Mereka tiba di rumah sakit, Kacung dengan cepat membuka pintu. Tak mau menunggu orang-orang yang sedang berlarian padanya, mereka hanya mundur saat dia menoleh sadis. Tidak ada yang berani mendekat.
Dante menggerakkan tangan, memberi isyarat agat tiga pria bertubuh atletik tersebut menjaga jarak. Kacung mengangkat tubuh Belva, membawanya masuk. Para pengunjung yang berada di depan loket memekik melihat mereka berdarah, kompak berpikir mengenai yang tengah terjadi.
Namun, tiga lelaki berjas segera menghalangi mereka yang hendak mendekat. Kemudian, beberapa keamanan berlarian. Memberikan kerja sama untuk menenangkan pengunjung lain.
Sementara kakek tua yang hendak mengejar, terlihat menghentikan langkah. Memeriksa panggilan masuk dari benda kecil yang bergetar di balik saku jaket, panggilan dari nomor Luar Negeri. Jauh lebih penting dari situasi saat ini, dia memilih memisahkan diri untuk melaporkan keadaan saat ini.
Apa yang terjadi?”
“Kenapa mereka?”
“Apa terjadi hal serius dengan keduanya?”
“Tenang, tenaaaaang!” Satpam meninggikan volume suara, dia mengayunkan pentungan di udara.
Tanda agar semua orang kembali duduk, mereka terlihat berhuh panjang. Gagal mengetahui apa yang sedang terjadi dengan dua orang yang baru saja menuju IGD.
“Code blue, code blue, code blue!” Terdengar siaran menggema, berasal dari tempat pelayanan pasien gawat darurat.
Para perawat berlarian, seorang Dokter Spesialis Emergency Medicine pun bergegas menuju ruang terkait dengan gerakan cepat. Hal tersebut membuat pengunjung semakin menyimpulkan jika kondisi serius sedang terjadi, tetapi hanya bisa diam di tempat masing-masing. Sebab, penjagaan ketat sedang diberikan.
“Siapa walinya?” Pertanyaan ini berasal dari petugas medis yang membawa beberapa berkas, “silakan selesaikan administrasi lebih dulu untuk ….”
PRANG!
Bunyi keras ini sanggup membuat sang peraat menghentikan ucapannya, dia melihat alat-alat medis berserakan di lantai. Seorang pria yang tengah terluka dengan beberapa lebam di wajah terlihat memegang pisau bedah, mengalungkan lengan di leher wanita berjas putih. Semua orang memekik tertahan.
“Apa kalian bisa menyelesaikan administrasi untuk kematiannya?” tanya laki-laki yang dikenal dengan nama Kacung tersebut, “selamatkan dia atau semua orang akan mati hari ini.”
Setelah berkata demikian, dia mendorong kasar tubuh dokter perempuan yang gemetar. Dante yang terlambat datang karena menerima panggilan internasional segera mengambil kertas-kertas di tangan petugas. Mengisi apa pun yang diperlukan sebagai prosedur.
Sementara Kacung tampak berdiri mematung, menolak untuk diobati. Dia hanya mengarahkan pandangan pada gadis yang tengah terbaring tanpa daya, masih tertidur dengan lelap. Namun, matanya menyipit ketika menangkap luka-luka di kaki.
Dari tempatnya berdiri jelas terlihat, goresan luka yang sudah hampir kering. Saat dia hendak menggerakkan badan untuk memerhatikan lebih saksama, Florist mendekat. Terlihat ragu, tetapi mengangkat wajah untuk mengatakan sesuatu.
“Lukamu harus diobati, jangan menyalahkan diri. Belva terluka bukan karenamu,” ujarnya lembut dengan tatap teduh yang begitu manis, “ayo, aku akan menemanimu. Biarkan dokter dan perawat yang menangani gadis itu.”
Kacung tak menolak saat tangan Flo menyentuh lengannya, dia menurut dengan langkah teratur. Diam saja ketika dibimbing untuk duduk, perempuan berparas cantik tersebut meminta perawat mendekat. Namun, satu pun enggan bergerak.
“Dia hanya shock tadi, tolong … pria ini juga butuh peraatan, lukanya harus diobati.” Florist memohon dengan sungguh-sungguh, tetapi masih tidak membuahkan hasil.
“Saya yang akan mengobatinya, Nona!” seru seorang laki-laki berusia sekitar 50 tahun, semua perawat terkejut sekali lagi.
Kepala rumah sakit mendekat, lalu membungkuk pada lelaki yang hanya mematung. Di belakangnya terlihat Max sudah melenggang, pantas petinggi tempat ini segera turun tangan. Mengambil alih Kacung untuk diobati. Sebab, sang pria tampan keturuna Eropa tersebut dikenal sebagai orang penting yang sering terlihat di sisi kepala daerah setempat.
“Tuan, silakan duduk.” Max berujar dengan sangat sopan, menggerakkan tangan yang terulur begitu pelan ke arah kursi roda yang dia bawa.
"Aku akan memastikan mereka menyelamatkan nyawanya,” timpal Kacung masih dengan nada dingin, enggan ikut bersama mereka.
“Jangan khawatir, gadis itu sudah ditangani dokter terbaik kami. Luka-luka Tuan harus ….”
“Singkirkan hama ini.” Kacung memutus ucapan sang Kepala Rumah Sakit tanpa peduli dengan keinginan orang-orang yang bermaksud mengobati, dia kembali menghadap ruang yang dikelilingi kaca bening.
“Biarkan saya yang mengobatinya,” tukas Flo sambil meminta alat-alat pembersih luka pada perawat, “duduklah, kamu masih bisa mengawasi Belva dari sini.”
Kacung menoleh, dia mendapati senyuman Flo yang sangat tulus. Kenapa perempuan ini begitu baik padanya? Apa mereka memang dekat?
Ada banyak sekali pertanyaan, tetapi rasa sakit kembali datang. Dengung yang tak nyaman, bising sekali. Ketenangan itu kembali terusik.
"Akh!” Kacung memegangi kepala kembali, lagi-lagi kesakitan yang begitu kuat. Menusuk-nusuk hingga dia memukul-mukul batok keras tersebut.
“Hentikan dia!” Max memberikan perintah karena Kacung mulai menyakiti diri sendiri, tetapi melihat perawat hanya saling pandang membuat sang pengacara menggerakkan kepala pada anak buahnya.
Mereka memegang tubuh Kacung, mengunci dengan kencang. Namun, teriakan masih menganggu yang lain, Max mengangguk pada kepala rumah sakit. Laki-laki tua tersebut mengeluarkan sesuatu dari balik jas, obat bius yang sudah disiapkan khusus atas permintaan Tuan Callibur.
Pengacara muda itu menjelaskan situasinya, mengenai pria gondrong yang kemungkinan akan membuat kekacauan di rumah sakit. Benar saja, laporan mengatakan jika Dokter Issabel diancam akan dibunuh ketika lambat menangani anak SMA yang datang bersamanya. Dia hanya mendekat, lalu menyuntikkan zat penenang.
“What are you doing?” Kacung kembali bertanya dengan bahasa asing, tetapi kesadarannya semakin lemah.
“Apa yang kalian lakukan padanya?” Flo mendekat sambil menarik lengan sang dokter, “kenapa Kacung menjadi pingsan?”
“Flo, mereka akan merawat Kacung. Aku yang meminta dokter untuk membiusnya,” sela Kakek Dante yang sudah kembali, dia memandang Flo dengan tatap meyakinkan.
“Tapi, Kacung ….”
“Jika tetap dibiarkan sadar, mentalnya akan kembali terguncang. Dia akan baik-baik saja, percayalah.” Dante segera menghentikan ucapan Florist, lalu mengangguk pada anak buah Max.
Mereka langsung membawa tubuh Kacung dengan kursi roda, menjauhkan dari dua orang yang akan menunggui Belva. Max membungkuk singkat pada Dante sebelum berbalik, dia menyusul rombongan. Membawa Kacung ke ruangan lain, luka-luka di tubuh itu harus mendapat perawatan serius. Selain itu, ada luka khusus yang harus diperiksa.
“Siapkan MRI dan panggil Dokter Hans, pastikan seluruh tim radiologi hadir. Pasien VVIP sedang harus segera ditangani.” Kepala Rumah Sakit memberikan perintah pada dua perawat yang langsung mengangguk patuh, lalu berlarian mencari orang-orang yang dimaksud.
“Peluru dengan kaliber dua belas bersarang di kepala, dokter mengeluarkannya di bawah ancaman moncong laras panjang. Keajaiban membuatnya pulih dengan cepat, tetapi selama dua tahun menjadi orang yang berbeda. Dia kekanakan dan mengalami gangguan keribadian, cemas berlebihan.” Penjelasan dari sang pengacara hanya direspons dengan anggukan oleh dokter senior tersebut, “sebelum melakukan CT Scan, tolong obati luka-luka di tubuhnya.”
“Apa semua ini karena pengaruh gangguan kecemasan yang diderita?” selidik sang dokter mengamati kondisi tubuh pria yang sudah tak sadarkan diri, “dia hanya kesakitan saat gangguan terjadi di kepala, tetapi luka-luka itu tampaknya sama sekali tidak berpengaruh.”
“Benar, dia mengalami Congenital Analgesia setelah tersadar dari koma selama tiga minggu. Ingatannya juga terhapus sementara, tetapi dia terlihat kesakitan sejak tadi. Sepertinya, semua kenangan itu kembali.” Lagi-lagi penjelasan mencengangkan terlontar dari mulut Max, apa yang membuat laki-laki tersebut menjadi salah satu manusia yang tidak bisa merasakan sakit fisik? Apa dia manusia super?
Pantas saja meski terluka begitu parah tetap terlihat baik-baik saja, tetapi untuk sesak dan serangan sakit di kepala sanggup membuat laki-laki tersebut kesakitan. Kemungkinan karena peluru melukai otak sehingga Saraf Perifer rusak, terbukti masih bisa merasakan sakit di bagian tertentu.
“Bagaimana peluru bisa bersarang di kepalanya?” Dokter itu menggeleng-geleng tak percaya, “siapa dia sampai pengacara pribadi gubernur turun tangan?”
“Dia?” ulang Max dengan ajah terangkat perlahan yang dramatis, “Axel Hertigan, putra mahkota Klan Hyena.”
Bola mata sang Kepala Rumah Sakit terlihat membesar, lalu segera menoleh pada wajah yang sudah tak sadarkan diri. Jika laki-laki ini adalah putra Hertigan Graventos dari Milan, artinya … King masih hidup.
Tiba-tiba pria tua itu cegukan, tak menduga akan menangani pasien paling diburu di dunia.
***