Malam menjelang dan langit kota Depok pun menghitam di hiasi kabut tebal akibat aroma hujan yang sepertinya akan turun.
Namun hal itu nampaknya tidak membuat keinginan Jimmy susut untuk mengajak sang pujaan hati berkencan.
Ini adalah kali pertama berkencan dan juga pertama kalinya kegugupan itu datang melanda seorang Jimmy Waluyo.
"Lo yakin si Jenny bakalan kesem-sem sama gue gara-gara kemeja ini, Pah?" tanya Jimmy untuk yang kesekian kalinya.
"Yaelah, Banggg... Capek nih mulut Ipah jawab pertanyaan Abang. Tanya Ipah mau dibawain apaan gitu kek! Egh, ini malah itu melulu. Pegel mulut Ipah, Bang!" gerutu Saripah dan Mak Rapeah pun ikut tertawa.
"Itu udah keren banget kalau menurut Emak kali, Jim! Tinggal aja lu semprot parfum, harum deh tuh semerbak indah mewangi."
"Ck! Jimmy lagi nggak becanda kali, Mak. Beneran deg-degan ini!" sahut Jimmy menyeka keringat halus di keningnya.
Tak ayal Mak Rapeah pun semakin keras menertawakan putranya, "Lu pergi deh sono. Ngerokok kek, kunyah permen kek. Emak itu pusing sebenarnya sama tingkah lu yang aneh gini, tau! Aneh aja gitu. Biasanya lu percaya diri banget kalau deketin cewek. Iya kan, Pah?"
"Ach, si Emak! Kayak nggak tau aja. Bang Jimmy lagi jatuh cinta sama Mpok Jenny kali, Mak. Makanya gitu tuh modelnya. Salah tingkah berlapis-lapis," kekeh Saripah menggoda kakaknya.
Jimmy yang kesal pun meninggalkan kamar sang ibu, hingga membuat wanita itu mengekorinya sampai ke ruang tamu.
"Beneran lu jatuh cinta sama anaknya si Ratna, Jim?" tanya Mak Rapeah ikut mendaratkan bokongnya di atas kursi, "Lha kan dia udah tunangan, Jim. Kata orang serusun sini, dia udah mau nikah juga. Kok bisa lu jatuh cinta sama calon bini orang?" lanjut Mak Rapeah bertanya.
Namun Jimmy terus saja mengikat sneakers di kedua kakinya, sehingga sang ibu pun kembali bertanya sekali lagi, "Jim! Lu denger nggak sih apa yang Emak bilang barusan?"
"Denger, Mak. Telinga Jimmy belum budeg kali."
"Terus kenapa lu niat banget deketin anaknya si Ratna? Lu niat mau jadi pebinor?" sahut Mak Rapeah, dan Jimmy terkekeh keras mendengar perkataan ibunya.
Ia mengambil dua telapak tangan sang ibu untuk digenggam, lalu mulai menjelaskan isi hatinya.
"Emak cuma nggak mau kamu diomongin jelek lagi kayak waktu masih jadi preman itu, Jim. Walaupun si Jenny dan calonnya ini belum menikah, tapi gangguin hubungan orang dan bikin sakit hati itu nggak baik. Kecuali mereka udah putus, baru deh elu masuk dan merebut hati si Jenny. Bener, kan?" ujar Mak Rapeah, yang di balas senyuman oleh putranya.
"Jimmy janji nggak bakalan buat Jenny atau cowoknya itu sakit hati, Mak. Jimmy yakin pasti si Jenny bahagianya sama cuma sama Jimmy aja dan si cowoknya itu cuma bingung aja mau putusin Jenny kayak gimana karena hubungan mereka sudah lama. Jadi sebagai laki-laki sejati, malam ini juga Jimmy bakalan bilang sama cowoknya tentang perasaan dalam hati Jimmy, biar dia ikhlas melepaskan Jenny buat bahagia sama Jimmy. Keren 'kan, Mak?" jelas Jimmy dan Mak Rapeah pun menerbitkan senyumannya.
"Ya, udah. Kalah gitu lu pergi deh sono. Cuma jangan pake otot, tunjukkan kalau elu ini laki-laki yang pantas buat anaknya si Ratna itu."
"Beres, Mak. Pokoknya Mak tenang aja. Jimmy bakalan kayak gitu. Oke?" sahut Jimmy melepas telapak tangan ibunya dan berdiri.
Ia kemudian berpamitan, dan keluar dari pintu Rusun dengan senyum merona layaknya bunga yang bermekaran.
Jarak antara hunian miliknya dan milik Jenny memang tidak jauh, sehingga tak sampai sepuluh menit ia sudah sampai di depan pintu Rusun sang pujaan hati yang tidak tertutup.
Tapi alangkah terkejutnya Jimmy di sana, ketika matanya menangkap pemandangan panas dari dua orang sejoli yang saling membelitkan lidah.
Kakinya terasa lemas dengan tulang-tulang yang berubah seperti lelehan coklat saat sedang dipanaskan. Terlebih lagi Jimmy juga melihat wanita yang bernama Jennytha Junitha itu, membiarkan sebelah tangan sang tunangan bermain di area dadanya.
"b******k! Dasar cewek murahan! Katanya masih perawan ting-ting, masih belum pernah disentuh sama siapa pun, masih belum tau yang aneh-aneh!" batin Jimmy melontarkan kekesalannya, "Tapi ini apa? Dipegang-pegang mau aja. Sama aku lagaknya sok suci! Nggak mau balas ciuman aku, dipaksa baru mau balas! Egh, malah tadi ciumannya udah kayak pemain bokep di situs porno! Benar-benar cewek murahan! Ternyata gue salah selama ini. Jenny emang bukan perempuan baik dan mulai sekarang?! Gue bakalan tunjukkan siapa Jimmy Waluyo sebenarnya!" lanjut Jimmy, masih mengumpat dalam hatinya.
Jimmy sekarang sudah berada di tangga lantai dua Rusun menuju ke tempat parkir, karena memang pikiran sedang kacau maka dari itu ia harus segera pergi dari sana.
"BANG JIMMYYY...!
Namun teriakkan seorang wanita yang sangat memekik tak lama kemudian terdengar di kedua indera pendengaran, dan ketika berbalik, sang wanita sudah lebih dulu memeluk tubuh tegapnya dengan erat.
"Nadia! Lu ngapain di sini?!" pekik Jimmy sedikit terlonjak, akibat perlakuan wanita yang pernah ia ambil perawan dulu.
"Kok tanya kenapa ada di sini sih, Bang! Nadia 'kan tinggal di lantai dua sini sekarang. Soalnya Nadia ambil D3 perpajakan tuh, kan? Jadi sekarang lagi magang di Kantor Pajak kota Depok. Maka itu Nadia sewa Rusun di Topas sini. Soalnya kemarin Nadia muter-muter cari kosan murah, egh pada sejutaan lebih gitu. Ya, udah deh. Tinggalnya di sini aja sementara waktu," jelas Nadia, semakin merapatkan dadanya di lengan Jimmy.
"Elu nyari kosannya di mana? Itu kosan yang ada AC, kamar mandi dalam, ada tempat tidur, lemari, tv, wifi dan kelengkapan dapurnya juga kali. Makanya mahal," celetuk Jimmy mencoba melepaskan lengan Nadia yang masih bergelayut manja di lengannya.
"Ck! Apaan sih Bang Jimmy ini! Kenapa emangnya kalau Nadia mau pegang lengan Abang? Nggak boleh, ya? Dasar pelit!" dan Nadia merasa tidak terima.
"Nggak pelit, Nad. Abang lagi buru-buru soalnya," sahut Jimmy mencoba berkelit, "Tau kan Bos Gege itu kayak apa? Dia paling nggak demen kalau Abang telat jemput gitu," dengan memakai nama majikannya.
"Alah, alesan! Si koko mah orangnya santai kali, Bang. Dulu aja kalau Nadia terlambat datang pas ada panggilan servis burungnya, dia nggak marah tuh sama Nadia.
"Iya kan itu dulu, Nad. Sekarang dia udah galak tau. Kalau nggak percaya telepon aja dia. Tanyain tuh Bang Jimmy disuruh ngapain nih sekarang," sahut Jimmy berkelit lagi.
"Udahhh... Lupain aja tentang si Koko yuk, Bang. Nadia udah lama nggak ketemu sama burungnya Abang. Jadi Nadia kangennn..." ujar Nadia menggesek-gesekan dadanya.
"Nad, Abang--"
"Ayolah, Banggg... Mendingan juga kita gituan aja. Di tempatnya nadia tuh pas. Biar nggak bayar kamar hotel. Gimana? Mau ya, Bang? Kebelet nih, Banggg... 'Kan Abang yang ajarin Nadia gituan dulu. Sampai sering kasih job buat bantuin burungnya si Koko nyemprot lagi. Emang Bang Jimmy nggak kangen lubang merah punya Nadia?" sanggah Nadia, tanpa mau repot-repot menyaring bahasa yang keluar dari mulutnya.
"Ya, udah. Kalo gitu Abang cari kondom aja dul--"
"Ck! Basi lu, Bang. Nadia udah punya banyak kondom sekarang kali, Bang. Jadi jangan banyak alasan, oke?" sahut Nadia, menyeret lengan Jimmy.
"Masa bodo deh! Lagian juga kepala gue lagi pusing banget. Biarin aja malam ini Nadia puasin gue dulu. Servisnya nih anak nggak jelek-jelek amat kok. Apalagi dia sekarang tinggal satu Rusun sama gue. Jadi bisa dong gue pake buat bikin si Jenny cemburu?" kekeh Jimmy dalam hati.
Alhasil Jimmy pun pasrah dengan tingkah liar Nadia, dan ikut saja apa yang wanita itu kehendaki. Ia juga bertekad membangun sebuah chemistry lagi dengan Nadia seperti dulu, tentu saja agar terlihat layaknya sepasang kekasih di mata si pemilik warung kopi.