Hari kedua setelah acara tersebut Zoya dibawa pulang oleh keluarganya. Elen secara pribadi mengantarkan Zoya ke Bandara.
Elen tahu semua model kelelahan, karena jadwal mereka sebelum runway sendiri sudah cukup padat. Ada banyak pemotretan di berbagai tempat. Fitting baju dan banyak lagi kegiatan lainnya. Jadi Elen bisa mengerti jika Zoya kelelahan.
Saat di pesawat, Zoya masih lemas, dia menempel pada papanya sepanjang waktu. Zian memanjakannya, karena memang Zoya putrinya satu-satunya, melihatnya sakit juga melukai dirinya.
"Sayang, pakai selimutnya!" Shana mengingatkan.
Mereka saat ini menggunakan pesawat pribadi, sehingga hanya ada mereka selain beberapa pramugari dan juga dia pilot di depan. Sungguh, keluarga Pyralis memiliki banyak aset dan selain perusahaan dan juga saham-saham yang tersebar di berbagai bidang. Mereka hanya punya satu putri, dan putri mereka sudah merintis karir di usia muda juga sudah bisa menghasilkan cukup uang untuk dirinya sendiri.
Orang-orang pasti sangat iri melihat keluarga itu, tanpa mereka sadari, tidak ada kebahagiaan yang sempurna di dunia. Kebahagiaan itu akan terenggut karena membuat iri banyak orang.
Sejak hari Zoya melihat makan orangtuanya dalam bayangannya, dia ingat kesedihannya dan merasa takut. Dia akan kehilangan untuk kedua kalinya. Bukankah itu sangat memberikan? Zoya pikir ini adalah kesempatan, dia bisa melakukan apapun bersama keluarganya, teman-temannya, bisa mewujudkan mimpinya. Tapi setelah mengingat kematian orangtuanya, dia menganggap ini hukuman.
"Papa!"
"Hm."
"Bolehkah Zoya tukar kehidupan Zoya dengan papa?"
Zian mengerutkan keningnya, dia menjangkau wajah putrinya dan memberikan usapan di pipinya. "Ada apa? Kenapa kamu mau menukarkannya?"
Tersenyum, Zoya mencium telapak tangan papanya. "Karena Zoya tidak ingin hidup tanpa papa. Ayo, kita pergi sama-sama aja. Zoya gak mau hidup ini lagi!"
"Hust! Apa yang kamu katakan? Jangan bicara sembarangan!" Zian sampai merinding mendengar ucapan putrinya yang dikatakannya dengan sangat ringan. Seolah-olah hal itu bisa dikatakan begitu saja.
"Bagaimana jika papa yang mengatakannya padamu, papa ingin menukar hidup papa untuk kamu!" Zian tahu telah terjadi sesuatu, karena memang putrinya agak berbeda sejak sakit.
"Maka itu akan sia-sia, karena Zoya tidak akan bisa hidup bahagia setelahnya!" Zoya menangis, dia ingat saat itu, ketika dia mulai kehilangan orangtuanya satu-persatu. Kemudian dia tinggal sendirian dengan banyaknya harta warisan, kesuksesan sebagai supermodel dan juga fisik yang membuat iri banyak orang. Nyatanya dia benar-benar merasa kosong dan ingin mati.
Zian menggeleng, dia pikir Zoya hanya sedang bicara melantur. Tangannya terus mengusap pipinya, mengusap air mata yang jatuh dan memberikan senyum menenangkannya.
Shana, Gerald, Raksa juga mendengar percakapan lirih keduanya. Sungguh, Shana dan Gerald juga berpikir Zoya hanya sedang melantur. Tapi hanya Raksa yang terdiam kaku dengan bibir bergetar.
Seperti sinyal, ucapan Zoya menghantam kuat hati Raksa. Menyesakkan hingga dia mengepalkan tangannya kuat-kuat. Menahan air mata agar tidak jatuh. Menatap pada bangku keduanya, melemahkan dirinya.
Cukup lama berada dalam keheningan. Zian menatap wajah putrinya yang sudah jatuh terlelap. Bagaimana mungkin dia sanggup mendengar ucapan seperti itu dari sang putri. Saat dia bahkan selalu ingin melihat binar di mata cantiknya, melihat bibirnya tersenyum, dan menceritakan banyak hal. Mendengar suaranya yang candu.
"Jika papa memang harus pergi, artinya tugas papa untuk menjagamu sudah selesai. Maka kamu harus kuat, jaga mama untuk papa. Dan jika merasa takut, ingat jika kamu masih memiliki Tuhan. Dia akan memberikan apapun yang kamu butuhkan!" ucap Zian pada Zoya, butuh waktu untuk mampu mengatakannya, itu pun hanya sanggup dia katakan pada saat putrinya sudah bangun.
Zoya mengepalkan tangannya di bawah selimutnya. Dia masih belum tidur, dan mendengar pesan dari papanya. Rasanya sangat menyesakkan.
Beberapa jam berlalu, mereka akan sampai di Bandara Soekarno Hatta. Semua orang tidak lagi mengingat tentang percakapan menyesakkan tadi. Dan mereka bahkan bisa mengobrol dengan santai, tapi Zoya masih banyak diam. Dan Raksa masih memperhatikan.
Mereka langsung pulang, Gerald diantarkan sampai depan rumahnya, karena masih satu kompleks juga, sama seperti Raksa, dia juga langsung turun saat mobil berhenti di depan rumahnya. Tidak banyak bicara seperti biasanya, dia hanya melambaikan tangannya pada keluarga Pyralis dan langsung masuk ke rumah.
Hari itu, Zoya memikirkan pesan papanya. Sebelumnya dia tidak pernah tahu bagaimana pemikiran papanya, karena dia begitu saja kehilangannya secara tiba-tiba. Apakah dia kembali untuk mendengarkan pesan papanya. Tapi jika seperti itu, kenapa dia masih di sini? Dia tidak mau terjebak lebih lama di masa ini, karena dia tidak mau melihat kepergian papanya untuk kedua kalinya. Apakah dia bisa kembali ke kehidupannya yang telah berusia tiga puluh tahun? Atau sebenarnya dia sudah mati? Atau apakah ini mimpi? Kenapa begitu nyata?
"Aneh, hidup ini aneh!"
Zoya mengacak rambutnya yang kini memiliki potongan pendek berponi. Bangkit dari posisinya, dia mengambil bantal dan membawanya pergi ke kamar orangtuanya. Mengetuk pintunya, dan langsung masuk saat mamanya membukakan pintu.
"Ada apa sayang? Apa badanmu panas lagi?" Shana khawatir, karena saat masih di Bandara tadi dia sudah menyarankan agar membawa Zoya ke rumah sakit.
"Zoya mau tidur di sini!" Zoya sudah membaringkan tubuhnya di bagian tengah tempat tidur, memakai bantalnya sendiri, dia mulai memejamkan matanya.
"Wah, masih hangat. Apakah sudah minum obat?" Shana memeriksa kening putrinya.
"Hm!" jawab Zoya singkat.
Zian baru masuk ke kamar setelah dari ruang kerjanya, dia terkejut melihat penghuni kamar sebelah ada di atas tempat tidurnya.
"Sayang, apakah dia yang kemarin ada di runway?"
"Hem, dia bukan menjadi model lagi sekerang, tapi sedang menjadi putri manja!" Shana dan Zian bermain saling berbalas untuk meledek sang putri.