Zoya memeluk mamanya yang masih ngambek, gara-gara dia masih kekeh untuk pergi ke London. Masalahnya selain pemotretan dia juga ikut runway, belum lagi penyesuian baju.
"Mama, ini jalan yang bagus. Zoya dipilih menjadi model muda dan berbakat. Nanti, mama dan papa bisa dateng buat liat Zoya. Sulit loh mah, punya kesempatan bagus kayak Zoya!" Meyakinkan mamanya, Zoya tahu tidak akan mudah.
Shana memperhatikan wajah putri cantiknya. Dia hanya merasa ini terlalu cepat. Zoya memang bilang ingin berkarir dan belajar lebih awal tentang dunia permodelan, tapi tiba-tiba dia merasa tidak siap, saat Elen menelponnya dan mengatakan akan mengajak Zoya bergabung dalam tim untuk musim ini.
Seperti hei, bukankah putrinya bahkan baru mulai kemarin. Tapi kenapa sudah melangkah sejauh ini? Rasanya seperti jika dia tidak menarik tangan putrinya, maka dia akan melepaskannya terbang jauh.
"Bagaimana mungkin Elen mempercayai kamu. Bahkan Kamu baru ikut kelas modeling dan baru sekali ikut runway. Pemotretan juga baru beberapa kali. Bagaimana bisa?" Tanpa menutupi rasa takutnya, Shana khawatir jika nantinya Zoya diremehkan di sana. Karena memang Zoya masih belum banyak belajar tentang dunia modeling. Bagaimana jika Elen tiba-tiba memulangkannya, putrinya pasti akan kecewa. Dia merasa kemapuan putrinya belum cukup untuk tampil bersama para model kelas profesional.
"Udah Zoya bilang, Zoya berbakat. Kenapa mama tidak percaya?" Zoya sedikit merengek, bisa-bisanya mamanya tega meragukannya.
"Okay, asalkan mama ikut kamu!" Shana tidak mungkin membiarkan putrinya tanpa pengawasan darinya.
Zoya tersenyum, "Mama mau apa? Ikut juga nanti Zoya tinggal bareng para model lainnnya. Mama ke sana pas Zoya akan runway aja bareng papa. Okay?"
"Mama gak bisa percaya!" Shana melihat putri satu-satunya itu akan berjuang meniti karir sendiri, rasanya dia melihat Zoya masih terlalu kecil.
"Nanti Zoya bawa manager. Dia bakal bantu urusin keperluan Zoya dan jaga Zoya di sana. Jangan khawatir!"
Sejujurnya Zoya sangat menikmati momen ini. Dulu dia memulai karirnya saat masa kuliah, dan mamanya sibuk bekerja mengurus perusahaan. Hingga akhirnya perpisahan abadi memisahkan mereka, Zoya terbiasa melakukan semuanya sendiri. Tidak ada lagi yang mengkhwatirkannya. Tidak seperti sekarang, dia merasa suasananya jauh berbeda, dan keadaannya juga. Dia sangat senang.
"Sayang!" Shana memeluk putrinya. Yang lebih tidak dia percaya, putrinya sangat pemberani. Langkah yang diambilnya dan caranya menanggapinya, layaknya orang yang sudah dewasa. Sangat tenang. Zoya bukan seperti seorang anak yang merengek ingin mewujudkan impiannya. Tapi dia lebih seperti seorang anak yang sudah tahu impiannya sendiri dan cara meraihnya.
Hari ini Zoya pergi ke sekolah seperti biasa, sembari mengurus izinnya. Meskipun semuanya sudah dilakukan oleh papanya, tapi ada beberapa hal yang harus dia bicarakan dengan guru mapel.
"Udah selesai?" Tisa sudah tahu Zoya akan ke London.
"Hem, sebenarnya hari ini juga gue udah bisa balik. Nanti malam gue berangkat. Doain lancar ya, Tisa!" Zoya memasukkan buku tugas yang baru dibagikan, dia akan memakan bekalnya, saat dia merasa orang-orang di sekitar terlihat memperhatikan dengan ekspresi agak sulit dijelaskan.
"Apa Lo liat-liat!" Tisa memarahi kumpulan anak laki-laki yang kompak melihat pada Zoya.
Zoya sendiri mencoba untuk tidak mempedulikan. Dia membuka kotak bekalnya, melihat mamanya membawakannya potongan daging panggang dan roti.
Orang-orang melihat pada ponsel mereka, Tisa sangat peka, dia juga langsung melihat pada ponselnya. Saat membuka grub kelas, ternyata mereka sedang membahas tentang hal tidak baik. Tisa memejamkan matanya menahan amarah, kemudian mengirimkan pesan ke grub. Mereka sedang membicarakan foto editan yang melecehkan Zoya.
Tisa pikir seharusnya mereka tidak menjadikannya candaan. Itu hanya foto editan, dimana ada model wanita tanpa pakaian yang diedit wajahnya dengan wajah Zoya. Meskipun tahu editan, tapi mereka terpengaruh dan berpikir Zoya juga akan melakukannya. Orang-orang yang tidak menyukai Zoya dengan sengaja menyebarkannya.
"Zoya …," Tisa menunjukkan foto itu pada Zoya.
Zoya yang sedang makan sampai tersedak. Dia minum dan buru-buru mengecek pada ponselnya sendiri. Benar-benar tindakan yang tidak bermoral. Zoya pikir anak-anak tidak bisa menjadikan hal ini sebagai candaan.
"Ayo kita lapor ke guru!" Tisa sangat tidak terima. Tindakan ini sudah melebihi tingkat bullying dan bisa juga disebut pelecehan.
Zoya terdiam, dalam ingatannya, dulu dia selalu dipuja dan disukai. Tidak pernah ada yang terlalu menunjukkan kebencian padanya, bahkan banyak orang berpendapat dia orang yang menyenangkan. Karena dia saat itu hanya fokus untuk mencari perhatian Lander, dia benar-benar ingin terlihat sebagai pribadi yang paling menarik. Tapi kenapa sekarang banyak orang membencinya? Kadang mereka juga memujanya secara bersamaan. Apakah karena dia mengubah kisahnya jadi semuanya jadi ikut berbeda?
"Biarkan aja, gue bakal lapor papa gue!" Zoya bukan orang baik. Dia tidak suka ada yang menyenggolnya apa lagi melecehkannya.
"Gitu doang?" Tisa pikir lebih baik jika dilaporkan pada guru.
"Hem, papa gue mungkin akan laporkan pada polisi. Jika memang mereka masih dengan sengaja menyebarkan foto editan itu untuk melecehkan gue!" Zoya tersenyum lebar, meskipun dia sebenarnya hampir menangis.
Titik lemah seorang wanita adalah ketika kehormatannya dipermainkan. Bahkan saat dulu dia runway dengan bikini, tidak ada yang menertawakannya dengan cara melecehkan seperti sekarang. Mungkin karena pada situasi saat ini mereka masih anak remaja.
Zoya benar-benar mencoba mengabaikan permasalahan di sekolah. Karena itu hanya foto editan, itu bukan dirinya. Zoya bahkan mencoba menghibur dirinya sendiri agar tidak menangis saat orang-orang melihatnya dengan cara aneh. Ayolah, dia dulu tidak terlalu peduli ada yang membicarakannya. Sekarang dia juga seharusnya begitu.
Saat pulang sekolah, Zoya tidak meminta di jemput. Dia naik taksi untuk pergi ke tempat les dan mengumpulkan soal. Hanya sepuluh menit, dia sudah keluar dari tempat lesnya dan akan pulang.
Berjalan-jalan, Zoya masih belum ingin pulang. Saat ini, pasti mamanya akan menanyakan banyak hal tentang foto itu. Karena guru pasti sudah memberitahukan. Sedangkan papanya pasti akan menunjukkan wajah penuh kekhawatiran. Bukan seperti ini yang dia inginkan. Dia ingin menjadi model, karena ingin menunjukkan bakatnya, dan menunjukkan kesuksesannya lebih awal pada orangtuanya. Karena dulu dia tidak sempat melakukannya.
Mampir ke cafe tempat dia membeli coffee beberapa hari lalu. Pemilik toko sedang sendirian melayani pelanggan, dan dia mengenalinya.
"Kamu datang lagi? Mau pesan apa?"
"Cappucino!" Zoya melihat pemilik toko itu tersenyum seperti menahan tawa.
"Apakah ada yang lucu?" Zoya memperhatikan penampilannya, meskipun sedang sedih, tapi dia terlihat baik-baik saja.
"Kamu sengaja datang ke sini dengan masih mengenakan seragam SMA?" Pemilik toko yang juga sedang melayani itu tersenyum merasa lucu. "Maaf, apakah kamu masih marah?"
Zoya mengingatnya. Dia tersenyum, mengingat saat dia merasa kesal karena dianggap sudah anak kuliahan. "Kalau begitu berikan aku roti gratis. Aku kan sudah kembali lagi!"
"Baiklah, kamu mau roti apa?" tanyanya sambil memberikan cup coffee cappucino. Dan akan memberikan roti gratis.
"Ini!" Zoya memilih. Kemudian dia melihat sekitarnya. "Bolehkah aku memakannya di sini?"
"Boleh dong. Kursi memang disediakan untuk pelanggan!"
Zoya memilih tempat duduk yang paling dekat jendela. Menyantap roti itu dengan lahap. Menahan kekesalan dan tangis membuatnya sangat lapar.