Alam sedang membuang sampah, dia melihat saat Zoya baru saja turun dari mobil. Gadis itu memiliki wajah sedikit bengkak di bagian bawah matanya, masih terlihat meskipun sedikit tertutupi oleh kacamata.
Dia memperhatikan laki-laki bernama Raksa yang terlihat begitu perhatian pada Zoya. Sedikit rasa cemburu, karena ada seseorang yang bisa sedekat itu dengan Zoya. Laki-laki biasa saja sepertinya tentu saja tidak bisa.
"Zoya!" Seseorang memanggil Zoya.
Alam ikut melihat siapa yang memanggil Zoya. Ternyata itu Lander. Dia tersenyum pedih dan langsung berbalik pergi. Gadis cantik seperti Zoya, selalu dikelilingi laki-laki hebat. Dia tidak seharusnya menatap pada Zoya. Memendam perasaan kagum saja sudah sangat menyakitinya.
Zoya meminta Raksa untuk pergi lebih dulu ke kelas. Sedangkan dia berjalan menghampiri Lander, laki-laki itu membawa beberapa tumpukan buku, Zoya sudah tahu Lander pasti ingin memintanya membantu.
"Abis nangis!" Lander memberikan dua buku untuk Zoya bawa, sedangkan sisanya tetap dia bawa sendiri. Karena dia sebenarnya juga tidak butuh bantuan, tapi karena melihat Zoya, dia ingin dibantu.
Zoya tidak menjawab, dia hanya menunduk dan mulai berjalan. Jika terlihat sangat jelas, seharusnya tidak perlu ditanyakan. Sangat akward mendapatkan pertanyaan seperti itu.
"Kenapa? Apa ada yang gangguin lo?" Lander sangat penasaran, dia juga merasa tidak nyaman.
"Gue abis nonton film!" jawab Zoya sambil menampilkan senyum tipis.
"Terus nangis? Cengeng!" Lander merasa lega mendengar alasan Zoya.
Zoya tahu Lander sengaja meledeknya. Tapi dia sedang tidak ingin membalas ledekannya. Melihat ke sisinya, memperhatikan wajah Lander. Laki-laki bertubuh tinggi, tegas, cerdas, dan juga seorang ketua basket. Dia tidak heran jika dulu sangat bucin padanya. Melupakan sikap menyebalkannya, memujanya secara buta.
"Kenapa? Suka?" tanya Lander yang menyadari Zoya tengah memperhatikannya.
Zoya kembali melihat ke depan. Dia tersenyum mendengar pertanyaan Lander. "Lo itu ternyata sangat percaya diri ya!"
"Iya dong, gue selalu percaya diri. Apapun yang gue lakukan, yang gue katakan, dan kemampuan gue. Jadi, Lo mau tarik omongan Lo, kalau Lo udah gak suka lagi sama gue?" Lander bersikap sombong seperti biasanya.
Zoya tak percaya Lander benar-benar sepercaya diri itu. "Kalau aja dulu gak tolak gue, karena sekarang gue gak suka lagi sama Lo. Wle!" Zoya berlari meninggalkan Lander. Dia sangat puas bisa membalas Lander.
Lander tidak percaya gadis itu benar-benar sengaja meledeknya. Tapi bukannya kesal, dia malah tersenyum. Melihat senyum Zoya dengan wajah habis menangis benar-benar tidak bagus. Dia tidak tahu apa alasan sebenarnya yang membuat Zoya menangis. Tapi dia tahu, Zoya bisa menghadapinya.
—
Tisa tahu Zoya habis menangis. Dan ini pertama kalinya dia melihat wajah Zoya sampai bengkak begitu. Tapi karena Zoya tidak mau mengatakan alasannya, dia juga tidak memaksa.
"Kemaren kemana? Kok gak bales pesan gue?" Tisa tahu Zoya sangat jarang buka pesan, tapi setidaknya Zoya akan membalas di hari yang sama.
"Gue ketiduran dari sore. Lagian kalo penting banget, Lo bisa telpon!" Zoya paling menyayangi temannya itu. Tisa nantinya adalah satu-satunya teman yang setia menemaninya. Teman yang selalu bisa mengerti dirinya.
Tisa berdecak, "Telpon juga kadang gak Lo angkat!"
"Ya berarti gue lagi sibuk!"
Keduanya jadi saling diam. Tisa kembali melanjutkan mengisi soal, sedangkan Zoya juga memeriksa hasil kerjaannya. Karena guru sedang ada urusan, kelasnya hanya diberi tugas mengerjakan soal.
Melihat ke arah depan, Lander terlihat sedang membaca buku filsafat. Laki-laki itu pasti sudah selesai dari tadi. Dan dia tidak mengerti, Lander begitu tertarik dengan buku filsafat seolah-olah sedang membaca buku cerita.
Tisa akan mencontek jawaban nomor Lima punya Zoya. Saat ternyata Zoya sedang memandangi punggung Lander. Sungguh, sangat sulit percaya jika Zoya tidak lagi menyukai Lander. "Eh, kemaren katanya Lander ditembak lagi sama adik kelas kita. Tapi lagi-lagi Lander menolaknya. Heran, cowok itu sukanya cewek kayak apa sih!"
"Benarkah? Wah, kayaknya mereka ikutin jejak gue. Ditolak sama Lander!" Zoya malah menjadikannya lelucon.
"Kayaknya tipe dia itu cewek pintar!" Tisa berpendapat.
Zoya malah menertawakannya. "Gue pernah cukup pintar, ikut les dihampir semua mata pelajaran. Tapi nyatanya, gue tetep cewek cantik di mata Lander. Bahkan Lo gak inget dulu ada kakak kelas pinter, juga ditolak sama Lander!"
"Iya, ya. Lo sebaiknya nyerah aja deh, Zo. Fokus ke karir aja, bisa botak lo kalau ngikutin standar Lander!" Tisa menganggap Lander sangat mengerikan.
"Iya, enggak. Gue akan jadi Zoya apa adanya. Tapi mungkin sekarang dia yang suka sama gue!" Zoya tersenyum setelah mengatakannya. Kemudian melanjutkan ucapannya dalam hati. "Karena mungkin ini mimpi!"
"Zo, gak usah ngelantur. Sini, gue liat jawaban Lo!" Tisa mengambil buku Zoya dan membawanya ke mejanya sendiri.
Zoya memilih untuk menumpukan kepalanya di atas meja. Memejamkan matanya. Dia berjanji akan mulai menikmati masa-masa ini. Dulu dia mungkin marah, dan tidak mau hidup, jika banyak orang terus direnggut darinya. Sekarang dia mencoba memahami konsep hidup, menikmati setiap momen. Jika pun ternyata dia mati, dia telah menghargai setiap momen.
Dia akan belajar mengingat setiap momen, dari pada menghitung kehilangan. Bukankah kehilangan adalah bagian dari memiliki. Dia memiliki keluarga yang hebat, mama dan papa yang begitu menyayanginya. Dia tidak pernah kesulitan untuk mendapatkan sesuatu yang dia inginkan, kecuali Lander tentunya.
Zoya tertidur. Saat jam istirahat, Tisa juga tidak membangunkannya, dan memperingatkan teman-teman di kelasnya untuk tidak berisik, terutama yang akan tetap berada di kelas. Tidak ada yang boleh menganggu, kemudian dia sendiri pergi ke kantin, dia akan membelikan Zoya makanan.
Alam menjadi satu-satunya yang masih di kelas. Dia juga biasanya menggunakan waktu istirahat untuk tidur. Karena saat ambil kerja lembur, waktu tidurnya sangat sedikit. Tapi sekarang, dia tidak bisa tidur.
Dia bukan laki-laki kurang ajar, tapi dia masih seorang pengagum. Pindah duduk di kursi yang paling dekat dengan Zoya, dia memperhatikan Zoya yang tidur dengan posisi membelakangi. Karena kepala Zoya miring menghadap tembok.
Bisa sangat dekat dengan orang yang dikaguminya, Alam merasa puas. Sungguh, dia pikir Zoya layak memiliki kehidupan yang sempurna. Karena meskipun memiliki orangtua kaya raya, memiliki karir yang bagus, Zoya tetap humble.
Saat Alam masih hanyut dalam perasaan, tiba-tiba seseorang berdiri menghalangi pandangannya. Dia mendongak, melihat orang itu adalah Lander.
"Pergilah!" perintah Lander dengan suara lirih, dia memberikan tatapan tajam pada Alam.
Alam merasa kesal juga malu. Lander memang orang yang menyebalkan, dia tidak pernah menyukainya. Bahkan dia juga memilih untuk tidak bicara dengannya.
Lander seorang laki-laki, dia tahu arti tatapan Alam. Meskipun alam tidak bersikap buruk, tapi tetap saja dia marah. Seolah-olah Zoya telah dilecehkan melalui tatapannya.
Menendang meja Zoya. Raksa memang sengaja ingin membangunkannya. Gadis itu kini jadi terbangun dan terlihat kesal.
"Apa sih?" Zoya benar-benar kesal. Dia bahkan kaget tadi.
"Temenin gue cari buku ke perpustakaan!" Lander sudah memegang tangan Zoya, tidak membiarkannya menolak.
Zoya agak terkejut, dia sudah berdiri, tapi enggan untuk melangkahkan kakinya. Dia masih ingat, terakhir kali saat bersama Lander, dia kesakitan dan tidur cukup lama.
"Ayo!" Lander mengajak dan masih memegang tangan Zoya.
Zoya meyakinkan dirinya, untuk tidak memikirkan apa yang terjadi di masa depan. Mungkin di setiap kali dia bersama Lander, dia tanpa sengaja menekan pemicunya. Dan berakhir dengan kesakitan, pada luka tusukan Luna yang seharusnya ada di perutnya.
"Kenapa harus sama gue sih. Kan Lo bisa sendiri!" Zoya mengomel, tapi pada akhirnya masih mengikuti langkah Lander.
Alam melihat gadis yang dikaguminya dibawa pergi oleh laki-laki lain. Dan dia juga melihat Lander sempat melirik ke arahnya. Sungguh, dia benci karena benar-benar seperti pecundang.