Pactum | 2

1185 Words
Natasya melihat wajahnya di depan cermin besar westafel di kamar mandinya. Matanya sedikit menyipit memerhatikan setiap celah bagian dari wajahnya yang Natasya akui sendiri jika dirinya cantik, selalu yang paling memesona di antara wanita lainnya. Natasya memiliki tingkat pedean yang tinggi, diatak malu mengungkapkan kepada semua orang tentang dirinya yang cantik. Wanita yang memiliki mata bundar dengan iris cokelat pekat itu terlihat sangat indah dengan bulu matanya yang tebal juga lentik sekali. Alisnya yang tebal, hidung mancung, serta bibir kemerahannya selalu nampak menggoda kaum adam ikut menyempurnakan setiap pahatan wajahnya. Natasya memiliki dagu yang sedikit lancip, biasanya selalu mengandalkan rambut cokelat panjangnya dengan model gelombang--menjadi khas dirinya. Bibir Natasya mengerucut di depan cermin itu, mengingat betapa kesalnya kejadian beberapa jam yang lalu di pusat perbelanjaan. Kenan sangat menyebalkan, pria itu sengaja pembekukan semua kartu debit yang Natasya punya, sialnya dia hanya memiliki sedikit persediaan uang tunai di dalam dompetnya. Natasya malu, dia seperti pembohong ulung yang sengaja mengklaim dirinya orang kaya padahal kejadian yang menimpa memperlihatkan keadaan sebaliknya. Siapa yang tidak tahu keluarga Adelard? Sayang pemberitaan tentang kebangkrutan keluarganya pun menyebar begitu luas dalam sekejap mata, Natasya semakin terpuruk menerima semua ini. Dia kehilangan ibunya satu tahun lalu, kini selain kebangkrutan ... seseorang yang menjadi satu-satunya harapan Natasya bertahan menjalani peliknya kehidupan sedang koma di rumah sakit. Kemudian dengan segala kekuasaan dan kedudukannya, Kenan mendatangi tangan kanan Xavier—ayah Natasya, mengajukan beberapa perjanjian yang benar-benar menguntungkan untuknya sendirian. Sedangkan Natasya? Dia hanya dijanjikan kesembuhan sang ayah. Kenan berkata akan membiayai semua pengobatan Xavier, mencarikan dokter terbaik untuk menanganinya. Lalu Natasya bisa apa selain mengiyakannya? Xavier ternyata juga memiliki banyak hutang kepada keluarga Kenan--setengah tahun belakangan berusaha mempertahankan perusahaannya, sayangnya lagi-lagi gagal. Hal ini menjadi salah satu faktor pemicu semakin menurunnya kondisi kesehatan Xavier. Untuk melunasi semuanya adalah dengan dirinya yang harus menjadi istri Kenan Almeer. Inilah saat di mana Natasya merasa akan mengalami kehancuran. Kenan adalah sosok pria titisan dakjal--Natasya menyebutnya demikian, saking geramnya. "Nona Tasya, dipanggil Tuan Kenan. Segeralah menuju ruangannya." Lala, dia yang mengurus semua keperluan Natasya selain Bibi Iris. Lala adalah janda anak satu, usianya tiga tahun di atas Natasya--26 tahun. Sementara Bibi Iris sudah setengah abad. Natasya mengernyit. Segera dia membuka pintu kamar mandi sebelum Lala pergi meninggalkan kamarnya. "Eh, ngapain dia manggil-manggil aku?" tanya Natasya songong. Dia nampak tak suka. Lala menggeleng. "Tidak tahu Nona, Tuan Ken hanya meminta dipanggilkan Nona Tasya. Saya tidak berani banyak tanya, takut Tuan Kenan ngamuk." "Cih! Kamu takut dia?" Lala mengangguk, tentu saja. "Jangan takut, lawan aja kalau dia songong. Sepak tulang kakinya." Seenak jidat, Natasya mengajari yang tidak baik kepada Lala. Tidak ada di rumah megah itu yang berani dengan Kenan, hanya Natasya. "Tidak mungkin saya melakukannya, Nona. Bisa-bisa saya dilempar ke kolam Jacky--buaya pelihataan Kenan, dia senang makan daging manusia katanya." "Kamu percaya?" Lala mengangguk cepat. "Tentu saja. Ayam saja dia telan bulat-bulat, apalagi daging saya." "Bilang sama Kenan, nggak usah mengada-ngada namain buayanya si Jacky, terlalu menjijikan kedengarannya di telingaku." Natasya memutar bola mata malas. "Kamu harus jadi berani kalau mau jadi temen aku." "Ya sudah, kita musuhan aja kalau begitu, Nona. Saya lebih takut sama Jacky." Setelah itu Lala beranjak sebelum Natasya memukul kepalanya. Lala tahu Natasya tak akan pernah membencinya meski sering menolak perintahnya, Natasya sebenarnya anak yang baik, dia penyayang. "Hei, Lala! Kurang ajar banget kamu ya. Besok aku akan pelihara hewan pemangsa manusia lebih buas dari si Jacky, kulempar kamu duluan buat sarapan dia!" teriak Natasya kesal bukan main. Dia mengentakkan kaki kemudian menutup pintu kamar dengan membantingnya. Natasya, siapa yang berani menyulut emosinya? Kenan jawabannya. *** "Ada apa?" Natasya bertanya dengan mengangkat dagu, Kenan yang tadinya sibuk membaca buku mengalihkan perhatian pada sumber suara. "Cepat katakan! Aku mau kembali ke kamar!" Kenan melepaskan kacamatanya, menutup dan menyimpan kembali buku bacaannya ke dalam sebuah rak yang berada tak jauh darinya. Dari cara dia bersikap sekarang nampak biasa saja, tidak terlihat sedang jengkel. "Tutup dulu pintunya." Lirikan mata tajam Kenan mengarah pada pintu yang sengaja sekali Natasya buka lebar. Jika ada apa-apa nanti dia gampang melarikan diri, pikirnya tidak masuk akal. "Ngomong aja sekarang, biarin pintunya ke buka." "Kamu yang tutup atau saya?" Natasya bergeming, tapi dia tahu jika sampai Kenan yang bergerak maka sulit bagi Natasya kabur setelahnya. Kenan bisa mengunci dirinya semalaman di ruangan ini. Kenan ada beranjak dari kursi kebesarannya, Natasya lantas berjengkit dan segera mendahului gerak menutup pintunya. "Sudah ketutup." Natasya dapat bernapas lega, untung saja keduluan dia yang menutup, Kenan tidak jadi mengeluaskan api yang sudah kian berkobar. "Duduk!" Natasya menggeleng. Dia tetap berdiri di balik pintu, tidak berniat beranjak. Natasya sempat terpikir jika pintu ruangan ini memiliki remote otomatis yang bisa mengunci dan membuka hanya dengan sekali pencet tombol. Bahaya sekali! Kenan punya banyak uang, apa saja bisa dia lakukan dengan kertas bernominal itu. "A-aku akan tetap di sini, kamu bicara saja dari sana. Kedengeran kok." "Duduk, Tasya!" Kenan menekankan kalimat singkatnya yang hanya berisi dua kata itu. Rahangnya yang kokoh mengetat, iris hitamnya semakin menggelap menunjukkan aura seram yang terpancar sempurna. Jari telunjuk Kenan diketukkan pada meja kerjanya menciptakan bunyi yang berpola seiring detik jam, bagi orang yang tidak tahu ... Kenan masih kelihatan biasa saja. Namun tidak bagi Natasya sekarang, dia tahu Kenan marah. "Duduk!" Sekali lagi, Kenan mengulangi. Natasya mengangguk, dia melangkah takut dan cemas ke arah kursi seberang meja Kenan. Natasya berhasil mendaratkan bohong di sana, napasnya menjadi tidak teratur seketika. Bodohnya, Natasya sempat lupa bahagimana cara menghirup oksigen dengan benar. Pikirannya seketika kosong, nyalinya berani dengan Kenan langsung menciut. "A-apa? Ngomong sekarang, aku sudah ngantuk, capek juga." "Tidak akan terjadi hal seperti tadi siang lagi. Kamu mengerti?" Natasya diam beberapa saat, sebelum dia memajukan bibir tanda tidak setuju. "Jangan bekukan lagi kartu debitku! Kamu mempermalukan aku, mereka kira aku semiskin itu hanya karena tidak bisa membeli jam tangan harga sekecil itu." "Kamu memang miskin sekarang." Kenan berucap datar, aura dingin permusuhan dia berikan sebagai pengingat diri paling kejam untuk Natasya. Natasya membulatkan mata. "Setidaknya tabungan aku masih banyak, masih sangat cukup membayar jam tangan itu!" "Itu semua menjadi uang saya ketika kamu menyandang status sebagai istri saya. Uang kamu belum seberapa dengan hutang ayahmu." "Ya, ya, terserah kamu saja!" Natasya paling tidak senang direndahkan, apalagi oleh si songong Kenan. Bisa-bisanya pria itu berkuasa atas segalanya yang ada di diri Natasya. "Belanja secukupnya saja, saya akan memberikan uang setiap minggunya. Tidak ada belanja barang-barang mewah, hidup sederhana mulai dari sekarang." "Tidak! Aku akan cari uang sendiri kalau begitu." "Jual diri?" Kurang ajar! Kenan benar-benar cari mati. "Terserah aku." "Siap jadi santapan si Jacky?" Ini peringatan, Kenan serius. Apa pun yang sudah menjadi miliknya, tidak ada satu orang pun di luar sana yang bisa menikmatinya. Kecuali Kenan sudah bosan, tidak berpikir dua kali baginya membuang Natasya. Tidak menjawab, Natasya memilih berlalu dari hadapan Kenan. Dia beranjak dengan kaki yang dihentakkan kasar pada lantai. Kedua tangannya terkepal, pintu ruangan Kenan dibanting dengan sangat kesal. "Tasya, Tasya!" Kenan menggelengkan kepala heran. Dia kemudian menyandarkan kepala pada kursinya, memejamkan mata beberapa saat untuk menenangkan pikiran. Dia sungguh pusing oleh sikap Natasya yang begitu tidak bisa diatur, selalu bersikap semaunya sendiri. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD