D U A B E L A S

1158 Words
Kini ada empat nampan berbentuk persegi empat berisikan irisan daging sapi. Empat nampan tersebut tersusun rapih satu sama lain, satu mangkuk berisi bakso-baksoan, satu piring berisi sayur-sayuran; sayur sawi putih yang sudah dipotong-potong untuk direbus bersama dengan bakso-baksoan di kuah Tom Yum, lalu selada untuk dimakan bersama dengan daging sapi yang akan aku dan Risky grill, lalu satu mangkuk lagi berisi bumbu racik untuk daging sapi dan dua gelas minuman. Aku mengambil es teh lemon untuk Risky dan es teh hijau untukku sendiri. Aku sengaja tidak mengambil banyak-banyak karena khawatir akan tidak habis. Jadi aku membawa sedikit terlebih dahulu, jika memang kurang, kita bisa mengambilnya lagi. Lebih baik seperti itu dari pada harus membayar penalty karena tidak habis. Lumayan sekali harus membayar ekstra. Risky membantu menyalakan kompor, saat wajan multifungsi sudah panas, aku pun memasukkan bakso-baksoan dan sayur-sayuran tadi. Sementara Risky membantuku untuk grill daging sapi tersebut. Aku merasa ada yang kurang, oh! Jamur enoki. Aku pun langsung mengambilnya dan memasukkannya ke rebusan. Sambil menunggu makanan matang, Risky mengeluarkan ponselnya dan mengabadikan momen ini lewat kamera ponselnya. Tidak lama kemudian makanan pun bisa disantap, aku mengambil dua piring yang tadi aku taruh di meja untuk menyajikan daging sapi dan sup Tom Yum ke dalam piring dan mangkuk Risky. "Wah diambilin, terima kasih!" Seru Risky dan melahap daging sapinya terlebih dahulu setelah berdoa makan. "Sama-sama." Balasku. Lalu aku pun mengambil untukku sendiri dan memakannya. Ini kali pertama Risky makan di restoran All You Can Eat, dan dia merasa sangat puas. Walaupun sebenarnya saat di perjalanan Risky sempat berkomentar seperti ini, "Ih ngapain bayar mahal-mahal ke restoran tapi ujung-ujungnya kita masak sendiri." ucap Risky bercanda. Aku pun hanya membalas ucapannya dengan tawa, ya benar juga sih. Tapi kan bukan itu tujuannya. "Gimana? Enak?" Tanyaku padanya dan Risky mengangguk dengan mulut yang masih penuh dengan bakso salmon yang baru saja dia lahap. Aku terkekeh melihatnya. Saat makanan sudah mau habis, aku mengambil dua nampan berisi daging sapi iris lagi, tapi saat aku grill daging sapi tersebut, Risky terlihat mengaduk-aduk mangkuknya yang masih berisi sayuran. Apa dia tidak suka sayurannya? Tapi Risky bukan tipe orang yang tidak suka dengan sayuran, bahkan sebenarnya Risky adalah tipe orang yang tidak memilih-milih dalam makanan. "Kenapa?" tanyaku. "Nggak apa-apa." jawab Risky lalu setelah itu dia memindahkan sayurannya ke mangkukku. "Loh?" tanyaku heran karena Risky malah memindahkan sayurannya. "Lagi nggak mau makan sayur?" Tanyaku lagi pada Risky. Risky terdiam... Lalu menggelengkan kepalanya. Lalu aku menatapnya lekat-lekat. "Terus kamu mau apa? Mau dagingnya lagi?" tanyaku sambil menunjuk dengan sumpit daging yang masih berada di atas grill-an. Risky menggelengkan kepalanya lagi. Saat aku melihat Risky menatapku balik, aku pun tau... Risky merasa mual dan kenyang. Aku sekarang mengerti, Risky memang tidak pilih-pilih dalam jenis makanan, tapi dia cepat kenyang. Tidak seperti laki-laki pada umumnya yang porsi makannya banyak. "Ya ampun kamuuu, sayang banget kita makan di All you can eat. Kamu makannya dikit banget." ucapku lagi. "Tadi sih aku nyobain enak, tapi lemaknya terlalu banyak. Jadi aku sekarang enek rasanya." jawab Risky. Aku pun melihat meja sekitar, ada sepuluh nampan tertumpuk, meja sebelahnya lagi mungkin delapan belas tumpuk? Sedangkan di meja kami berdua, hanya enam tumpuk. Lalu aku terkekeh, sungguh lucu. Biasanya aku makan bersama dengan teman kantor dan penampakan meja kami akan terlihat seperti meja-meja yang lain. Aku sendiri sebenarnya yaa bisa saja makan banyak. Tapi kalau aku sendiri yang makan rasanya tidak seru. Bagaimana nanti kalau perutku meledak? Kalau bersama teman, kita bisa tunjuk-tunjukkan siapa yang harus menghabisi. Atau saling bekerja sama menghabisi makanan yang tersisa. "Maaf ya." Ucap Risky lagi menatapku dengan saat tidak enak. Aku pun mengangguk dan tersenyum. Toh, ini uang dia juga. Kenapa dia yang harus minta maaf. Lagi pula sisa makanan yang di meja yang belum habis tidak banyak, jadi aku tidak khawatir Risky akan membayar penalty. "Nggak apa-apa. Tapi bantuin aku abisin ya. Kamu nggak usah makan daging sapinya. Kamu cukup makan bakso-baksoannya aja. Sayuran juga biar aku yang makan aja." ucapku lagi meminta tolong dia setidaknya membantuku untuk menghabiskan makanan ini. Risky mengangguk, menyetujui permintaan tolongku. Flashback Aku terduduk di meja rias kamarku sambil menyisir rambut. Dari belakangku, ada Heri yang berdiri sambil menatapku lewat cermin. Aku menatapnya balik, dia pun tersenyum. "Ngapain, sih, nyisir? Udah cantik gitu kok." Ucapnya manis. "Ya biar nggak kusut dan rapih." jawabku. Lalu Heri terkekeh dan memelukku dari belakang, dia mengecup puncak kepalaku, lalu menurunkan kepalanya dan menaruhnya di pundakku. Kini kami berdua menatap cermin di meja rias kami. Heri bilang dia ingin melihat kamarku, jadi tadi aku membawa Heri ke kamar. Dia menatap sekitar dan mengamati kamarku sebentar. "Udah kan liat kamarku? Ya gini. Nggak ada apa-apanya. Seperti kamar pada umumnya." ucapku lagi. Berniat menggiringnya keluar kamar lagi. "Kamar kamu wangi." ucap Heri lagi lalu tersenyum. Aku memang memasang pewangi otomatis dengan harum lavender, mungkin itu yang membuat kamarku wangi. "Kamu suka wanginya?" tanyaku. "Suka." jawab Heri. "Apalagi sama yang punya kamar. Suka banget." lanjutnya lagi. Aku tersenyum malu. "Yaudah yuk keluar. Udah kan liat kamarku?" Ucapku lagi dan berdiri. Tapi Heri menahanku. Dia tetap memelukku dari belakang, lalu dia mencium pundakku. Aku menepis wajahnya, berniat menjauhkan wajahnya dari pundakku, tapi Heri lebih kuat dan kini dia menciumi leherku. "Pantes aja kamarnya wangi, yang punya kamar lebih wangi." ucap Heri lagi sambil terus menciumi leherku. "Heri... Udah ah." pintaku sambil berusaha menjauhkan kepalanya dari pundakku. "Udah apanya?" tanya Heri. "Ya udah, ayo ke luar." ucapku sambil menepisnya lagi. Tapi Heri tetap memelukku. Aku merasa takut, tapi aku merasa sensasi aneh yang aku rasakan di sekujur tubuhku. Ya Tuhan... Aku takut. "Heri!" Seruku lagi. Heri berhenti, lalu menatapku langsung, tidak lewat cermin lagi. Sedangkan aku bisa melihatnya lewat cermin. Wajahnya terlihat kaget mendengar nada ucapanku yang meninggi. Dia sedikit kecewa dengan seruanku, lalu akhirnya dia melepaskan pelukannya dan merapihkan rambutnya, tanpa mengatakan apapun, Heri langsung beranjak keluar kamar. Melihat itu, aku merasa bersalah. Apa aku salah berseru itu padanya? Seharusnya aku tidak teriak, ya? Tapi kalau aku tidak teriak, Heri tidak mau mendengarkanku dan tetap melakukan hal yang tadi. Tanpa pikir panjang lagi, aku pun berdiri dan mengikuti Heri dari belakang. Saat aku menghampirinya, Heri sedang memakai sepatunya di ambang pintu keluar. Aku kaget melihat hal tersebut. Kemana di akan pergi? Kenapa dia pergi? Bukannya dia dan aku akan menghabiskan waktu bersama hari ini? "Heri? Kamu mau ke mana?" Tanyaku padanya. Dia tetap terdiam sambil memakai sepatunya. Karena Heri tidak menjawab pertanyaanku, aku pun duduk di sampingnya, berusaha menatap wajahnya yang masih terus fokus pada tali sepatu yang sedang ia pasang. "Heri? Kok kamu mau tiba-tiba pergi? Kamu mau pulang?" tanyaku lagi, tapi Heri tetap diam. Hal itu membuatku semakin takut. Apa aku melakukan kesalahan yang membuat Heri sangat marah? "Heri, maafin aku. Aku nggak bermaksud buat bernada tinggi kayak tadi. Aku cuma nggak nyaman aja." ucapku lagi lalu mendengar penjelasan itu, Heri pun akhirnya mau menatapku balik. Aku merasa sangat lega. Walaupun Heri belum mengatakan apa-apa, tapi itu benar-benar melegakan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD