“Aku akan mempercayaimu, tapi pastikan kamu menghabisi pelaku yang membuat cucuku menjadi begitu.” Nenek Sri akhirnya menjatuhkan pilihan dengan menjadi sosok yang berdiri di sisi King, entah kenapa naluri mengatakan untuk membuat keputusan demikian.
Wantia tua tersebut justru meyakinkan Adrian agar tak membawa pria yang berura-pura kembali menjadi Kacung, mendadak merasa begitu percaya terhadap laki-laki yang telah dikenal sebagai sosok menyedihkan. Namun, sekarang menjelma sebagai pria sejati dengan keberanian paling mengejutkan, sang nenek menunggu apa yang sedang dijanjikan.
“Saya memang tertutupi emosi sesaat, percaya pada fitnah. Namun, apa pria seperti dia sanggup melakukan hal buruk pada Belva? Bapak lihat sendiri, Kacung bahkan tak akan sanggup membunuh seekor lalat.” Nenek Sri berkata dengan lancar, menunjukkan sikap yang cukup meyakinkan.
Adrian hanya menyipitkan mata, mencurigai apa yang dikatakan oleh pria yang disebut Kacung tersebut. Siapa dia sesungguhnya? Kenapa semua barang bukti ada di kediaman Dante?
Namun, jika dilihat lebih jelas, tubuh kurus itu tak terawat. Bahkan, rambut gondrong dengan beberapa bekas luka di wajah. Hanya satu hal yang mencurigakan, kenapa Dokter Hans terlihat begitu melindunginya?
“Nenek Sri benar, Kacung tidak melakukan apa pun. Dia yang menemukan Belva di pinggir hutan, kami datang saat mereka tak sadarkan diri.” Florist datang tergesa-gesa bersama Dante, perempuan muda tersebut sudah mendapatkan arahan dari sang kakek.
Dante meminta Flo untuk menceritakan kisah palsu, bersaksi untuk Kacung. Sekalipun dirinya merasa aneh dengan aksi heroik lelaki dengan keterbelakangan mental itu, tetapi hanya patuh terhadap perintah pria tua tersebut. Dia melakukannya demi kebaikan kedua korban, para premanlah yang salah.
“Bagaimana kalian bisa memastikan identitas orang itu?” tanya Adrian masih belum sepenuhnya percaya dengan penjelasan dua perempuan berbeda generasi tersebut, “tunjukkan kartu tanda pengenalnya.”
“Oh, ini kartu tanda pengenal cucu saya, Pak.” Dante langsung memberikan KTP milik Kacung, Adrian menyambar sembari memeriksa identitas yang tertera pada kartu tersebut.Sukacung, lahir di Denpasar pada tanggal 8 Septemper 1994.
Dia segera mengambil gambar tanda pengenal, mengirim ke kantor pusat untuk memeriksa nomor identitas. Hanya menunggu kurang dari lima menit, terverifikasi. Akurat!
“Apa sudah meyakinkan jika dia bukan pelakunya, Tuan Detektif?” Pertanyaan ini menggerakkan kepala semua orang, Max Callibur melenggang dengan santai sembari menunjukkan wajah serius ke arah Adrian.
‘Max Callibur? Kenapa dia ada di sekitar pria aneh itu? Dokter Hans juga, ada apa dengan laki-laki yang terlihat memiliki aura kuat tersebut?’ Adrian menerka-nerka dalam benak, bukan satu kebetulan jika dua nama besar tersebut berada di rumah sakit dengan waktu bersamaan.
Siapa lelaki gondrong itu? Secara fisik, dia memang memiliki ciri-ciri sesuai dengan karakter visual pembunuh berantai. Namun, nenek korban menegaskan jika Kacung mustahil melakukannya.
“Sejak kapan tim khusus menjadi begitu naïf?” Lagi-lagi Max melontarkan kalimat penuh sindiran pada Adrian, “apa karena kasus Tato membuat insting detektifmu melemah, Kapten?”
“Kami bergerak sesuai prosedur, Tuan Pengacara. Ada surat resmi juga karena bukti akurat ditemukan di rumah kakek ini, semua mengarah pada laki-laki itu.” Adrian menjelaskan sembari memandang Max yang hanya tertawa halus, lalu sang pengacara mengeluarkan sesuatu dari dalam tas kerja.
“Pengadilan mengeluarkan penangguhan, Kacung bukan tersangka karena dia memiliki alibi kuat berdasarkan laporan tim forensik. Korban percobaan pembunuhan, Belva Auristela tertikam lebih lama dari waktu keduanya bertemu. Anda bisa memeriksa laporannya, lalu tentang darah dan DNA laki-laki itu berada di tubuh korban … bukankah itu wajar jika jejak penolong tersisa di tempat?” Max menjelaskan panjang-lebar sembari mengeluarkan surat resmi dari pengadilan, dia mendapatkannya dengan mudah melalui koneksi terpercaya.
“Lalu, bisa dijelaskan dengan luka-luka yang didapat laki-laki itu?” tanya Adrian masih menyelidik karena merasa ada sesuatu yang lebih besar di balik keterlibatan pengacara kondang dalam kasus ini, “kenapa dia terluka, siapa yang melakukannya?”
Max hanya menyungging senyum sembari mengeluarkan kembali kertas dalam amplop coklat lain, “Ini perjanjian rahasia antara kami sebagai kuasa hukum Kacung dengan para pelaku penganiayaan, dia menjadi korban karena memiliki gangguan mental. Jadi, demi menjamin keselamatannya setelah keluar dari rumah sakit, kami setuju untuk berdamai. Namun, syaratnya harus merahasiakan identitas mereka.”
Tentu saja semua yang keluar dari mulutnya sangat masuk akal, dia seorang pengacara kondang dengan sepak terjang tak tertandingi selama ini. Adrian mendengar kisahnya dari banyak polisi, Max dikenal sebagai oknum yang bisa membela siapa pun. Termasuk pelaku kejahatan tingkat berat, itulah kenapa laki-laki tampan tersebut dipercaya oleh gubernur daerah setempat.
King yang berada di posisi sebagai Kacung hanya bisa menunduk, memain-mainkan ujung sandal rumah sakit. Dia hanya perlu menunggu polisi keras kepala itu pergi, tetapi dalam diam berpikir mengenai siapa di balik kejadian tersebut. Kenapa melibatkan dirinya?
Apa di Negara ini ada yang mengenali dirinya sebagai putra mahkota Klan Hyena? Jika itu tentang Klan Jaguar, apa Black Wolf ada di sini? Bagaimana jika memang selama ingatan tidak sedang berada di tempat, justru diam-diam mereka mengawasi?
King mulai mencurigai adanya para pengkhianat, bagaimana jika itu Dante? Laki-laki tua yang sangat diandalkan oleh sang ayah, bahkan dipercaya menjadi orang tua pengganti. Sedikit keterlaluan kalau dia meletakkan praduga keliru pada sosok tersebut.
Bagaimana jika Max? Ah, King mulai memiliki banyak sekali kemungkinan-kemungkinan buruk dalam menemukan siapa dalang di balik kemalangan Belva. Dia baru bisa bernapas lega saat Adrian dan rombongan menjauh.
“Jangan menarik kembali ucapanmu, aku melakukannya karena polisi tidak lebih baik dalam menangani kasus orang kaya.” Nenek Sri membuat King langsung menoleh, dia mengerutkan kening ketika mendengar dua suku kata terakhir.
“Nenek mencurigai sesuatu?” tanya King sambil menarik pelan tubuh wanita renta tersebut, menjauhkan dari yang lain. Sebab, dia hanya ingin mendapatkan informasi penting seorang diri.
“Belva bilang kalau orang yang mengencingi kepalamu mencurigakan, dia bermaksud menemukan kelemahannya. Kurasa dia mengikuti sosok yang dimaksud, ini jelas karena gadis naïf itu sangat mengasihimu sampai-sampai harus berakhir begini.” Lagi-lagi penjelasan Nenek Sri membuatnya kebingungan, sebagian ingatan ketika menjadi Kacung lenyap seiring munculnya kenangan masa lalu.
Siapa orang itu? Apa dirinya sangat menyedihkan sampai diperlakukan layaknya anak kucing terlantar? Berani sekali dia melakukan hal tersebut?
“Kenapa kamu masih menemui wanita dari toko bunga itu?” hardik sang nenek dengan bisikan tak suka dengan kehadiran Flo di antara mereka, “bukankah kalian sudah berjanji tak akan lagi berurusan dengannya karena insiden terakhir kali?”
Kembali wajah King membeku dengan raut masih menunjukkan ketidakmengertian, “Perempuan itu dan aku, lalu cucu Nenek?”
“Iya, kamu lupa?” tanya Nenek Sri sedikit heran dengan tingka aneh Kacung sekali lagi, “kamu menyukainya seperti orang gila, selalu menguntit ke mana pun dia pergi. Parahnya, Belva selalu mencarimu karena khawatir, lalu terjadi hal menjijikkan itu.”
“Aku dikencingi?” King mencoba memberikan tebakan, tetapi gelengan sang nenek menandakan dirinya keliru. Ternyata masih ada hal yang lebih buruk, kenapa dia sangat menyedihkan selama hilang ingatan?
“Sebenarnya karena Belva melakukan kesalahan, dia memukul kepala kekasih perempuan dari toko bunga. Namun, demi melindungi cucuku, kamu diperlakukan seperti binatang liar. Dicambuk, disuruh minum air cucian kaki orang kaya itu, dan menggong-gong sampai kami menemukan kalian.”Dua bola mata King mengkilat sempurna dengan seringai terbit di wajah tampannya, “Siapa sampah itu?”
“Kamu benar-benar lupa? Astaga, ini luar biasa!” tukas Nenek Sri dengan ekspresi terkejut, “Betrand Prayogi, kekasih Florist Anastasya yang sangat membencimu.”
***