Menemukan jalan lain

1027 Words
Penantiannya berakhir sia-sia, Tisa tidak pernah datang lagi ke rumah sakit. Dia juga tidak bisa masuk ke ruangan VIP yang selalu dijaga ketat. Sangat mustahil mendapatkan informasi tentang pasien VIP tersebut yang terhubung dengan Tisa. Artinya dia harus mencari cara lain, agar bisa menemukan Zoya. Dia tidak lagi penasaran tentang pasien di ruangan VIP. Seperti yang dikatakan dokter Alam, dia tidak boleh mengganggu pasien lain. Di sebuah lorong rumah sakit, Raksa sedang duduk, dia memegang buku sketsa. Melihat-lihat hasil gambarannya beberapa hari ini, senyumnya terukir, saat dia melihat gambaran sosok gadis cantik. Zoya, nama yang akhir-akhir ini selalu terngiang di kepalanya. Bayangan wajahnya juga tak bisa dia hilangkan dari ingatannya. Hatinya berdebar tiap kali mengingat sosok Zoya dalam mimpinya. "Kakak, kapan kita akan bertemu lagi!" Senyum terukir di bibirnya, tapi air matanya jatuh. Tidak pernah benar-benar bertemu, tapi kenapa dia begitu merindukan sosoknya?  Saat dia sedang begitu merasa sedih, tiba-tiba dia mendengar sebuah pertengkaran. Dari suaranya, seharusnya tidak jauh dari posisinya saat ini. Mendengarnya membuatnya ingat tentang orangtuanya. Terakhir kali dia melihat kedua orang tuanya menjenguk bersamaan, mereka bertengkar hebat. Jadi setelah itu, Raksa meminta mereka datang secara terpisah. Meskipun akibatnya malah mereka jadi jarang mengunjunginya di rumah sakit ini. Terutama papanya, yang sekarang dikabarkan sedang terjerat kasus korupsi.  Bangkit dari duduknya, Raksa mencoba mencari tahu siapa ya sedang bertengkar. Karena dia mulai mendengar suara tangis. Dia tidak berniat ikut campur, hanya saja cukup penasaran.  Berjalan sebentar, di belokan dia melihat sepasang orang dewasa sedang berdiri berhadapan. Si laki-laki terlihat tidak peduli, sedangkan wanita yang memakai jas dokter itu terlihat sedang menangis.  "Apakah aku mulai berhalusinasi?" Raksa bertanya lirih pada dirinya sendiri, karena dia mengenali laki-laki itu.  "Tidak mungkin salah, bukan?" Raksa memastikan dengan berjalan lagi beberapa langkah, tapi langkahnya sangat pelan. Agar tidak diketahui oleh sepasang orang dewasa di depannya.  Terjatuh ke belakang, Raksa kaget saat Laki-laki itu tiba-tiba menoleh ke arahnya. Menatapnya dengan tajam, seolah-olah memberitahu kalau keberadaannya mengganggu. Tapi bukan itu yang membuatnya terkejut, tapi karena dia benar-benar mengenali laki-laki itu. Meskipun hanya dalam mimpi, tapi seperti saat dia melihat Tisa, dia bisa mengenali sosok Lander. Itu benar-benar Lander, pria yang disukai oleh Zoya. Tidak, sepertinya Lander juga memiliki perasaan yang sama pada Zoya.  "Lander!" Dokter Luna memanggil, dia mencoba untuk tidak terisak, apalagi ada seorang pasien yang melihat pertengkarannya dengan Lander barusan.  Lander pergi tanpa mempedulikan panggilan dari Luna. Sekilas, dia sempat kembali melirik pada seorang pemuda yang masih terduduk di lantai memandanginya dari jarak cukup jauh. Dia buru-buru pergi. "Lander, aku benar-benar tidak tahu keberadaannya!" Luna berteriak.  Luna mencoba mengejar langkah Lander. Dia menghapus jejak air matanya, agar tidak ada yang melihatnya habis menangis. Meskipun Lander sudah berada cukup jauh darinya, dia mencoba mengejarnya. Kesalahpahaman akibat dari tindakan cerobohnya hari itu, membuat Lander menjadi sosok yang paling membencinya.  Di sisi lain, Raksa masih melebarkan matanya. Dia memegang erat buku sketsanya. Sungguh, dia tidak menyangka akan melihat satu orang lagi yang bisa dia kenali dari mimpinya. Sungguh kebetulan aneh. "Ini mudah, artinya jika bukan melalui Tisa, aku bisa mencari tahu melalui Lander!" Raksa tersenyum sangat lebar, dia tidak menyangka orang-orang yang dulu berada di sekitar Zoya, sekarang juga ada di sekitarnya. "Mimpi itu pasti adalah petunjuk, aku akan menemukan Zoya. Setidaknya, sebelum mati, aku akan bertemu dengannya!"  Selagi Raksa sedang merasa menemukan jalan lain, seseorang melihat Raksa dengan gelengan kepala. Bagaimana anak itu malah duduk di lantai dan terlihat sedang melamun.  "Apakah kau sangat bosan berada di ruanganmu. Hingga memilih duduk-duduk di lantai lorong rumah sakit?" Fikar akan menunju ke kantin, tapi malah menemukan salah satu pasien dokter Alam dalam posisi aneh.  "Bantu aku!" Raksa baru merasakan sakit di pantatnya, dia mengulurkan buku sketsanya, dan mencoba berdiri sendiri.  "Ada apa? Beberapa hari ini kau murung, tapi sekarang aku melihat senyum begitu lebar di wajahmu?" Fikar memperhatikan jika suasana hati Raksa juga berubah. Anak itu terlihat bahagia.  Raksa mengambil bukunya kembali. Dia melihat dokter Fikar sebagai target pertama untuk memperoleh informasi tentang dokter Luna. Jika apa yang dikatakan dokter Fikar tentang Dokter Luna yang gagal menikah karena tunangannya membatalkan pernikahan, maka mungkin itu adalah Lander. Jika analisisnya benar, maka dia bisa menemui Lander melalui dokter Luna.  "Dokter akan ke kantin?"  "Hem!" Dokter Fikar agak takut melihat seringaian remaja itu, jadi dia buru-buru berjalan pergi. Tapi sayangnya Raksa malah mengikuti langkahnya.  "Kenapa dokter terburu-buru, bagaimana jika kita mengobrol. Aku sangat bosan!" Raksa mengikuti dokter Fikar.  "Kenapa, biasanya kau tidak suka bicara denganku!" Fikar memberikan tatapan penuh curiga. Karena tidak biasanya, Raksa seperti itu. Biasanya anak itu lebih peduli dengan kesibukannya sendiri. Di kejauhan, Dokter Alam baru saja selesai dari ruangan laboratorium di lantai satu, saat naik ke lantai dua dengan tangga, dia melihat Raksa dan dokter magang menuju kantin. Mereka terlihat sangat akrab. "Apa dokter ingin istirahat makan?" Perawat yang mengikuti dokter Alam melihat dokter Alam terus melihat ke arah jalan menuju kantin.  "Tidak, aku akan makan beberapa menit lagi setelah mengecek hasil pemeriksaan!" Dokter Alam melanjutkan langkahnya menuju lift untuk naik ke lantai lima. "Baik!" Perawat itu mengerti. Dia sudah lama mengenal dokter Alam, karakternya tegas yang dianggap beberapa orang agak pemarah. Padahal jika sudah mengenalnya, hanya satu hal yang perlu dilakukan, tidak lalai.  Hari itu dokter Alam sangat sibuk, dia mempelajari banyak kasus dari pasien kanker yang telah dinyatakan sembuh. Karena ada beberapa hal yang mengganjal di pikirannya. Meskipun dia banyak mempelajarinya selama ini, selalu ada kasus baru dan kondisi baru yang mengharuskannya kembali mempelajari beberapa hal.  Karena terlalu sibuk, dia baru bisa pulang setelah petang. Tapi sebelum pulang dia memutuskan untuk mengecek kondisi pasiennya Jonial Raksa. Remaja laki-laki itu tidak memiliki keluhan hari ini, dan kondisi tubuhnya tidak mengalami penurunan. Artinya obat bekerja dengan baik.  Tapi saat dia datang ke ruangan rawat Raksa, pasiennya itu sudah tertidur. Terlihat begitu lelah, tapi wajahnya tidak sepucat sebelumnya.  Mengambil buku sketsa dari atas tubuh pasien, dia hampir tergoda untuk melihat isinya. Tapi dia ingat, menggambar adalah cara Raksa mengekpresikan diri dari kebosanan menjalani hari-hari di rumah sakit. Dia pun urung melakukannya, menghargai privasi pasiennya. Menaruhnya di atas meja, dia kemudian menyelimutinya.  Merasa sangat lelah, dia langsung berjalan keluar dari ruangan rawat Raksa. Berpikir sebaiknya dia segera pulang. Hari esok masih menunggunya untuk kembali bekerja keras. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD