Lander akan pulang, Zoya mengantarkannya ke depan. Padahal gadis itu tadi baru saja menyelesaikan les malamnya.
"Lo sedang melakukan sesuatu bersama Gerald?" Lander sangat cerdas, dia menangkap setiap keanehan pada pembicaraan Gerald dan Zoya. Bahkan dia merasa Raksa juga tahu, karena laki-laki itu ikut menutupi apa yang keduanya lakukan. Tapi Lander melihat, Mia tidak tahu apapun.
Zoya tahu Lander terlalu pintar untuk tidak mengerti, kenapa Gerald akhir-akhir ini sering bersamanya. Dan sepertinya laki-laki itu juga tahu kalau dia dan Gerald tidak ada hubungan romantis seperti yang dikabarkan anak-anak di sekolah. Entahlah, dia tidak mau terlalu memikirkan.
"Gue gak harus jelasin ke Lo. Udah sana balik, Lo ada turnamen lagi kan besok!" Zoya sudah tidak ingin bicara apapun dengan Lander, dia ingin laki-laki itu segera pulang.
Lander sudah naik ke motornya. Dia belum menyalakan motornya, merasa ada yang mengawasinya, dia mendongakkan kepalanya. Di lantai dua, Raksa dan Gerald sedang melihat padanya dari balkon.
"Lo gagal diujian fisika kemarin, dan Lo bohong tentang ulangan Senin depan. Gue gak tahu ada urusan apa Lo sama Gerald, tapi gue tahu Lo gak ikut olimpiade karena hal itu juga. Gue harap Lo tahu apa yang sedang Lo lakuin!" Lander menutup kaca helmnya, dan mulai menyalakan motornya. Dia melajukan motornya keluar halaman melewati pintu pagar yang dibukakan penjaga.
Zoya masih berdiri di tempatnya. Mendengus, karena tahu Lander masih kesal, karena dia memilih tidak ikut olimpiade, dan perwakilan yang menggantikannya gagal membawa piala kemenangan. Lander selalu ingin kesempurnaan, Zoya paham Lander laki-laki yang ambisius itu kesal padanya karena hal tersebut. Bukan hal aneh, karena Lander memang tidak pernah menyukainya.
"Gue gagal ujian fisika, karena sibuk dan lupa belajar. Gue lupa materi itu, karena berhenti ikut les fisika. Gue gak sepintar dia, tapi apa masalahnya? Sekarang gue gak harus berjuang untuk terlihat pintar dihadapannya. Gue akan melakukan apa yang gue kuasai!" Zoya jadi menggerutu, karena Lander baru saja membahas tentang ujian fisikanya. Padahal bukan cuma dia yang gagal, Lander saja yang terlalu pintar sehingga mendapatkan nilai sempurna.
Menghirup napas dalam-dalam, Zoya ingat kalau dia seharusnya tidak lagi terpengaruh dengan Lander. Hidupnya kini memiliki tujuan tersendiri.
Berjalan kembali masuk, Zoya langsung naik ke lantai dua menuju ke kamarnya. Karena saat ini Gerald, Raksa dan Mia masih di kamarnya. Mereka memang sudah sibuk sendiri sejak tadi, saat dia sedang ikut les online. Dan Lander, laki-laki itu membaca buku yang diambil dari rak bukunya, seolah-olah berada di dunianya sendiri. Syukurlah, laki-laki itu sudah pulang.
Zoya baru masuk ke kamarnya, tapi keluar lagi. Dia pergi menuju kamar orangtuanya. Zoya ingin sedikit mengobrol dengan mereka, tentang rencananya menjadi model Elen. Karena saat nanti Elen setuju untuk menjadikannya model dari mereknya, maka dia akan sering untuk ke London ikut pemotretan dan pekerjaan lainnya. Satu hal yang mungkin akan sulit di hadapi, yaitu sekolahnya. Dia berharap papanya mau mengerti, jika nilainya di beberapa mata pelajaran akan turun. Selama ini dia bertahan di sepuluh besar, dan mungkin akan turun di angka dua puluhan.
Sebenarnya Zoya tahu dia tidak terlalu bodoh, tapi kegiatannya yang padat akan sedikit mempengaruhi nilai tugasnya. Kata-kata Lander tadi, mau tidak mau juga sedikit mengganggu pikirannya.
Baru saja Zoya akan mengetuk pintu kamar orangtuanya, dia mendengar tawa mamanya, dan lelucon garing papanya. Jujur, dia seperti mimpi mendengar pembicaraan seperti itu. Mengusik hatinya, yang selama lima tahun memendam kerinduan terhadap mereka. Mendengarnya saja membuatnya merasa lega, karena bisa bersama mereka lagi. Tapi entah kenapa, dia masih merasakan kepedihan.
Beranjak menjauh, Zoya pergi ke ruangan lain. Ada ruang keluarga di lantai dua rumah tersebut, dan di sana juga ada balkon yang mengarah ke halaman samping. Berdiri melihat kegelapan malam, Zoya hanya mencoba menikmati waktu yang membingungkan. Matanya kemudian terpejam, menenangkan perasaannya, menjernihkan pikirannya. Dia harus tetap tenang, agar semua tujuannya tercapai. Membuat orangtuanya melihatnya kesusksesan yang tidak bisa dia perlihatkan sebelumnya.
Kadang Zoya merasa dirinya seperti di alam mimpi, tapi saat dia melangkah bahkan bernapas, dia yakin bukan mimpi. Semuanya terlalu nyata untuk disebut sebagai mimpi.
"Kenapa di luar?" Mia datang dan berdiri di samping Zoya.
Zoya membuka matanya, dia menoleh dan melihat senyum manis di wajah Mia. Temannya yang sebentar lagi akan tidak bisa ditemuinya setelah kelulusan.
"Mia, gue udah jadi temen yang baik belom buat Lo, Ariel dan Gerald? Kita beda sekolah, dan sangat jarang bertemu untuk mengobrol atau bersenang-senang. Tapi percayalah, kalian yang terbaik!" Zoya tidak pernah bisa mengatakan apapun sebelumnya, tentang betapa dia bersyukur bisa berteman dengan mereka meskipun sangat singkat. Maka dia mengatakannya sekerang.
"Ya, kita temenan karena rumah kita satu kompleks!" Mia tertawa, karena dulu dia, Ariel, Gerald memaksa Zoya untuk berteman, karena Zoya cantik dan ceria. Terlalu menarik untuk diabaikan. "Tapi Lo gak harus jadi yang terbaik, Zo. Kami senang temenan sama Lo. Kayak gini aja, udah bagus tahu. Semoga kita akan temenan terus meskipun nanti bakalan terpisah satu sama lain!"
Zoya tersenyum, Mia selalu bisa mengatakan hal yang menyenangkan. Sayangnya, Mia salah tentang mereka akan masih temenan meskipun terpisah. Karena entah bagaimana, setelah semua pergi ke luar negeri, mereka tidak lagi saling menghubungi. Satu-satunya teman yang akan terus bersamanya hanya Tisa.
"Lo tiba-tiba jadi terlihat sangat dewasa, gue dan Ariel kemarin baru ngomongin lo. Kami senang, karena kami gak harus khawatir dengan Zoya kami yang naif dan manja!" Mia mengatakannya dengan setengah bercanda, tapi dari tatapannya ucapannya itu berasal dari hatinya.
Zoya merangkul bahu Mia. Dia menjadi dewasa, karena memang yang berdiri di sisinya adalah Zoya yang telah dewasa. Jika saat ini dirinya masih Zoya remaja yang seharusnya, maka dia masih manja dan bahkan masih terus mengejar Lander. Tanpa tahu, di masa depan dia akan segera kehilangan papanya, dan kemudian mamanya. Anak manja itu dipaksa untuk hidup sendirian dan kesepian. Sehingga sifat manjanya perlahan-lahan menghilang. Menyisakan kekosongan.
"Ada apa? Apakah ada sesuatu yang menarik?" Gerald berada di antara keduanya, dan merangkul bahu keduanya terlihat seperti seorang kakak dari dua adik perempuan. Padahal itu sangat tidak cocok untuk badboy sepertinya.
"Ge, Lo setuju kan kalo Zoya kita telah dewasa. Dia tidak perlu kita khawatirkan lagi!" Mia meminta dukungan Gerald.
Gerald tertawa, tangannya mengusap puncak kepala Zoya. "Dia sebenarnya jadi aneh. Tapi cukup bagus. Ayo dukung dia!"
"Berhenti meledek!" Zoya menghempaskan tangan Gerald dari kepalanya. Tahu kalau Gerald mengatakan untuk mengganggunya.
Mia membantu Zoya untuk memukulnya, karena membuat Zoya kesal. Dia juga sering menjadi korban kejahilan Gerald. "Jerk!"
"Tapi ada yang lebih baik, Zoya tidak lagi mengejar-ngejar cinta Lander!" Mia menyenggol lengan Zoya. Tapi apa yang diucapkan dengan maksud sebenarnya itu tidak sama. Mia sangat puas, melihat Lander terlihat mulai menghargai perjuangan Zoya. Bahkan datang ke rumah dan makan bersama mereka malam ini.
Gerald tidak merespon, bahkan wajahnya tidak lagi menampilkan senyum. Karena Gerald masih merasa Zoya akan tersakiti oleh sikap angkuh laki-laki itu. Dia seorang laki-laki, dan dia melihat sikap Lander seperti tidak senang dengan Zoya atau apapun yang ada di sekitar Zoya. Seperti menghakimi, tanpa mencoba memahami Zoya. Gadis cantik yang saat ini tiba-tiba ingin menjadi model.
"Makan es krim yuk, tadi gue beli es krim. Masih di kulkas!" Zoya tidak mau ada pembahasan tentang Lander. Tapi kemudian dia sadar tidak melihat Raksa. "Raksa udah balik?"
"Masih main game dia!" jawab Gerald, dia keluar mencari Mia dan Zoya karena dia kalah dari Raksa.