Zoya pikir Lander yang akan memasak, tapi dia lupa kalau bahu Lander belum sepenuhnya sembuh, jadi mau tidak mau dia yang harus melakukan semuanya, sedangkan Lander hanya memberikan instruksinya.
"Potong lebih kecil, itu terlalu besar!" Lander hampir tidak bisa menahan diri, Zoya benar-benar payah dengan peralatan dapur. Bahkan panci saja dia tidak tahu.
"Kenapa? Gue suka yang besar, lebih menggoda!" Zoya menyahut dengan lirih.
Lander mendengarnya, dia mengerutkan keningnya. Karena ucapan Zoya jadi terdengar ambigu. "Bicara dengan benar!"
"Apa? Gue gak ngomong apa-apa!" Zoya membela diri. Dia memasukkan potongan sosis, dan sekarang tinggal menunggu mie-nya lebih lembut dan bumbu meresap.
"Sudah siap, tunggu sebentar lagi. Gue akan siapkan tempat makan!" Lander menyuruh Zoya agar tidak melakukan apapun lagi, sampai mienya matang. Gadis itu terlihat lelah.
Zoya melihat Lander mengambil mangkuk di rak dan sumpit juga sendok. Laki-laki itu mengajaknya berbelanja, mereka masak bersama, dan sekarang akan makan bersama. Ini seperti kencan, apakah mereka sedang kencan?
"Pindahkan ke mangkuk, itu sudah cukup matang. Hati-hati dengan tanganmu, itu sangat panas!" Lander menyerahkan mangkuk pada Zoya. Sedangkan dia memindahkan beberapa barang dan bukunya dari atas meja. Karena mereka akan makan sambil menonton film.
"Lander, apa AC di sini rusak? Rasanya seperti terbakar. Lo bilang udah dinyalakan, tapi masih panas!" Zoya membawa dua mangkuk berisi makanan ala-ala Korea yang masih mengeluarkan asap mengepul. Dia kemudian duduk menunggu Lander yang sedang menghubungkan ponselnya dengan televisi. Agar mereka bisa menonton film sambil makan.
Lander melihat pada AC di ruangan itu, seharusnya tidak rusak. Tapi karena memang cuaca diluar terlalu panas dan Zoya baru selesai masak, jadi mungkin harus diturunkan lagi suhunya.
Mengurus segalanya, kemudian mereka siap untuk menonton film. Lander melihat mangkuknya yang terisi hampir penuh, tapi saat melihat mangkuk Zoya, itu hanya terisi sedikit.
Menatap Zoya yang sedang fokus pada tv, dia mengetuk mangkuknya dengan sumpit. "Lo makan terlalu sedikit! Apa jadi model artinya diet adalah keharusan?"
Zoya berpikir sebelum menjawab. Kemudian dia menggelengkan kepalanya. "Enggak, tubuh gue udah proporsional. Tapi pipi gue akan terlihat cabi. Tadi gue udah makan roti, es krim, terlalu banyak untuk sore ini!"
"Makan dengan benar, Lo gak akan dihargai orang hanya dengan terlihat cantik. Lo juga harus pintar. Kalau cantik tapi begok, itu sia-sia!" Mata Lander fokus pada layar televisi, tapi mulutnya masih sempat mengomel.
Zoya menelan mie tanpa mengunyah. Menatap tajam pada Lander. "Kita tadi lagi bahas tentang makan sedikit, kenapa jadi ke begok?" protesnya tak terima. Lander terus mem-bully karena nilainya ada yang turun. Mengungkit kekurangannya tanpa perasaan.
Lander menoleh dan menunjukkan ekspresi tak bersalah. Dia menepuk kening Zoya dengan gagang sendok bersih yang baru akan dia gunakan. "Karena lo hampir tak tertolong!"
"Maksud Lo apa?" Zoya balas memukul kening Lander dengan gagang sendoknya, tapi lebih keras. Dan akhirnya mereka saling menatap terkejut.
"Maaf!" Zoya cukup sadar jika pukulannya pasti menyakitkan.
Lander mengusap keningnya dengan wajah kesal. Kemudian mereka mulai kembali makan sambil menonton film yang berjudul The box. Film musikal yang dibintangi Park Chanyeol. Mereka tidak tidak bicara lagi. Awalnya mereka sangat menikmati filmnya, tapi karena hanya diam, jadi terasa canggung.
"Gue ambil les untuk ningkatin nilai gue. Tidak semua mata pelajaran, karena gue juga punya kesibukan lainnnya, gue juga masih ingin punya waktu main-main sama temen. Mama bebasin guru les gue mau datang ke rumah atau gue yang datang ke tempat lesnya. Karena tahu gue sebenarnya gak suka belajar. Biar gue gak bosen!" Zoya menoleh untuk melihat, apakah Lander mendengarkannya, dan ternyata Lander sedang melihat ke arahnya juga.
"Lo beruntung, orang tua Lo mampu sewa guru les, di luar sana ada banyak orang yang mau ikut les!" Lander menyahuti ucapan Zoya. Tapi matanya fokus pada bibir Zoya yang agak bengkak, karena mereka baru saja makan pedas.
"Lo juga ikut les?"
"Gue belajar sendiri juga udah pinter!" Lander menyombongkan diri dan memalingkan wajahnya, kembali melihat pada layar televisi.
Zoya agak menyesal bertanya, tapi memang harus diakui, Lander sangat cerdas. Dia selalu nomor satu di sekolah dan nilainya hampir selalu sempurna. Dia pikir Lander jenius, tapi teman-teman malah berpikir Lander aneh.
"Kenapa Lo ajak gue pulang? Bukannya Lo gak suka deket-deket gue? Dan gue juga udah bilang gak suka sama Lo. Kenapa kita malah nonton film berdua?" Zoya menuntut jawaban, karena sikap Lander sangat membingungkan.
Lander mengangkat bahunya. Karena dia memang tidak tahu kenapa mengajak gadis itu pulang dan menonton bersama. Awalnya dia hanya tidak suka dengan orang-orang yang menjadikan foto editan itu bahan candaan. Dia datang ke rumahnya dan bertemu dengan Raksa. Ternyata Zoya belum pulang. Dia menemukannya, kemudian semua ini terjadi.
"Jangan banyak bertanya, tonton saja filmnya!"
"Padahal tinggal mengakui aja, Lo mulai peduli sama gue!" Zoya mencebikkan bibirnya, karena Lander sudah menunjukkan perhatian sejauh ini, tapi masih bermain pura-pura tidak tahu apa-apa. Dasar remaja pikirnya.
Saat film itu habis, mereka melanjutkan menonton film lainnnya. Hingga hampir petang, mereka telah menyelesaikan dua film. Zoya paling suka film terakhir, yang menceritakan tentang kisah cinta yang harus memilih antara materi atau cinta. Film terakhir memang pilihannya.
Menoleh, Zoya melihat Lander ternyata tertidur. Sepertinya Lander tidak terlalu suka film terakhir. Memperhatikan wajahnya, Zoya membenahi posisi kacamata Lander yang miring.
"Lo lagi nebus utang ya? Kenapa Lo jadi baik sama gue?" Zoya merasakan perubahan sikap Lander. Sesungguhnya, Lander bukan orang yang akan bicara dengan orang yang membicarakan hal sia-sia. Lander bukan orang yang akan mengajak temannya pulang ke apartemennya.
Lander adalah wajah terakhir yang dia lihat, saat dia jatuh limbung setelah terkena tusukan. Dan saat dia bangun, Lander juga wajah pertama yang dilihatnya, hanya saja situasinya berbeda. Dia terlempar dalam waktu yang salah dan kembali menjalani masa ini. Jika pun ini adalah mimpi panjang, Zoya telah berjanji pada dirinya sendiri, dia akan melakukan apa yang sebelumnya tidak bisa dia lakukan. Contohnya menjadi model sukses dan disaksikan oleh kedua orangtuanya.
Mematikan televisi, Zoya mengambil jaket yang terselampir dan menutupi tubuh Lander. Sebelum pulang, dia sempat menoleh sekali lagi, hingga akhirnya benar-benar melangkahkan kakinya keluar. Dia punya jadwal yang harus dikejar.
Menyalakan ponselnya, langsung ada banyak notifikasi masuk. Zoya mengabaikannya, dia langsung memesan taksi.
Jujur saja, sebelum ini dia sempat sedih dan agak kacau karena foto editan yang memalukan itu. Tapi sekarang dia benar-benar tidak merasakan apapun lagi. Kencan bersama Lander ternyata memperbaiki moodnya. Bagaimanapun, dia akan menyebutkannya sebagai kencan. Dan dia cukup menyukainya. Tapi satu hal yang dia sadari dengan jelas, dia tidak berdebar-debar. Seolah jantungnya tidak lagi berdetak untuknya.