Pertama kalinya, Zoya melihat tempat tinggal Lander. Dia bahkan duduk di sofa single dekat rak buku, sangat yakin Lander biasa duduk di situ untuk membaca buku. Pandangannya mengarah pada beberapa potret foto yang di pajang di rak lain sebelah rak buku. Lander muda bersama dengan orangtuanya.
Zoya baru menyadari, jika banyak anak tunggal di sekitarnya. Dia anak tunggal, Lander anak tunggal, Raksa, tetangga barunya itu juga anak tunggal. Dan jangan lupakan Tisa, dia juga anak tunggal, bedanya Tisa punya kakak dan adik tiri dari ayah sambungnya.
"Kenapa lama banget sih! Nanti mama gue nyariin!" Zoya berteriak, karena Lander tak kunjung keluar dari kamarnya. Dirinya berjalan menuju rak untuk melihat foto keluarga Lander dari dekat.
Saat itu dia jadi ingat alasan Lander kembali ke Jogja setelah lulus SMA adalah untuk melanjutkan bisnis ekspor-impor milik orangtuanya. Karena Lander anak tunggal, dia harapan keluarganya.
Zoya menahan perasaan yang membuncah, karena masa itu adalah awal dari hidup yang sebenarnya. Dia pikir cintanya memang tidak berbalas, itu sudah menyedihkan, tapi ternyata masih ada yang lebih menyedihkan, saat dia tiba-tiba menerima kabar papanya kecelakaan. Dia bukan hanya patah hati, tapi juga hancur sebagai seorang putri yang harus merelakan kepergian papanya.
Sebelum masa itu tiba, dia harus melakukan banyak hal untuk membanggakan papa dan mamanya. Dia akan menghabiskan banyak waktu bersama mereka, juga berjuang untuk memperlihatkan kekuatannya. Menunjukkan pada papanya, kalau putrinya akan kuat menghadapi dunia tanpanya. Agar papanya pergi dengan tenang.
"Pakai ini!" Lander melemparkan jaket pada Zoya. Tapi karena Zoya sedang melamun, jaket itu jatuh ke lantai. Menyadarkan Zoya dari pemikirannya.
Mengambil jaket yang jatuh, Zoya malah memperhatikan penampilan Lander. Laki-laki itu lama sekali ternyata karena ganti celana. "Lo kenapa ganti celana? Dan kenapa lemparin jaket?"
"Gue gak mau pakai!" Zoya melemparkan kembali pada Lander.
Lander berjalan mendekat dan memaksa memakaikan jaket itu pada Zoya. Bukan hal sulit, karena Lander sedikit menggunakan kekuatannya. "Kenapa susah banget sih, cuma disuruh pakai jaket aja. Kita mau naik motor, Lo mau masuk angin? Gak usah bertingkah!"
Zoya agak kaget, saat Lander memarahinya. Hei, dia merasa seperti orang dewasa yang sedang diatur oleh anak kecil. Karena dia sebenarnya sudah jauh lebih dewasa dari usia Lander saat ini. Tapi tetap saja laki-laki itu bisa memarahinya seperti biasanya.
"Kenapa gak naik taksi? Makanya gue bilang pulang sendiri aja. Lo pake ribet mau anterin segala!" Zoya mendorong Lander, melampiaskan kekesalannya. Dia sudah sangat lelah dengan aktivitasnya hari ini, tapi Lander malah seenaknya mengaturnya.
"Udah marahnya?" Lander menahan tangan Zoya, dan menggenggamnya. Menariknya berjalan menuju pintu. Mengambil helm di atas rak sepatu dan memakaikannya pada Zoya. Gadis itu tidak lagi marah, dan hanya diam saja saat dia memakaikannya.
"Udah males, Lo pasti akan tetap melakukan apapun yang lo mau!" Zoya berbalik kembali ke tempat dia duduk tadi, dia hampir melupakan es krimnya yang dia letakkan di atas meja.
Lander tersenyum, Zoya sedang marah, tapi tidak lupa dengan es krimnya. Awalnya dia pikir Zoya akan memiliki reaksi lain saat dia mengajaknya ke apartemen, tapi ternyata gadis itu biasa saja. Sudah lama dia tidak melihat ekspresi malu-malu di wajahnya, dia pikir akan melihatnya tadi, tapi ternyata tidak.
"Gue akan aneh kalo pakai helmnya sekarang. Orang-orang di lift nanti akan tertawa!" Zoya hendak melepaskan helmnya, tapi Lander menghentikannya.
"Tutup kacanya, dan orang-orang tidak akan tahu gadis aneh mana yang mereka tertawakan!" Lander tidak memberikan kesempatan pada Zoya untuk mendebatnya, dia langsung menarik gadis itu keluar apartemennya.
Zoya merasakan keanehan, karena Lander tidak pernah bersikap seperti ini padanya. Biasanya Lander akan mengabaikan keberadaannya, dan saat dia mendekatinya, Lander akan memarahinya karena risih. Tapi setelah dia tidak mencoba mendekatinya, mereka malah jadi sering bersama.
Lander menarik Zoya masuk ke dalam lift, sudah berdiri tiga orang di sana. Dan seperti dugaan Zoya, orang-orang itu jadi memperhatikannya, karena helmnya. Tidak mau ambil pusing, Zoya berdiri di pojok. Dan di sebelahnya Lander berdiri angkuh dengan melipat tangannya.
"Permisi, milikmu terjatuh!" Zoya mengambilkan sesuatu yang terjatuh milik orang di depannya.
"Iya, terimakasih. Aku hampir kehilangan undangan ini!" Wanita paruh baya itu terlihat sangat bersyukur karena tidak jadi kehilangan undangan itu.
"Anda menjadi salah satu tamu undangan yang akan menghadiri acara fashion show yang diadakan di Senayan? Aku juga memilikinya!" Zoya agak bersemangat, dia memiliki dua undangan untuk orangtuanya, dan satu slot untuk Gerald sebagai fotografer pribadinya.
Wanita itu langsung tersenyum dan mengangguk. "Kamu tahu acara itu? Kupikir anak remaja tidak akan tertarik untuk acara seperti itu?"
Zoya melihat pada roknya, dia baru ingat kalau masih mengenakan rok sekolah. Memang biasanya yang akan hadir adalah tamu khusus, dan hampir tidak ada anak remaja yang menghadiri acara seperti itu.
Membuka kaca helmnya, Zoya menunjukkan senyumannya. Karena akan aneh jika dia terus bicara dengan keadaan seperti itu. "Orangtua saya yang akan hadir!"
"Oh, begitu!" Wanita itu mengerti, dia sangat takjub saat melihat wajah gadis muda yang mengenakan helm di lift. Ternyata sangat cantik. "Saya memiliki anak gadis yang berkuliah di luar negeri, dan saya berencana membeli salah satu karya design yang akan dipamerkan para designer di acara itu untuk putri saya. Apalagi temanya adalah gaun malam. Dia memiliki tinggi sepertimu!"
"Benarkah, kalau begitu anda akan menemukan satu yang sangat cocok dengan putri anda nanti!" Zoya mengatakan dengan candaan.
"Saya harap begitu!" Wanita itu juga tersenyum, dia masih begitu takjub dengan kecantikan gadis muda yang memiliki senyum begitu indah. Seolah-olah membangkitkan perasaan bahagia pada dirinya, sebagai wanita yang sudah memiliki banyak keriput dan masalah penuaan.
Lander menepuk helm Zoya, dia kembali menutup lagi kaca helmnya, setelah wanita paruh baya itu berbalik. Sebagai orang yang menyimak pembicaraan, Lander bisa melihat betapa para wanita bisa mudah saling berinteraksi, hanya karena satu bahasan.
"Apa bagusnya acara itu!" bisik Lander di telinga Zoya. Menunjukkan ketidaktertarikannya.
"Lo gak bakal paham. Bisa dibayangkan, Lo bakalan muntah lihat banyak wanita cantik dan anggun berjalan di catwalk. Lo kan gak suka cewek cantik!" Zoya membalas dengan santai.
Sebenarnya Zoya masih penasaran, kenapa Lander tidak menyukai wanita cantik? Karena Luna juga tidak terlalu cantik, bahkan bisa dikatakan biasa saja. Dan Lander hampir menikahinya. Mungkin Lander memang fobia wanita cantik.
"Gadis bodoh! Gue gak suka wanita cantik, bukan berarti gak bisa melihatnya!" Lander menepuk helm Zoya lagi. Dan saat itu pintu lift terbuka, mereka turun di basement dan berjalan menuju motornya yang terparkir di sana.
Zoya berdecak, dia pikir Lander yang bodoh. Wanita secantik dirinya ditolak, padahal banyak laki-laki di luar sana yang sangat ingin memacarinya. Bibirnya tersenyum, mengingat setelah dia menjadi model terkenal, bahkan banyak pemuda bangsawan yang tertarik untuk menikahinya. Sayangnya dia terlalu kesepian, dan bosan hidup. Jadi saat itu dia menolak mereka dan tetap fokus pada karir. Karena hal itu, saat datang ke pernikahan Lander dan Luna, dia juga tidak punya gandengan.
"Lander, Lo berhutang sesuatu ke gue. Bicara lebih lembut dan bersikap sopan!" Zoya agak kesal saat mengatakannya. Dia ingat bagaimana pisau menembus kulitnya, membuatnya terbangun ke masa ini lagi. Semua karena Lander.
Lander mengerutkan keningnya, dia naik ke motornya dan membantu Zoya untuk naik. Mendengar bagaimana Zoya sangat kesal, Lander agak bingung. Karena dia tidak merasa berhutang apapun, tapi Zoya sering menyebutkan tentang hutang padanya. "Hutang apa?"
"Hutang nyawa!" jawab Zoya lirih. Tidak mungkin dia menjelaskan apa yang terjadi padanya, atau orang akan berpikir dia gila.