Tanpa tongkat

1197 Words
Zoya sedang belajar menapakkan kakinya di lantai, dia juga mencoba berjalan dengan tanpa tongkat. Bagaimanapun dia harus segera sembuh. Awalnya sangat sakit, tapi setelah beberapa kali mencoba, dia bisa menangani rasa sakitnya dan bahkan tidak terlalu sulit lagi untuk berjalan, meskipun pincang. Karena kakinya belum sepenuhnya bisa menahan berat badannya. "Hanya rasa sakit yang kecil, aku bisa mengatasinya!" Zoya berhenti begitu sampai di depan cermin, menatap pantulannya dengan pemikiran dalam. Menyentuh rambutnya, Zoya ingat sebelum berangkat ke acara pernikahan Lander dan Luna saat itu, dia juga berdiri di depan cermin sangat lama. Saat itu wajahnya menunjukkan keangkuhan dan kekosongan secara bersamaan. Sehingga terlihat begitu dingin tak tersentuh dalam keanggunan. Tapi meskipun begitu, dia sebenarnya memiliki banyak teman dari berbagai kalangan dan koneksi yang bagus di dunia permodelan. Semua designer terkenal pasti mengenalnya. Sedangkan yang berdiri di depan cermin sekerang ini adalah Zoya yang menunjukkan ekspresi wajah polos, kehangatan terpancar di matanya. Orang yang sama di waktu berbeda, menunjukkan perbedaan yang sangat signifikan. Masih tidak bisa dipahami kenapa dia kembali ke masa remajanya. Tatapannya kemudian beralih pada gelang cantik di tangannya. Itu seharusnya menjadi milik Luna. Wanita yang menusuknya dengan pisau. Menyentuh perut bagian atas, Zoya masih ingat letak dari tusukan itu. Apa maksud dari semuanya ini. Dia menerima kematian, jika memang akhirnya dia mati karena tusukan itu. Dia juga tidak membenci siapapun, termasuk Luna. Tapi, kenapa dia malah terlempar ke masa ini lagi? Merasakan sesak yang begitu menyakitkan, dan matanya juga mulai memanas. Dia bahkan tidak ingin menangisi apa yang terjadi padanya, tapi rasanya masih akan menangis. Menghirup napas dalam-dalam, Zoya mencoba menenangkan dirinya. Dia meyakinkan dirinya, bahwa pasti dia akan mengetahui alasan dari semua hal yang terjadi padanya. Tidak mungkin semua terjadi tanpa alasan. Apalagi, banyak hal yang berbeda dari apa yang telah dialaminya. Merapikan rambutnya, Zoya akan mencoba berjalan keluar kamar. Dia masih merasa sulit tanpa pegangan, tapi bukan berarti tidak bisa. Melelahkan terus mengandalkan tongkat. Butuh waktu agak lama, hingga dia akhirnya telah menuruni tangga. Saat itu, seseorang menyemangatinya. Orang itu adalah papanya yang selalu sibuk bekerja setiap hari. "Apakah sudah tidak terasa sakit?" Zian menghampiri putrinya, menyuruh putrinya duduk di anak tangga dan dia berjongkok untuk memeriksa kondisi kakinya. Zoya memperhatikan papanya dengan tatapan dalam, dia bahkan tanpa sadar tersenyum. Masa-masa sulit adalah ketika dia tiba-tiba harus merelakan papanya, orang yang selalu mendukungnya dan menjaganya. "Tidak sakit lagi!" Zoya berbohong, karena sebenarnya masih sakit. "Baiklah, besok setelah pulang sekolah, kita akan cek lagi ke dokter!" Zian menggendong putrinya menuju meja makan. Dia tahu putrinya telah berjuang keras untuk turun dari kamarnya. Shana saat itu baru saja kembali dan melihat keromantisan pasangan ayah dan anak tersebut. Ikut duduk di salah satu kursi, mendengarkan obrolan keduanya. "Mama dari mana?" Zoya memperhatikan senyum di wajah mamanya. Sangat jarang mamanya tersenyum seperti itu tanpa alasan. Shana tidak langsung menjawab, membiarkan suami dan anaknya melihatnya dengan tatapan penasaran. Baru menjawab setelah melihat salah satunya hampir merasa kesal. "Dari rumah Raksa. Mama sudah menceritakan tentang tetangga kita itu kan, Pa? Ternyata dia hanya tinggal sendiri!" "Mama mulai menganggapnya sebagai anak, papa akan terkejut saat melihat interaksi mereka!" Zoya menyahuti dengan cepat. Shana tertawa. "Lihat, anakmu mulai cemburu hanya karena aku menyukai anak itu. Anak nakal ini bahkan memerintah anak baik itu untuk mengambilkannya camilan! Benar-benar tidak sopan, untung saja Raksa tidak marah, dia anak yang sangat baik!" Zoya membuka mulutnya tak percaya. Bahkan baru sehari, Raksa sudah menjadi anak baik di mata mamanya. Dan dia, sudah langsung kalah begitu saja. Zian hanya tersenyum, tapi tangannya terulur untuk mengusap puncak kepala putrinya. Tidak mencoba menghibur putrinya, karena ini pertama kalinya istrinya begitu menyukai dan memuji orang lain. "Jangan katakan itu lagi, Mama hampir membuatku patah hati!" Zoya tidak bersungguh-sungguh mengatakannya, karena anehnya dia juga tidak merasa keberatan mamanya dekat dengan remaja laki-laki itu. Tidak bisa dipungkiri, dia merasa tidak asing dengan Raksa. "Jangan merasa patah hati, papa akan berada di pihakmu!" Zian mengatakan sambil tersenyum gemas, kemudian menggoda istrinya juga. "Ayo makan! Sayang, ayo siapakan makanan untuk kami. Atau kami akan merasa diabaikan oleh kasih sayangmu pada tetangga baru kita!" Mereka makan bersama malam itu. Malam yang terasa hangat hanya dengan tiga orang. Mereka saling melengkapi seolah-olah tidak ada hal lain yang bisa menyakiti mereka. Si sebuah rumah, seseorang berdiri di balkon, menghadap ke rumah sebelahnya. Tersenyum begitu lebar, sampai meneteskan air mata. Perasaan haru bercampur sedih. — Pagi itu Zoya seperti biasa menunggu Lander datang menjemput. Karena laki-laki itu sudah bilang akan datang. Padahal dirinya juga sudah mengatakan tidak perlu datang lagi. Meskipun masih berjalan pincang, dia mulai bisa berjalan tanpa tongkat. "Sayang, kamu tidak berangkat bersama Raksa? Dia mendaftar di sekolah yang sama denganmu! Ini hari pertamanya!" Shana membawakan bekal dan memasukkan ke tas Zoya. Kotak bekal itu sangat kecil, hanya berisi daging, telur dan sawi rebus. Memutar bola matanya, Zoya hampir merasa marah sekarang. Mamanya terus saja membicarakan tentang Raksa. "Meskipun bertetangga, bukan berati kita harus berangkat bersama. Lagipula kita belum menjadi teman!" "Bagaimana bisa mengatakan seperti itu. Raksa anak yang baik dan sopan. Dia akan sakit hati jika mendengar ucapanmu barusan!" Shana menegur putrinya dengan memukul pelan kepalanya. Menyentuh bekas pukulan yang tidak begitu sakit, tapi membuatnya kesal. Zoya tidak tahan lagi dengan kasih sayang mamanya itu. "Mama angkat saja dia jadi anak. Dan lupakan putri nakal ini!" Melangkahkan kakinya menuju gerbang, Zoya tidak tahan lagi jika mendengar mamanya terus membicarakan tentang tetangga baru yang sopan itu. Baru beberapa langkah, dia mendengar teriakan mamanya, membuat ujung bibirnya sedikit terangkat. Zoya hanya menunggu sebentar di depan pagar rumahnya, setelah itu ada taksi berhenti di depannya. Seseorang menurunkan kaca jendela memunculkan wajah dengan ekspresi bosan, setelah saling bertukar tatapan, baru kemudian laki-laki itu membukakan pintu untuknya. "Apa yang lo lakuin?" Zoya kaget saat tiba-tiba Lander menyentuh kakinya. Laki-laki itu membuka sepatunya, bahkan kaos kakinya. Mengambil sesuatu dari tasnya, kemudian menempelkan perban di kakinya. "Lo kan bisa ngomong dulu. Gue kaget!" Zoya memperhatikan saat Lander dengan hati-hati memakaikan perban elastis di kakinya. "Meskipun sudah membaik, ini pertama kalinya Lo ke sekolah pakai sepatu dan berjalan tanpa tongkat. Dan ini akan menjadi terakhir kali untuk gue jemput lo, maka tanggung jawab gue selesai!" Lander mengatakannya sambil menatap mata Zoya, dia menurunkan lagi kaki Zoya setelah memakaikan kembali kaos kaki dan sepatunya. Zoya tidak bisa berkata-kata, dia speechless, karena Lander memakaikan kaos kaki bahkan sepatu untuknya. Dan karena laki-laki itu membawa perban elastis untuknya, artinya laki-laki itu peduli padanya. "Ikutlah olimpiade, kandidat pengganti tidak begitu fasih dalam debat. Kita akan kalah!" Lander mengatakannya, padahal Zoya kemarin sudah mengatakan tidak akan ikut apapun alasannya. "Kalian berangkat besok kan? Anak itu sudah belajar keras, kenapa Lo ingin menghentikan usahanya tanpa memberinya kesempatan untuk mencoba?" Zoya memprotes si ambis Lander, karena menurutnya laki-laki itu hanya mementingkan kemenangan, tanpa mau menghargai usaha orang lain. "Apa sih mau Lo?" Lander bertanya dengan tatapan tajam, karena menurutnya Zoya hanya sedang bermain-main. Ikut olimpiade tidak akan merugikannya, bahkan bisa memberikan prestasi untuknya dan sekolah. "Gue ada rencana lain. Dan waktunya juga bertepatan. Olimpiade berlangsung selama tiga hari. Itu waktu yang berati untuk gue!" Zoya sebenarnya tidak mau menanggapi, tapi dia tidak suka ditatap seperti itu. Lander memalingkan wajahnya, dia sudah malas untuk bertengkar lagi dengan gadis itu. _
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD