Penjaga itu membukakan pintu untuknya, Zoya berterimakasih dan langsung masuk. Melihat sekeliling, dia terus berjalan dan belum menemukan tetangga barunya.
Hingga dia mendengar suara teriakan, tidak keras, tapi cukup membuatnya panik. Zoya buru-buru berjalan tertatih-tatih ke arah sumber suara. Dan setelah sampai di dapur, Zoya menghentikan langkahnya melihat pada kedua orang yang sedang tertawa, padahal ada asap mengepul dari oven. Jika bukan karena tawa itu, Zoya tentunya masih merasa panik.
"Mama, ada apa? Dan siapa dia?" Zoya melihat remaja asing di depannya, penampilannya sangat rapi dan keren, agak berbeda dengan gaya teman laki-lakinya. Wajah bersih, tinggi dan senyum cerah.
"Halo! Kakak!" sapa remaja asing itu membuat Zoya melotot dengan mimik wajah aneh.
"Hei, jangan panggil seperti itu. Kalian memiliki usia yang sama. Wah, Tante sangat senang Zoya akan memiliki teman baru. Tenang saja, anak Tante baik kok!" Shana yang sudah jatuh hati pada pandangan pertama, pada remaja laki-laki yang menjadi tetangga baru mereka itu.
"Oh, tentu saja. Kami akan berteman!" Remaja laki-laki itu melambaikan tangannya pada Zoya.
Zoya masih terdiam. Dia tidak menyangka mamanya akan secepat itu akrab dengan tetangga baru. Dan remaja itu, Zoya pikir juga seperti sudah pernah melihatnya. Wajahnya tidak terlalu asing.
"Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?" Zoya menanyakan langsung, karena dia benar-benar merasa wajah itu tidak asing.
"Tidak pernah!" jawab remaja laki-laki tersebut, dan melanjutkan dalam hatinya. "Atau bisa dikatakan belum!"
Zoya berjalan mendekat ke arah meja pantry, dia melihat oven itu benar-benar terbakar. Baunya menyengat, juga masih keluar banyak asap. "Kalian merusak oven?"
"Anak nakal! Lo ngomong seolah-olah mamamu ini melakukan kesalahan besar!" Shana memukul kepala putrinya, karena Zoya memiliki ekspresi menuduh seolah-olah menyalahkan.
"Ye, kan memang rusak. Bahkan terbakar!" Zoya membela diri, dia malu karena mamanya memukulnya di depan tetangga barunya.
"Raksa, jangan dengarkan omongan anak ini!" Shana melihat ekspresi bersalah di wajah Raksa, pemandangan tersebut membuat Shana ikut tidak nyaman.
Raksa membungkukkan badannya. Berkali-kali memintanya maaf pada Shana maupun Zoya. Dia membuat kekacauan di hari pertamanya menjadi tamu.
Zoya melihat sikap sopan remaja itu dan merasa lebih buruk lagi. Pantas saja mamanya bersikap begitu, karena remaja di depannya memang memiliki sikap yang baik. Dan akhirnya dia juga tahu, kejadian sebenarnya tentang oven terbakar. Raksa berniat membantu mamanya, dan tanpa sengaja membuat oven terbakar. Sikapnya sopan, tapi tangannya agak mengerikan.
"Hah, kalian lanjutkan saja mengobrol. Aku akan naik ke atas!" Zoya tentu tidak mau terlibat dalam kekacauan. Setelah melangkahkan kakinya beberapa langkah, Zoya berbalik untuk melihat pada pemuda itu lagi. Jantungnya tiba-tiba berdebar kuat.
Pemandangan yang dilihat Zoya agak langka baginya. Dia seperti melihat mamanya sedang bergurau dengan anak laki-lakinya. Bagaimana bisa hubungan mereka bisa langsung bagus seperti itu? Bahkan mamanya tanpa canggung tertawa terbahak-bahak bersama remaja itu hanya karena gue yang gosong. Sedikit membuatnya cemburu, dalam artian yang positif. Selama hidupnya, itu pertama kalinya dia melihat mamanya tertawa seperti itu.
Melanjutkan langkahnya, Zoya merasa remaja itu terlalu misterius. Dia benar-benar merasa sangat akrab dengan wajahnya, dan setelah memikirkannya, ini memang pertemuan pertama mereka. Remaja dengan pakaian modis, sikap yang baik, dan memiliki ekspresi yang hangat. Zoya merinding saat memikirkannya.
Butuh perjuangan untuk melewati semua anak tangga dengan kondisi kakinya saat ini. Sangat disayangkan, lift di dirumahnya tidak bisa digunakan lagi. Jika pun ingin memiliki lift, mereka harus memasang yang baru.
"Besok kaki gue harus sembuh!" Zoya tidak sabar lagi untuk bisa tampil di catwalk, dia bahkan harus olahraga lebih banyak menjelang hari penting tersebut. Karena bentuk tubuhnya masih belum terlalu proporsional berdasarkan tingkat penilaiannya sendiri.
Merebahkan badannya di atas tempat tidur, Zoya melupakan sesuatu. Dia meninggalkan es krim di atas meja pantry. Membayangkan harus turun lagi untuk mengambilnya, Zoya memilih untuk tidak memakan es krim.
Ponselnya bergetar, Tisa mengirimi pesan. Temannya itu sedang pergi ke tempat les, dan karena keadaannya, dia ikut les secara daring. Dan sekarang lesnya hampir dimulai.
Bangkit dengan melawan rasa malas yang begitu besar, Zoya mengambil tongkatnya. Dia ingin pergi mencuci wajah dan berganti pakaian. Tidak menyenangkan kemana-mana dengan tongkat, bahkan dia merasa pegal pada lengannya yang memegang tongkat.
Melihat pantulan dirinya pada cermin, Zoya merasa bagian pinggulnya tidak terlalu bagus. Raut wajahnya juga masih terlihat begitu belia. Tidak heran jika dia menimbulkan kecemburuan pada teman-temannya di kelas modeling. Dia baru memulai sebagai junior, tapi telah mendapatkan kesempatan besar untuk maju di panggung catwalk. Jika dibandingkan, tentu mereka akan merasa lebih baik darinya. Tapi siapa yang bisa mengalahkannya, dia sudah pernah berjalan di panggung catwalk tingkat internasional. Jelas pelatihnya bisa melihat kemampuan besar pada dirinya.
Tok! Tok!
Zoya menyudahi mengamati dirinya sendiri, dan berjalan menuju pintu. Dia pikir itu mamanya yang membawakan makan siangnya. Tapi melihat sosok lain berdiri di depannya dengan wajah begitu ceria, Zoya tidak tahu harus berekspresi bagaimana terhadapnya.
"Kakak, kamu belum mulai les-mu bukan? Aku membawakan makan siang dan juga es krim!" Remaja itu langsung masuk melewati Zoya, menaruh nampan di atas tempat tidur. Tapi kemudian matanya mencari di sekeliling kamar tersebut, sesuatu yang bisa digunakan untuk meja.
Zoya merasa aneh, saat ada orang yang seusia dengannya memanggilnya dengan sebutan kakak. Meskipun dia pernah berusia tiga puluh tahun, tapi sekarang dia kembali menjadi Zoya di usia belasan. Sikap remaja itu juga sok dekat, padahal dia saja tidak tahu namanya.
"Kakak—," dia tidak melanjutkan ucapannya, karena Zoya sudah meraih buku di atas meja hendak memukulnya.
"Kenapa terus memanggil seperti itu? Dan kenapa Lo yang bawa makanan gue?" Zoya tahu mamanya pasti ingin dia berteman dengan tetangga baru tersebut, tapi ini terlalu cepat.
"Apa itu membuatmu tidak nyaman?" tanyanya dengan wajah terkejut dan bingung.
Melihat ekspresi remaja laki-laki itu, Zoya terbatuk kecil merasa sangat tidak enak. Seperti baru saja menyakiti hati remaja itu. Dan dia melihat ekspresi itu bukan hal yang dibuat-buat. Remaja sopan itu terlihat sedih.
"Ah bukan, kita bahkan belum berkenalan. Dan Lo tiba-tiba ada di kamar gue. Itu agak aneh!" Zoya berusaha menjelaskan, dia merasa untuk tidak ingin menyakiti perasaan remaja tersebut.
"Jonial Raksa! Kakak—ah tidak! Maksudku kamu bisa panggil aku Raksa. Kita bertetangga, aku akan sering main ke rumah ini. Karena aku tinggal sendirian, semoga kamu tidak keberatan!" Raksa memperkenalkan dirinya dengan sopan, dia hampir tidak bisa menahan rasa semangat.
"Ah, iya!" Zoya berusaha tersenyum, dia tidak pernah bertemu dengan orang yang begitu berterus terang seperti itu. Dan yang membuatnya aneh, meskipun mereka seumuran, Raksa seperti jauh lebih muda dan dia merasa seperti Zoya yang berusia tiga puluh tahun. Perasaan itu benar-benar aneh untuknya.
"Zoe Pyralis. Lo bisa panggil gue Zoya. Dan ayo duduk, makanlah es krim bersamaku!" Zoya merasa aneh ditatap seperti itu, karena remaja laki-laki itu seperti tidak ingin pergi dari kamarnya, menghilangkan rasa canggung, Zoya mengajaknya makan es krim. Kebetulan dia tidak akan makan es krim itu. Dia akan makan sisanya saja nanti malam. Dia agak terburu-buru untuk mengikuti les.
"Wah, kamu bisa pole dancing?" Raksa melihat tiang yang mencolok di ruangan tersebut.
"Ya! Untuk olahraga saja!" Zoya baru saja duduk dia atas karpet berbulu, setelah mengambil meja untuk meletakkan nampan. Dia tidak berniat menjelaskan, meskipun Raksa terlihat terkejut dan penasaran.
"Terimakasih!" Raksa mengambil es krim milik Zoya tanpa malu-malu. Tidak lupa juga mengucapkan terimakasih dengan tulus. Zoya hanya bisa tersenyum.
_