Zoya akan ambil nilai ulangan harian susulan. Jadi sedari pagi dia membaca beberapa hal penting yang harus dia ingat.
"Kamu emang udah gak capek lagi?" Raksa memakan rotinya, sambil memperhatikan Zoya yang makan sambil membaca buku.
"Gue harus ambil nilai, lagian bentar lagi kita ujian akhir!" Zoya berhenti mengunyah, melirik pada Raksa sebentar, kemudian melanjutkan kunyahannya.
"Gurumu bilang, kamu bisa ambil nilai bergantian, tidak harus sekaligus hari ini!" Shana sudah menelpon gurunya Zoya, tentang keadaan Zoya yang kelelahan setelah fashion show kemarin.
Zoya mengangguk mengerti. "Jangan khawatir, aku pintar!"
Shana dan Raksa hanya tersenyum saja. Mereka tidak perlu khawatir, Zoya selalu tahu apa yang dilakukannya. Hanya saja, terkadang Zoya agak memaksakan diri.
"Sayang, minum vitaminmu!" Shana memberikan botol vitamin Zoya. Putrinya itu kemarin tampak pucat, tapi kini sudah ceria lagi.
"Ma, papa akan pulang kapan?" Zoya sudah bicara dengan papanya semalam, tapi dia lupa menanyakan kapan papanya pulang.
Shana tahu Zoya merindukan papanya. "Dia akan membawa beberapa buku nanti!"
"Papa selalu membawa buku, padahal aku belum tentu membacanya!" Zoya menggelengkan kepalanya, papanya selalu membawakan oleh-oleh buku.
Shana menepuk puncak kepala Zoya pelan. "Karena dia menyukai buku. Jangan mengeluh!"
Raksa hanya menjadi pendengar seperti biasanya. Dan tiap kali melihat interaksi mereka, dia selalu merasa sebagai penjahat.
—
Zoya sudah mengambil nilai pada satu mata pelajaran, kini dia sedang bersiap untuk dua pelajaran selanjutnya. Semua soal SMA memang terasa familiar di ingatannya, tapi dia bukan seorang jenius yang bisa mengingat pelajaran dua belas tahun lalu. Jadi jika tidak belajar, dia tetap tidak akan bisa mengerjakan soal.
Tisa memberikan semangat dengan membawakannya potongan buah Apel dari rumah. Mereka memakannya bersama. Meskipun begitu, Tisa juga tidak menggangu konsentrasi belajar Zoya. Dia sibuk sendiri dengan ponselnya.
"Bentar lagi masuk. Gue mau lanjut belajar di perpustakaan!" Zoya menutup wadah Apel memberikannya pada Tisa, dia membawa bukunya pergi keluar kelas.
"Semangat, sayang!" Tisa berteriak, karena Zoya sudah hampir mencapai pintu.
Zoya membawa bukunya menuju perpustakaan. Saat baru saja turun dari lantai dua kelasnya, dia melihat Raksa sedang bermain voly dengan teman-temannya. Tersenyum, Zoya ikut senang melihat tawa anak itu.
Raksa juga baru melihatnya. Dia melambaikan tangannya pada Zoya. Karena hal tersebut, temannya dengan sengaja melemparkan bola ke arahnya dan mengenai lengannya. Mereka menggodanya.
Zoya tertawa melihat kejahilan mereka. Dia melanjutkan langkahnya menuju perpustakaan. Biasanya di jam pelajaran perpustakaan akan kosong, Zoya akan memanfaatkan waktu itu.
Ternyata di perpustakaan benar-benar tidak ada siapapun. Bahkan guru jaga juga tidak ada. Zoya melewati tempat duduk yang tersedia, dan malah memilih duduk di lantai.
Ponselnya bergetar, Zoya melihat pesan masuk di ponselnya. Ternyata dari Elen. Pesan itu berisi pemberitahuan tentang acara peragaan busana fashion week. Elen menanyakan apakah dia bisa datang untuk ikut serta dalam acara tersebut.
"Waktuku bersama papa tinggal sebentar lagi. Aku tidak akan bepergian jauh darinya!" Zoya memasukkan kembali ponselnya, dia berniat menolak tawaran tersebut.
Menyembunyikan wajahnya, Zoya sedikit merasa takut. Tiap kali dia mengingat kejadian itu, dia masih merasakan sakit. Bagaimana dia bisa kembali merasakannya lagi?
"Lo di sini untuk tidur?" Lander datang dengan ekspresi datar di wajahnya, kemudian ikut duduk di sebelah Zoya.
"Kenapa ke sini? Bukannya udah masuk jam pelajaran?" Zoya menyembunyikan perasaannya, dia tidak mau memperlihatkan ketakutan di hatinya.
Lander mengambil buku yang tergeletak di lantai. Buku pelajaran bahasa Indonesia, mata pelajaran yang dipilih Zoya selanjutnya untuk mengambil nilai ulangan. "Gue akan bantu Lo belajar!"
"Sebenarnya gak perlu sih!" Zoya benar-benar merasa hal tersebut tidak perlu, karena dia bisa menanganinya sendiri.
Lander membuka buku itu dan memberikannya ke tangan Zoya. "Tentang majas, Lo hanya perlu memahaminya. Contohnya juga gak perlu dana kayak di buku. Ambil contoh dari keseharian di sekitar Lo aja!"
"Oh jadi nanti disuruh kasih contoh juga!" Zoya membuka materi tentang majas. Ada berbagai macam majas, dan dia juga sudah membacanya tadi. "Seperti personifikasi, contohnya: buku-buku seakan menemaniku dalam keheningan!"
"Yah, seperti itu. Tidak perlu mengambil contoh yang terlalu rumit!" Lander mengajarkan dengan baik.
Zoya mengangguk mengerti. Dia kemudian menatap Lander dengan sinis. "Pantas saja!"
Lander tentu tidak suka dengan tatapan Zoya. "Apa?"
"Lo pinter banget sarkasme dan mengejek gue dengan hiperbola. Lo pasti belajar banyak dari majas!" Zoya memiliki tatapan menyipit penuh tuduhan.
Tertawa jahat, Lander tidak mengelak. "Gue bahkan langsung praktek ke Lo, kan?"
"Jahat, jangan hina seseorang dengan penggunaan majas. Karena saat Lo menggunakan kata terbaik untuk menyakiti orang. Lo sering ejek gue pakai majas hiperbola dan sarkasme!" Zoya masih ingat betapa menyebalkannya Lander padanya.
Lander menepuk kepala Zoya, dan tetap meletakkan tangannya di sana. "Lo mau gue pakai majas eufimisme agar tidak terdengar kasar dengan makna yang sama. Atau Lo bisa juga bales gue dengan litotes!"
"Ogah! Gue males gunain otak gue buat mikir!" Zoya tidak habis pikir, ternyata genius memang mengerikan.
"Sebenarnya beberapa orang tidak sadar, dalam kesehariannya, mereka biasa menggunakan majas. Kayak ibu-ibu kompleks yang suka menyindir tetangganya, mereka hampir selalu menggunakan majas yang ada!"
Zoya mengerutkan keningnya. "Lo tahu kebiasaan ibu-ibu kompleks? Gak semuanya gitu, mama gue gak gitu!"
"Karena mama Lo adalah istri dari Zian Pyralis. Lo gak tahu aja, betapa kerasnya hidup bertetangga. Saat anaknya gagal, seorang ibu harus menahan hinaan dari sekelilingnya, bahkan mungkin tetangganya sendiri, atau keluarga besarnya!" Lander ingat tentang ucapan ibunya, di Jogja saudara dari ibunya terus mengatakan kalau dia anak durhaka, karena mementingkan sekolah, padahal bapaknya sedang sakit.
Ibunya bilang agar dia tetap fokus dengan sekolah, tapi di sisi lain bapaknya mewanti-wanti agar dia tidak jadi melanjutkan pendidikan ke luar negeri, untuk meneruskan bisnis keluarga. Itulah yang menyebabkan orang-orang berpikir dia anak yang egois. Padahal dirinya hanya korban. Seorang anak yang harus menggagalkan impiannya sendiri, demi keinginan orangtua, itupun masih dianggap tidak peduli oleh orang lain.
"Gue emang gak tahu, tapi Lander apa Lo lupa, setiap orang selalu punya masalahnya masing-masing!" Zoya sangat tidak suka jika dibanding-bandingkan. Karena keadaan setiap orang berbeda, bukan berarti lebih baik, karena pasti ada permasalahan lainnya.
"Lanjutkan belajar lo!" Lander mengambil buku cerita di rak depannya. Kebetulan buku yang waktu itu dia ambilkan untuk Zoya juga.
"Lo gak apa-apa di sini? Sebenarnya gue gak apa-apa loh kalo sendirian!" Zoya agak merasa akward. Lander seperti seorang kekasih yang memastikan kekasihnya bisa dalam ujian. Pipinya memerah karena pemikiran tersebut.
Lander tidak merespon, dia fokus pada buku yang dibacanya. Meskipun sebenarnya dia mendengar ucapan Zoya.
Guru juga sebenarnya tidak menyuruh Lander untuk membantu Zoya. Tapi dia yang mengajukan diri, kebetulan guru juga menaruh percaya penuh padanya. Sehingga dia mudah mendapatkan izin untuk bolos kelas hari itu.
Lander sangat jarang mau mengobrol dengan teman sekelasnya, kecuali penting. Dia hanya memiliki beberapa teman, tapi juga tidak banyak bicara dengan mereka. Akan tetapi, akhir-akhir ini dia mulai sering mengajak Zoya mengobrol, dan tidak terlalu sering berkata kasar lagi pada gadis itu.
Zoya mengambil nilai setelah tiga puluh menit belajar ditemani Lander. Dia merasa setiap soalnya cukup mudah, bahkan ada senyum lebar setelah dia menyelesaikan ujiannya.
Lander menunggui di luar ruangan guru. Laki-laki itu membawa buku cerita tadi dan masih membacanya. Saat Zoya keluar, dia bisa melihat rasa percaya diri dari gadis itu.
"Selanjutnya, fisika. Lo les privat di pelajaran itu, bukan?" Raksa pikir jika Zoya ambil kelas tambahan di luar sekolah, pasti bukan masalah lagi untuknya.
"Hem, gue udah belajar. Tinggal pahami lagi aja!" Zoya tidak merasa kesulitan di pelajaran tersebut.
"Ayo, balik lagi ke perpustakaan!" Lander berjalan meninggalkan Zoya.
"Gak usah, Lo balik aja ke kelas. Gue bisa belajar sendiri!" Zoya tidak mau terlalu lama bersama Lander, atau mungkin dia akan terbiasa.
Lander tidak mendengar dan terus berjalan menuju perpustakaan. Dia bahkan tidak sedikitpun menoleh.
"Lander, kan buku fisika gue masih di kelas!"
"Di perpustakaan juga ada buku paket!" jawab Lander masih tidak menghentikan langkahnya.
Zoya cemberut. Dia jadi pusing sendiri jika Lander terus mengikutinya. Apakah ini yang dulu Lander rasakan saat dia terus menguntitnya. "Argh sial!"