aku benci ini. Karena membuatku terlihat lemah. Aku menghela napas berat seraya menatap kosong ke langit-langit kamarku. Tenggorokanku terasa kering dan seperti tercekik meski telah meminum beberapa gelas air. Aku masih di rumah, mengurung diri di kamarku sendiri. Memang, seharusnya aku sudah dirawat sekarang. Dengan begitu jadwal operasi dan kemoterapi bisa langsung ditentukan. Namun, aku meminta pulang pada orang tuaku. Kali ini mereka mengiyakan keinginanku tanpa banyak bertanya atau bicara. Rasa iba pada diriku yang sekarat telah membuat mereka bertingkah demikian. Sungguh, ini sangat menyedihkan. Alasanku tak ingin dirawat bukan karena ketakutan. Tentu saja sebagai seorang manusia yang masih remaja, aku pasti memiliki takut tapi bukan itu. Sejujurnya, aku belum siap untuk meninggalkan hidup normalku. Saat ini, aku merasa baik-baik saja. Tak peduli dokter mau berkata apa, aku tak ingin memperdulikannya. Ini tubuhku. Akulah yang paling tahu tentang keadaanku, bukan orang lain. "Renata." Panggilan itu terdengar dari balik pintu. Itu suara Mama. "Renata," panggilnya sekali lagi. Aku bergeming. Untuk sejenak berpura-pura tuli. "Sayang, makan yuk!" Mama masih mencoba membujukku untuk mengisi perutku yang kosong. Namun aku tak lagi memiliki selera makan. Aku hanya butuh air. Seperti orang sekarat lainnya, aku hanya butuh cairan. Bukan sombong, tetapi makanan yang Mama berikan, tidak layak dikatakan sebagai makanan. "Renata, makan yuk, Sayang." Mama mencoba membujukku lagi. Kali ini suaranya diiringi dengan isakan. "Ren.." Suara Mama tak tergenapi. Wanita yang sudah melahirkan aku itu menangis. Lagi. Aku bahkan belum mati tetapi dia sudah menangisiku berulang-ulang kali. Apa ini yang sebenarnya Mama harapkan? Jika memang benar begitu maka sekarang aku paham alasan mengapa Mama hanya memberiku makanan sayur dan buah.  Tak ada lagi makanan berat, bahkan makanan berprotein sejenis daging pun tak diberikan. Mama menyebalkan. Aku menghela napas panjang ketika mendengar suara langkah kaki Mama yang menjauh. Wanita itu menyerah. Padahal seharusnya dia menggunakan sifat keras kepalanya untuk memaksaku. Mama memang bukan keturunan Ambon, tetapi orang suku Jawa asli. Wanita itu memiliki mata yang sayu dan pembawaan yang kalem. Walau begitu, untuk beberapa hal, dia akan sangat keras. Misalkan, ketika dia bersikeras menawar harga di tukang sayur. Mama sangat cantik, sama seperti Amanda. Kulit putih, postur tubuh langsing dan tinggi serta rambut yang lurus adalah ciri khas dari keduanya. Walau begitu, aku berbeda. Aku lebih mirip Papa, seorang keturunan Ambon yang mewariskan rambut keriting, mata bulat berbinar dan kulit hitam padaku. Padahal aku dan Amanda dilahirkan oleh wanita yang sama, tetapi perbedaan kami begitu kentara. "Renata." Kali ini suara Amanda. Perempuan yang paling aku benci itu, pasti sangat bahagia dengan kesekaratanku. Walau di depan orang lain dia menangis, aku yakin di dalam hatinya dia sedang tertawa terbahak-bahak. Seharusnya dia yang mati. Kenapa harus aku? Mungkinkah Tuhan salah sasaran? "Ren, buka pintunya," pintanya. Aku hanya diam. Mulutku seakan kehilangan kemampuannya untuk bicara. Tak ada keinginan sama sekali untuk sekadar menjawabnya. "Renata, ayo kita bicara." Aku masih diam. Tak memberikan respon apapun. "Ren, buka pintunya atau aku akan memaksa masuk!" Amanda bersikeras. Sepertinya dia lebih bisa bersikap keras kepala dibanding Mama. Dia memang perempuan yang ingin semua perintah dan keinginannya terpenuhi, jadi wajar saja jika bertindak gila. "Renata, Kakak hitung sampai tiga ya," ucapnya dengan yakin. Aku masih diam di tempat tidurku. Tak ada keinginan sama sekali untuk menggubris lelucon Amanda. Aku yakin, dia tak akan benar-benar melakukannya. "Satu.." Amanda mulai berhitung. "Dua.." Jantungku mulai berdebar. "Ti...ga!" Aku menunggu dan tak ada yang terjadi. Sudah aku bilang bukan? Dia tidak sungguh-sungguh dengan ucapannya. Brak. Suara pintu ditendang itu membuat tercekat. Disusul dengan suara knop yang diputar. Amanda masuk ke dalam kamarku dengan wajah merah. Di tangannya terdapat kunci pintu cadangan kamarku. Dia pasti meminta kunci itu dari Papa. Smart. Aku memuji kecurangannya itu kali ini. "Kamu lapar ‘kan?" Pertanyaan yang meluncur dari wajah marah itu sungguh di luar dugaan. Rasanya, aku nyaris tertawa seandainya tidak bisa menguasai diri. "Kamu sudah gila?" sahutku sinis. Amanda menggeleng. "Belum," jawabnya. "Tapi mungkin akan benar-benar gila jika kamu mengurung diri lebih lama lagi, Renata." Liar. "Tunggu di sini," katanya lantas keluar dari kamar. Tak lama kemudian Amanda datang kembali dengan semangkok buah dan sayur yang telah dikupas dan dipotong kecil-kecil. Keinginannya untuk membuatku makan benar-benar memuakkan. "Makanlah!" suruhnya sembari duduk di tepi kasur dengan memangku makanan yang dibawanya. Aku menghela napas panjang. Rasanya ingin protes tapi lagi tak ada tenaga untuk menolak perintahnya. Dia adalah Amanda Simon yang semua keinginannya harus terpenuhi. Dulu, aku bisa menolaknya. Namun kini tak bisa lagi. I'm only a dying girl. Aku akan segera mati. Bukan dia. "Aa.." Amanda memperlakukan aku seperti anak kecil. Dengan tingkah manis yang menyebalkan, dia mencoba memberikan kesan seolah dia peduli. Padahal, di dalam hati mungkin saja dia sedang berdoa agar aku segera mati. "Apa kamu memberiku racun?" ketus, aku tuduhkan itu padanya. Amanda menggeleng dengan memberikan seulas senyuman kecil. "Aku juga akan memakannya. Seandainya ini diracuni, aku yang akan mati lebih dulu," jawabnya lalu memasukkan potongan buah dan sayuran ke dalam mulutnya. Amanda mulai mengunyah lalu menelannya. Setelahnya dia membuka mulutnya, menunjukkan padaku bahwa dia benar-benar memakan buah dan sayuran itu. "Lihat? Aku baik-baik saja bukan? Sekarang, giliranmu untuk makan," katanya sembari mendekatkan sesendok berisi buah dan sayuran. Aku mulai membuka mulutku, menerima dengan pasrah apa yang akan dia masukkan ke dalam mulutku. Perlahan aku mulai mengunyah lalu menelan. Tak ada yang terjadi. Makanan yang dibawa Amanda aman. Aku melirik ke arah pintu kamar, mendapati Papa dan Mama sedang menonton kami. Mama bahkan menangis haru karena aku bersedia untuk makan. "Aa.." Amanda mulai menyuapi aku lagi. Namun untuk ketiga kalinya, aku mengambil mangkok dan sendok dari tangannya dengan paksa. "Aku akan memakannya sendiri," ucapku yang hanya dibalas anggukan kepala oleh Amanda. Selesai makan, meski lebih mirip dibilang mengudap, Amanda keluar dari kamarku. Gadis itu datang dengan segelas air putih kemudian. "Minumlah," katanya. Aku menerima segelas air darinya. Mama masuk ke dalam kamar, membelai pucuk kepala Amanda dengan sayang. "Terimakasih, Sayang," kata Mama penuh syukur. Prang. Mama dan Amanda menatapku dengan wajah kaget. Aku baru saja melempar gelas di tanganku ke lantai, membuat gelas itu pecah dan berubah  menjadi kepingan-kepingan. "Renata, ada apa?" tanya Amanda tidak mengerti. Cih, dia berpura-pura tidak tahu. "Keluar!" "Eh?" "Keluar!!!" Aku mulai mengamuk. "Keluar aku bilang!!" "Tenanglah, Renata. Tenang..." "Mama juga. Keluar! Keluar kalian dari hadapanku. Keluar!!!!!" Aku mulai sesak napas. Ulu hatiku terasa nyeri. Air mata j*****m ini bahkan mulai bercucuran tanpa perlu diminta. "Keluar!!!" Papa yang melihat itu segera membawa Mama dan Amanda untuk keluar dari kamarku. "Tapi, Pa.." Mama cukup berat hati untuk keluar dari kamarku tetapi Papa hanya terus membawa Mama bersamanya. "Izinkan aku membersihkan ini dulu, Re," mohon Amanda sambil berjongkok, memunguti pecahan gelas yang berhamburan di lantai. "Keluar!!!!!" Amanda cukup tergunjang, terlihat dari ekspresi wajah terkejutnya. Memang, mungkin ini adalah pertama kalinya dia dibentak dan orang yang melakukannya adalah adiknya sendiri yang tiga tahun lebih muda. Harga dirinya mungkin terasa terinjak-injak dengan sikapku ini. Akan tetapi aku tak peduli. Dia memang pantas mendapatkannya. "Re, aku tahu kamu sedih tapi..." "Tahu? Apa yang kamu tahu?" sahutku dengan sinis. "Rasa sakitmu, penderitaanmu dan.." "Jangan munafik, Amanda. Aku tahu bahwa kamulah orang yang paling berbahagia di dunia ini karena aku akan segera mati," tudingku. Amanda menatapku dengan rasa tak percaya. "Apa maksudmu, Re? Kamu adikku dan..." "Dan selamat, kamu akan segera menjadi putri tunggal di keluarga Simons," ucapku memotong ucapan Amanda. “Ïni yang kamu inginkan’kan?”   Amanda membuka mulutnya, shock. "Kenapa kamu berpikir begitu, Re? Aku tidak pernah berpikir seperti itu," bantahnya. "Aku tidak percaya padamu." "Sungguh, Re. Jika saja bisa, aku akan menggantikanmu. Aku.." "Kamu tidak bisa menggantikan aku, Amanda. Aku yang akan dilenyapkan. Bukan kamu!" Amanda menatapku dengan ekspresi terluka. Bahkan matanya mulai berkaca-kaca. "Aku tidak akan menbencimu meski kamu berkata begitu, Renata. Aku memahami betapa beratnya semua ini untukmu," katanya dengan air mata yang mulai berjatuhan. Munafik. "Memahami? Apa yang kamu tahu tentang perasaanku, Amanda? Apa yang kamu pahami sampai berani berkata bahwa kamu tahu beratnya ini bagiku? Apa yang kamu coba lakukan dengan berpura-pura peduli begini huh? Kamu sudah mendapatkan segalanya, Amanda. Kamu tidak perlu mencoba mengasihaniku. Aku tidak butuh!" Amanda tercengang. "Re.." Hidung Amanda telah merah. Matanya membengkak dan wajahnya tampak basah. Demikian pula denganku. Namun aku tidak mau lagi dikalahkan. "Keluar! Aku tidak butuh rasa kasihanmu." Amanda bergeming. Gadis itu memang keras kepala. "Keluar, Amanda!" Amanda menggelengkan kepalanya. Aku gregetan dan kehilangan kesabaran. Aku tak bisa menunggu lagi. Jadi, aku turun dari kasur dan menyeret Amanda keluar. "Keluar! Keluar!" "Iya, Re. Aku akan keluar dan.. Aw!" Amanda menjerit ketika tangan halusnya tergores pecahan gelas dan membuat darah segar keluar dari tubuhnya. Mama yang melihat itu segera bereaksi. Wanita itu meraih tangan Amanda dan membawanya keluar setelah menatapku dengan tatapan yang menunjukkan kekecewaan. Apa-apaan itu? Bahkan, dalam keadaan sekarat pun, Mama tidak peduli. Aku mulai menangis. Papa yang masih berdiri di depan pintu setelah gagal membuat Mama keluar dari kamar tadi hanya menatapku dengan sedih. Aku benci tatapannya. Tatapan kasihan darinya membuatku sakit. Aku berjalan ke arah pintu lalu menutupnya dengan kasar sehingga menimbulkan suara yang cukup keras. Aku mengunci kamarku, bahkan sengaja meletakkan kursi di belakangnya agar tidak ada lagi yang menggangguku. Aku berlari menuju kasurku, membenamkan kepalaku di bantal dan menangis sejadi-jadinya. Mengapa aku harus mati lebih dulu? Kenapa? Kebahagiaanku bahkan belum tiba dan kini aku harus mati. Aku mengangkat kepalaku saat merasakan ada sesuatu yang mengalir di hidungku. Awalnya aku mengira itu adalah ingus, ternyata bukan. Karena sepengetahuanku, tidak ada ingus yang berwarna merah. Itu darah. Aku menyekanya dengan tangan. Bukannya berkurang, darah itu terus bercucuran membuatku sedikit panik. Aku pergi menuju laci, mengambil tisu. Aku menyeka darah segar itu dari hidungku, berkali-kali. Namun sampai tisu terakhir, pendarahan di hidungku tak juga berhenti. Aku terduduk di lantai dengan tisu penuh darah di mana-mana. Tak ada lagi yang bisa aku lakukan, hanya menyandarkan diri di tembok dengan kepala diangkat ke atas, berharap pendarahannya akan berhenti dengan sendirinya. Kepalaku mulai pusing. Ujung bibirku bahkan terasa kelu. Darahnya tidak mau berhenti. Sepertinya, tubuhku sudah kehilangan kemampuannya. Suaraku bahkan tidak keluar saat berteriak. Aku tidak bisa bicara. Atau, mungkin otakku sudah membuatku lupa, bagaimana caranya bersuara. Tolong aku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD