Dante membawa King kembali ke ruang rawat inap, enggan jika sampai pria tersebut mengalami syok berat akibat apa yang menimpa hari ini. Dia baru saja tersadar dari tidur panjang, dua hari terpejam rapat karena efek bius. Ditambah kemunculan para polisi yang tiba-tiba menggeledah rumah, lalu menemukan benda-benda aneh di kediamannya.
Kakek tua itu pun sedang mengerahkan pasukan, mencari dalang di balik semua yang terjadi. Namun, demi menjaga identitas King sesungguhnya, mereka menahan diri untuk tidak membuat pencarian begitu jelas. Cukup menjadi Kacung di mata semua orang, apalagi polisi sudah turun tangan.
“Jangan melakukan pergerakan apa pun, tetap tenang dengan identitas palsu. Setelah hasil laboratorium keluar dan kondisimu stabil, tuan meminta kami untuk mengirimmu pulang. Milan sudah kondusif, saatnya membalas dendam.” Max mengatakannya setelah mereka tiba di ruang khusus, penuh penjagaan ketat.
Mereka ingin membuatnya tidak ketara, tetapi menempatkan King dalam ruang paling elite di rumah sakit ini. Tentu saja sangat mencurigakan, naïf sekali! Laki-laki itu hanya melepas kancing pakaian yang diberikan pihak rumah sakit.
“Apa yang kamu lakukan?” tanya Max melihat sang putra majikan sedang melakukan hal tak seharusnya, “jangan bertindak liar, ini bukan Milan.”
King tak menggubris, pakaian sudah terlepas. Otot-otot bisep terlihat jelas, menonjol di beberapa bagian depan tubuh. Sedikit kurus, tetapi kebidangan masih tetap. Pria itu menyapu pandangan, lalu terhenti di wajah Dante.
Tato yang selama ini disembunyikan jelas terlihat, menunjukkan wajah hewan licik nan buas. Hyena, predator yang sangat cerdik. Perebut mangsa dari binatang ganas lainnya.
“Berikan senjataku.” King meminta dengan nada datar, dia harus bergerak cepat sebelum kembali ke Milan. Mencari Betrand Prayogi, instingnya menuju pada pria itu sebagai salah satu dalang di balik penusukan Belva.
“Jangan bertindak ceroboh, polisi mengawasimu. Identitas palsu itu akan menolong sampai kita benar-benar berhasil memulangkanmu.” Max masih memberikan penegasan sambil menggerakkan kepala, tetapi satu lesatan cepat terjadi.
King tak terbaca, dia sudah meletakkan tangan kanan di leher sang pengacara. Cengkeraman kuat itu terasa sangat nyata, sakit. Max hanya berusaha mengambil napas sebanyak mungkin, tergelepar dengan tubuh terangkat naik.
“King, rileks. Kita bicarakan semuanya dengan kepala dingin, jangan melakukan apa pun.” Dante mencoba menenangkan, dia menggeleng saat dua orang masuk setelah mendengar keributan. Percuma, mereka akan terbunuh jika berani mengusik.
“Berikan sanjataku atau dia akan mati.”
“Oke, lepaskan dia. Pakaian dan senjatamu akan berikan, tapi tidak sekarang. Keamanan di rumah sakit ini sangat ketat, apalagi polisi sedang mengawasi kita. Ada yang menjebakmu atas kasus Belva.” Kalimat ini membuat King melunak, dia melepas leher Max yang langsung terbatuk.
Memegangi leher yang terasa panas, lalu melonggarkan dasi yang dikenakan. Wajah itu pucat, tetapi langsung menuju meja untuk mengeluarkan berkas yang sudah dikumpulkan. Dante membimbing King duduk.
“King, para preman itu sudah kami amankan. Mereka sama sekali tak terlibat dengan kelompok yang sedang mencoba menjebakmu.” Max mengeluarkan tablet, menggeser beberapa gambar untuk ditunjukkan.
Ada foto celana dalam Belva, terdapat bercak darah. Kemudian, jubah hitam mirip jas hujan juga terlihat kotor. Hanya saja, tanpa saja senjata yang digunakan untuk menghabisi nyawa korban.
“Jelaskan tentang pembunuhan berantai di kota ini,” ujar King sambil bersandar malas, “juga jangan melewatkan apa pun yang kualami selama ingatan menghilang.”
“Mereka menyebutnya Hundred Days Hunter, pemburu gadis lajang yang akan menusukkan benda berkarat di bagian tubuh tertentu. Korban pertama, ditemukan dalam kondisi membusuk di gorong-gorong pada di pertengahan Juli. Namun, waktu kematian diperkirakan terjadi sebelum itu. Dia melakukannya lagi setelah seratus hari kemudian.”
King mengernyit, dia mendengarkan dengan saksama. Jika memang tanggal 1 Juli 2019 dijadikan patokan kemunculan sang pemburu, artinya beberapa pekan setelah dirinya diungsikan ke pulau ini. Dia tiba di Bali pada bulan Juni di tahun yang sama, begitulah penjelasan Dante.
Kebetulan yang sangat akurat, terjadi hal yang mengganjal. Polisi dan media mengatakan Belva sebagai korban keenam yang berhasil selamat, tetapi Max menunjukkan data lain terkait pembunuhan tersebut. Jika gadis SMA tersebut memang diserang oleh HDH, dia bukan korban keenam.
“Kalian yakin jika korban pertama memang ditemukan pada Juli 2019?” tanya King sambil memerhatikan foto jenazah yang sudah tak dikenali karena membusuk cukup parah, “bagaimana dengan kasus sebelum penyerangan Belva, apa ada korban dengan kodisi serupa?”
“Data polisi sepertinya sudah dimanipulasi, Adrian dipanggil karena kasus ini semakin meresahkan para petinggi. Pelaku cerdas, memperhitungkan setiap momen yang telah dipilih. Semua dipersiapkan dengan matang.”
Jika itu bulan Juli, artinya lebih dari enam orang yang telah terbunuh hingga saat ini. Kenapa polisi hanya mengatakan enam korban? Seharusnya akhir Mei terjadi kasus serupa, apa mereka melewatkan banyak hal?
“King, akhir Mei terjadi kasus serupa. Namun, pihak kepolisian menyangkalnya sebagai bagian dari pembunuhan berantai.” Dante menjelaskan sambil memperlihatkan temuan di jejak digital, menunjukkan gambar tak jauh berbeda dengan apa yang ada dalam tablet milik Max.
“Jadi, dia mengawasiku untuk mengecoh polisi. Sampah macam apa yang berani menyeret nama King ke dalam kasus rendahan seperti itu?” gumamnya sembari menyeringai, tetapi keseriusan mereka terganggu oleh bunyi sirene rumah sakit. Code Black!
“Gadis itu …?” King langsung melompat tanpa peduli dengan peringatan Max agar berhati-hati, ada kamera pengawas di setiap sudut ruangan.
“Dokter Hans, matikan semua CCTV!” perintah sang pengacara dengan panik sambil mengerahkan semua orang untuk mengejar King, “now!”
Dia pun langsung bergegas, menyusul King yang sudah tak terlihat. Siapa yang melakukan ancaman pembunuhan di rumah sakit elite ini? Bagaimana jika ternyata bukan Belva tujuannya?
‘King, kenapa kamu gegabah sekali!’ rutuk Max kesal karena harus melakukan banyak hal untuk putra Hertigan Graventos, pria berdarah dingin tersebut memang sealu memiliki temperamen buruk. Hanya saja, kenapa harus peduli terhadap nasib gadis SMA yang bukan siapa-siapa?
Max terpekur melihat King mematung di tempat, ada Nenek Sri dalam dekapan sang pria. Beruntung Dante berhasil membujuk untuk mengenakan pakaian rumah sakit kembali, jika tidak maka tato di lengan kanan akan menegaskan siapa pria tersebut. Selama ini identitas itu tertutup rapi oleh lengan kemeja panjang, sang kakek tidak akan pernah mengizinkan Kacung berpakaian lengan pendek dengan alasan alergi.
“Nenek hanya mengambil obat ini, tapi laki-laki itu ….” Kalimatnya tak terselesaikan karena isakan tangis mendominasi, King menepuk-nepuk punggung wanita tua tersebut. Namun, mata mengawasi tim medis yang sedang berlarian menyelamatkan Belva.
Jadi, ini bukan kasus kebetulan, memang ada yang sedang mencoba membunuh Belva? Apa yang gadis itu ketahui? King melihat seorang perawat terluka di bagian telapak tangan.
“Dia yang menyelamatkan Nenek?” tanya King sambil menyerahkan tubuh wanita yang mengalami pendarahan cukup parah di bagian kepala, membentur sudut meja yang ditempati tanaman hias.
“Iya, kalau bukan karena perawat datang tepat waktu, kami mungkin sudah tewas.” Penjelasan ini masih dengan nada bergetar, tentu saja sangat ketakutan.
“Are you okay?” tanya Dokter Hans yang terlihat panik mendapati King ada di kerumunan, “apa yang terjadi?”
“Berikan rekam medis milik anak SMA itu, lalu pindah dia ke tempat paling aman di rumah sakit ini.” Bukannya memberikan jawaban, King justru mengamatti layar monitor yang bergerak normal.
Pria itu bersyukur, tetapi lirikan mata menandakan keseriusan atas ucapan yang baru saja terlontar. Dokter Hans segera bergerak, menuju ruang Belva dirawat. Berbicara sejenak dengan dokter lain yang menangani pasien.
Sang lelaki beralih menatap Max, pria itu mengangguk. Paham dengan langkah yang harus diambil, sang pengacara dengan cepat menyelinap. Menarik seorang perawat yang tengah terluka.
King melihat bentuk luka yang terdapat di telapak tangannya, bukan karena menahan serangan. Namun, sengaja dilukai. Dia harus mendapatkan informasi.
***