Pagi ini Zoya berangkat ke sekolah bersama Raksa. Keduanya membicarakan banyak hal. Dari pembicaraan tersebut, Zoya memahami satu hal, Raksa adalah orang yang begitu sederhana.
"Jadi Lo juga anak tunggal? Kenapa Lo gak tinggal sama orangtua Lo aja, malah milih tinggal sendirian?" Zoya masih ingin tahu tentang Raksa, jadi dia banyak bertanya.
"Bolehkah aku tidak menjawab?" Raksa menyembunyikan kepedihan di balik senyumnya.
Zoya menoleh menatap laki-laki di sebelahnya, dia tidak tahu kenapa Raksa tidak mau menjawab. Apakah karena dia kabur dari rumah? Tapi melihat karakternya yang baik dan sopan, itu tidak mungkin.
"Tidak perlu dijawab jika tidak mau!" Zoya membalas senyuman Raksa dengan canggung.
"Ah, apakah hari ini turnamennya?" Raksa melihat Navo memakai baju basket.
Zoya mengangguk. "Iya, turnamen awal. Mereka pasti akan mengamankan posisi sampai ke semifinal!"
"Ayo kita lihat. Tidak masalah bukan jika kita membolos untuk mendukung klub basket sekolah kita?" Raksa sudah melihat sesi latihan mereka, dia sangat ingin melihat bagaimana teman-temannya bertanding melawan sekolah lain.
"Gue gak mau!" Zoya langsung menolak, basket adalah dunia Lander. Dulu hidupnya selalu berputar di sekitar Lander, sekarang tidak lagi. Dia akan fokus pada kehidupannya sendiri.
"Kenapa?" Raksa sering melihat sesi latihan mereka, dan dia sangat bersemangat untuk melihat pertandingan yang sesungguhnya.
"Karena tidak menarik!" Zoya tersenyum saat mengatakannya. Kemudian turun dari mobil Raksa.
"Permainan mereka bagus. Mungkin saja akan menang!" Raksa masih membujuk. Dia buru-buru menyamai langkah Zoya, dan berjalan di sisinya.
Zoya tersenyum, karena itu kenapa dia bilang tidak menarik. Dia tahu tim basket sekolahnya akan menang. Jadi melihatnya tidak akan menarik, saat dia telah mengetahui hasilnya. "Gue bakal temenin Lo liat pas semifinal aja!"
"Iya kalau sampai semifinal. Katanya lawan mereka tangguh!"
"Sampai, mereka akan menang!" Zoya menjawab dengan yakin, kemudian melanjutkan dalam hatinya. "Karena aku sudah melihat semua pertandingan dan kemenangannya!"
Yang Zoya pahami, segala sesuatunya akan terjadi seperti yang diingatannya. Kecuali ada yang merubahnya, seperti yang dia lakukan pada kehidupannya sendiri. Semua hal masih akan berjalan seperti yang seharusnya.
"Kenapa begitu yakin?" Raksa menyipitkan matanya.
"Karena gue akan nonton sama Lo di semifinal. Jadi itu akan terjadi. Ya udah, gue duluan ke kelas!" Zoya menepuk lengan Raksa, lalu berjalan lebih dulu untuk menuju ke kelasnya.
Raksa menyipitkan matanya, dia jadi semakin penasaran dengan pertandingannya.
—
Setelah sepulang sekolah, Zoya tidak langsung pulang ke rumah, dia langsung menemui pelatihnya yang sudah menunggunya di sebuah tempat.
Hari ini mereka dia akan mencoba gaun yang akan dikenakannya untuk di catwalk. Bukan hanya dia, semua model juga akan melakukannya pada hari ini.
Dalam acara tersebut, ada tiga designer terkenal yang akan memamerkan karya rancangannya. Dan setiap designer akan mengirim sepuluh model naik ke panggung catwalk. Zoya menjadi model termuda, diantara model terpilih.
Tidak heran jika banyak model lain yang iri dengan Zoya. Karena meskipun masih baru, pelatihnya sudah memberikan kesempatan untuknya memulai debutnya.
Hari yang melelahkan, Zoya baru bisa pulang setelah pukul tujuh malam. Dalam perjalanan pulang, Zoya mampir ke sebuah kedai. Dia ingin membeli es krim. Karena manisan dingin itu selalu bisa memperbaiki moodnya.
Mengantri, Zoya sambil memainkan ponselnya. Dia berdiri di barisan, menunggu gilirannya. Mencoba mengirimkan pesan pada mamanya. Karena tadi dia hanya sempat mengatakan kalau akan pulang terlambat.
Merasakan aneh pada bagian tubuh belakangnya, Zoya menoleh ke belakang. Dan rupanya Lander sudah berdiri di belakangnya. Laki-laki itu memakai kaos hitam, celana pendek putih, dan juga masker, tapi tentu dia mengenali matanya.
"Kenapa Lo ada di sini?" Zoya reflek bertanya.
"Alasannya sama seperti pelanggan lain!" jawab Lander dengan nada malas.
Zoya menghirup napas dalam-dalam, dia buru-buru kembali menghadap ke depan. Tidak mau lagi bicara dengan laki-laki itu. Karena bisa membuatnya jadi kesal.
Lander menendang sepatu Zoya, membuat Zoya menahan emosi dengan mengabaikannya, berpura-pura tidak mengenal orang di belakangnya. Tapi saat Lander berbisik di telinga Zoya, gadis itu tidak bisa mengabaikannya.
"Kenapa jam segini Lo masih berkeliaran dengan rok sekolah, sama siapa? Gerald? Apa dia tidak tahu waktu?" Lander membisikkan kalimat itu dengan nada penuh penekanan.
Zoya menunduk, dia melihat pada roknya. "Bukan urusan Lo!"
"Dimana dia?" Lander melihat sekelilingnya, tapi tidak melihat keberadaan Gerald.
"Mana gue tahu!" Zoya mengangkat bahunya tak peduli.
Gara-gara foto yang beredar itu, semua orang berpikir dia berpacaran dengan Gerald. Zoya tidak heran saat Lander berpikir dia sedang bersama dengan Gerald. Bahkan hari ini dia bertengkar dengan Tisa, karena kesalahpahaman tersebut.
Saat itu antriannya telah sampai pada Zoya, dia maju lagi dan memesan beberapa jenis es krim sekaligus. Merasa sangat bersemangat, karena dia sudah menginginkannya.
"Kopinya sekalian!" Lander berbicara dari belakang tubuh Zoya, bahkan tepat di sebelah wajah Zoya, dengan tangan yang berpegang pada meja kasir. Tangan lainnya menyerahkan kartu ATM. "Ini, sekalian dengan es krim miliknya!"
"Kenapa Lo yang bayar?" Zoya langsung berbalik, karena tidak terima, tapi saat itu membuat wajah mereka jadi sangat dekat, bahkan hampir bersentuhan.
"Tidak perlu berdebat!" Lander memegang bahu Zoya dan memutar tubuhnya agar kembali membelakanginya.
"Lo bilang gak suka sama gue. Kenapa gak pura-pura aja untuk gak kenal sama gue!" Zoya pikir itu akan lebih baik untuk mereka.
Lander tidak merespon. Keduanya menunggu pesanan masing-masing, tapi pesanan Lander lebih dulu siap, karena hanya satu. Laki-laki itu menunggu Zoya dalam diam.
Zoya mendapatkan pesanannya, dia berbalik dan saat itu tiba-tiba tangannya di tarik oleh Lander. Dia mencoba menariknya, tapi Lander tidak melepaskannya.
"Mau Lo apa sih?" Zoya tidak mengerti dengan Lander, karena seharusnya laki-laki itu terus mengabaikan keberadaannya, sampai mereka lulus sekolah.
"Tadi naik taksi?" Lander tidak melihat ada mobil di depan kedai tersebut, hanya ada beberapa motor milik pelanggan lain yang terparkir di depan.
Zoya mengangguk, dia masih berusaha untuk melepaskan pegangan Lander pada tangannya. Tapi tidak bisa lepas. Sedangkan tangan lainnya sedang memegang plastik berisi kontak es krim.
"Ikut gue ke apartemen, ambil motor. Gue anterin Lo pulang!" Lander menjelaskan, karena Zoya masih berusaha melepaskan pegangan tangannya.
"Gak perlu, gue bisa pulang sendiri!" Zoya benar-benar tidak ingin lagi berdekatan dengan Lander.
Lander tidak melepaskannya. Dia khawatir, karena gadis itu tidak seharusnya berkeliaran sendirian dengan masih menggunakan rok sekolah. Khawatir jika ada yang berniat buruk padanya, karena melihat ada anak sekolah masih berkeliaran malam-malam.
"Okay gue bakal pulang sama Lo, tapi lepasin tangan gue!" Zoya melihat pada tangannya yang dipegang oleh Lander, dan membuatnya juga jadi melihat pada gelang di tangannya. Gelang yang seharusnya menjadi milik Luna. Dia tidak mengerti ada apa dengan takdirnya.