Luka yang berasal dari pikirannya

1302 Words
Saat pertama kali membuka matanya, yang pertama dilihatnya adalah Raksa. Laki-laki itu masih menggunakan kemeja sekolah, tapi seperti biasanya selalu terlihat rapi dan tetap keren. Juga wajah tampannya yang selalu terlihat bersih. "Kakak tersenyum? Tidakkah seharusnya kakak bertanya sedang dimana, dan apa yang terjadi sebenarnya?" Raksa mengomel sambil mengambilkan minum untuk Zoya. Senyum Zoya semakin lebar. "Lo kebanyakan nonton film! Gue tahu ini rumah sakit!" "Aku hampir mati karena cemas!" Raksa membantu Zoya untuk duduk dan minum. Setelah menaruh gelas kembali ke meja, Raksa membantu menyisihkan poni Zoya agar lebih nyaman. Wajahnya tidak lagi terlihat pucat, bahkan kulitnya terlihat sangat bagus. "Berhenti menatap. Gue udah gak apa-apa!" Zoya menyentuh perutnya yang tidak lagi terasa sakit. "Dokter bilang apa tentang kondisi gue?" Tidak langsung menjawab, Raksa masih menatap gadis di depannya. Mengulurkan tangannya memberikan usapan pada puncak kepalanya. Baru kemudian menjawab, "Kamu cuma kelelahan!" Yang sebenarnya, Dokter memang mengatakan semuanya normal, tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan adanya masalah pada tubuh Zoya, selain kekurangan cairan (Dehidrasi). Meskipun beberapa kali Lander terus mengatakan pada dokter untuk mengecek bagian perut Zoya. Dia itu bersikeras Zoya memegangi perutnya sebelum pingsan. Raksa tidak mau membuat Zoya bingung, jadi dia mengatakan kalau Zoya kelelahan. Dia yang mengantarkan Zoya periksa kondisinya malam itu, dan sama seperti yang dikatakan dokter tadi, Zoya tidak mengalami masalah dengan organ dalamnya, juga tidak ada tanda-tanda adanya kelainan. Semuanya normal. "Lander ada di luar. Dia membaca buku, ternyata benar kata anak-anak. Lander emang jenius, dia meredakan paniknya dengan membaca buku!" Raksa merasa takjub, untuk pertama kalinya dia melihat ada orang yang seperti itu. Disaat orang-orang mulai malas membaca buku, ada orang seperti Lander yang gemar membaca buku. "Hah? Kenapa dia panik?" Zoya hanya pingsan, seharusnya laki-laki itu tidak perlu panik. "Entahlah, katanya dia marah-marah karena ruang kesehatan kosong, kemudian terburu-buru membawa kamu ke rumah sakit dengan naik mobil temannya. Kata Tisa, Lander bahkan tidak mau meninggalkan rumah sakit, saat yang lainnnya akan kembali ke sekolah!" Raksa hanya menyampaikan apa yang dikatakan Tisa, karena dia datang setelah jam pelajaran terakhir selesai. Dia tidak mendapatkan izin meninggalkan sekolah, karena ada ujian. Zoya melirik ke arah pintu. Dia mencoba mengabaikan tentang Lander. "Lalu, Tisa dimana? Dia sudah pulang?" "Hem, dia tadinya akan menjagamu sampai sadar, tapi karena aku datang, dia memutuskan untuk pulang dan akan datang lagi nanti sore!" Raksa merogoh ponselnya, dia hendak mengabari Tisa kalau Zoya sudah sadar. "Mama dan papamu akan kembali Siang ini. Pihak sekolah yang mengabari tentang kondisimu!" Raksa juga ingat untuk mengabari orangtua Zoya tentang kondisi Zoya sekarang. "Lo udah bangun?" Lander baru saja masuk ruangan, dan agak terkejut melihat Zoya sudah sadar. Tapi kemudian agak kesal, karena Raksa tidak memberitahunya. "Lo belom balik?" Zoya memperhatikan seragam sekolah yang masih dikenakan Lander. Berbeda dengan Raksa yang terlihat rapi, Lander terlihat agak berantakan. Ujung bajunya sudah keluar dan rambutnya yang lepek. "Hem!" Lander melirik tajam pada Raksa yang masih berkutat dengan ponselnya. Padahal di luar dia masih gelisah, tapi laki-laki itu dengan santainya bermain ponsel tanpa lebih dulu memberitahunya kalau Zoya sudah sadar. Zoya melirik pada buku di tangan Lander. Itu buku filsafat yang dulu pernah mereka cari bersama di perpustakaan. Ternyata Lander belum selesai membacanya. Orang serius Lander sangat cocok dengan buku bacaannya. "Makasih udah bawa gue ke rumah sakit!" Zoya tahu Lander orang yang tidak memiliki kepedulian pada orang-orang di sekitarnya. Laki-laki itu sangat individualisme, dengan peduli dengannya saja itu sudah hal berbeda dari Lander. Mau mempedulikan wanita yang selalu ditolaknya, karena cantik. Lander sangat jauh dari Lander dalam ingatannya. "Lo pasti seneng. Tapi gue tolongin Lo, karena saat itu gue yang berada paling deket dengan posisi Lo!" Lander tidak mau menunjukkan wajahnya, dia bahkan langsung mengambil tasnya yang diletakkannya di atas sofa. Kemudian memasukkan bukunya ke dalamnya. Raksa mengerutkan keningnya, dia melirik Lander sedang tatapan tajam. Kalimat macam apa itu? Bagaimana bisa laki-laki mengatakan hal seperti itu pada seorang wanita? Saat akan menegur Lander, tangan Zoya menyentuh lengannya. Zoya menunjukkan senyum tipis dan menggelengkan kepalanya. Memintanya untuk tidak terpengaruh oleh kalimat kejam Lander. Zoya tidak merasa sakit hati, karena diingatannya bahkan Lander selalu mengatakan hal yang lebih kejam padanya. Jadi, dia tidak lagi terganggu dengan kata-kata seperti itu. "Gue akan inget pertolongan Lo ini. Makasih ya, Gading Lander Paciano!" Lander mengedipkan sebelah matanya, menggoda Lander yang memang sedang melihat padanya. Lander langsung kembali membuang muka. Meskipun dulu Zoya memang selalu menggodanya dan berusaha mengambil perhatiannya, tapi akhir-akhir ini sudah lama tidak. Jadi digoda seperti itu membuatnya agak malu. "Gue mau balik!" "Jangan!" "Jangan!" Lander dan Raksa berbicara bersamaan. Raksa bahkan menahan tangan Zoya yang sudah akan mencabut selang infus di pergelangan tangannya. Untung saja reaksi Raksa cukup cepat, karena telat satu detik saja selang infus itu pasti sudah tercabut. "Dokter akan datang untuk mengecek kondisi Lo lebih dulu!" Lander buka suara, dan dari nada suaranya dia terlihat agak kesal. Tadi dokter bingung, saat Lander mengatakan Zoya pingsan setelah terlihat kesakitan pada bagian perutnya. Karena dokter tidak menemukan adanya masalah dengan perut Zoya. Pasien juga tidak kunjung sadar, dokter meminta perawat memasang infus, karena kondisi Zoya yang kekurangan cairan. Dokter akan mengecek kondisi Zoya lagi dan menanyakan beberapa pertanyaan padanya setelah sadar. "Gue akan panggil dokternya dulu!" "Gue aja!" Raksa langsung mendahului Lander berjalan menuju pintu. Dia akan memberitahukan pada dokter tentang pemeriksaan yang sebelumnya telah dilakukan oleh Zoya. Dan berniat membicarakannya lebih lanjut nanti dengan orangtua Zoya juga. Jadi, sementara ini dia akan meminta dokter bekerjasama dengannya, untuk tidak membuat pasien menjadi gelisah. "Dia sangat kekanakan!" Lander berkomentar. Tersenyum, Zoya sebenarnya setuju dengan Lander. Raksa sebenarnya laki-laki yang polos, sangat jauh jika dilihat dari penampilannya yang selalu keren, juga sikap sopannya yang mencerminkan kedewasaan. Tapi dari sanalah Zoya merasa Raksa adalah satu-satunya laki-laki baik yang pernah dia lihat seumur hidupnya. "Dia hanya laki-laki baik!" Zoya memperbaiki kata-kata Lander. "Lo tertarik padanya?" Lander biasanya tidak peduli dengan urusan orang lain, hanya saja dia tiba-tiba seperti merasa tersaingi. Tidak tahu dalam hal apa, karena bahkan dia juga tidak mengerti dengan apa yang baru saja dikatakannya. Atau kenapa dia mengatakannya? "Mungkin, kenapa tidak? Dia sangat perhatian, baik, tidak pernah berkata kasar, yang paling penting sangat tampan!" Zoya mengatakan kebenaran, tapi kata tertarik yang dia katakan bukan seperti yang Lander pikirkan. "Oh!" Lander merespon dengan acuh tak acuh. "Kamu terlihat seperti orang yang cemburu!" Zoya tiba-tiba jadi ingin menggoda Lander, melihat ekspresi wajahnya yang menyebalkan. "Jangan terlalu percaya diri!" Lander berdecak, tapi dia malah melangkah mendekati Zoya. "Tapi kamu ada di sini. Tentu aku akan merasa percaya diri!" Zoya membalas tatapan Lander. Keduanya cukup dekat sekarang. Jadi karena saling menatap, suasananya jadi lebih aneh. Keheningan menambah akward keduanya yang terlanjur malu untuk lebih dulu berpaling. "Ahh!" "Ada apa?" Lander melihat Zoya menyentuh perutnya, jadi secara reflek dia menaruh tangannya di atas tangan Zoya dengan panik. Saat itu Zoya tiba-tiba merasa rasa sakitnya langsung bertambah berkali-kali lipat. Bahkan dia sampai tidak bisa bersuara. Tapi rasa sakit itu juga membawa ingatan yang hampir dia lupakan. Tepat di bagian rasa sakit itu adalah tepat dimana pisau Luna tertancap. Dan keadaannya juga hampir sama, Lander orang yang ada di dekatnya saat dia jatuh, setelah tusukan itu. Kini Zoya tahu kenapa dia merasakan sakit, tapi Dokter tidak bisa menemukan masalah dari rasa sakitnya. Mungkin karena luka itu memang berasal dari pikirannya. Apakah karena dia terlalu menikmati mengulang masa mudanya, hingga rasa sakit itu untuk mengingatkan bagaimana dia bisa sampai pada masa ini? Siapa yang bisa menjawabnya? Karena dia sendiri bahkan belum tahu alasannya kembali ke masa lalunya dan menjadi remaja usia belasan lagi. Apakah ini mimpi yang akan berakhir, atau kesempatan seperti yang dia pikirkan selama ini. Atau juga hukuman, karena dia selalu menginginkan kematian? Apa yang sebenarnya terkejut padanya? Kenapa? padahal dia mulai menikmati keanehan yang terjadi pada hidupnya ini. "Zoya!" Lander berteriak, dia mencoba membangunkan Zoya dengan menepuk pipinya, meneriakkan namanya, tapi Zoya tidak juga membuka matanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD