Pactum | 4

1013 Words
Jika kalian pikir Kenan akan benar-benar memperkosanya, maka salah besar. Tentu saja Natasya selamat, dia lebih memilih menghabiskan makan malamnya. Tidak terpikir sedikit pun Natasya disentuh oleh Kenan, sangat mengerikan jika dibayangkan. Pria seperti Kenan berbahaya, dia bisa melakukan apa pun tanpa memikirkan orang lain. Pagi ini sebelum ke toko bunga, Natasya habis-habisan membakar kalorinya di ruang olahraga. Dia tidak sekali dua kali berdiri di depan cermin besar yang menampilkan seluruh tubuh yang terbalut satu setel pakaian ketat penyerap keringat. Natasya menelisik bagian berut dan lengannya. Oh tidak bisa jika sampai gendutan sedikit saja, Natasya akan stress. Dia bukan model, tapi menjaga keseimbangan berat badan adalah nomor dua setelah keindahan wajahnya. "Kenan sinting!" maki Natasya sudah hampir ke sepuluh kali mungkin. Dia kesal, semalaman penuh kurang tidur hanya karena memikirkan sepiring makan malam yang harus dia habiskan. Porsinya tiga kali lipat lebih banyak dari porsi biasanya Natasya makan. Lebih lagi banyak lemaknya, kendati makanan itu enak ... Natasya menghindarinya. Natasya lebih senang memakan makanan yang direbus, tidak menganduk banyak lemak katanya. Kenan sampai geleng kepala melihat tingkahnya yang selalu berlebihan, ingin rasanya Kenan sentil kepala Natasya agar lebih benar sedikit cara berpikirnya. Ketika gadis lain senang nyemil makanan kemasan, Natasya tidak. Dia senang memakan tahu dan sayuran rebus yang dikasih saos atau kecap pedas, biasanya Natasya makan saat menonton televisi. Namun, saat sedang stress, banyak pikiran yang membuatnya bersedih hati, Natasya nekat. Dia bisa memakan mie dua bungkus sekaligus tambah telur pula. Menyeramkan jika gadis itu sampai keluar dari zona nyamannya. "Nona Tasya," panggil Lala dari luar sambil mengetuk pintu. Natasya yang sedang memukul samsak berhenti seketika. Natasya menyeka keringat dengan handuk kecil yang ada di atas meja, dia mengambil botol minuman dan menegaknya hingga tandas. Napas Natasya tidak beraturan, untunglah dia mengeluarkan keringat cukup banyak di pagi yang cerah ini. "Masuk!" Natasya duduk di salah satu kursi, menyandarkan punggungnya di sana sembari mengatur napas sambil mengayun-ayunkan lengannya lagi. Lala masuk, dia memberikan salam hormat dengan menundukkan sedikit kepalanya. "Selamat pagi, Nona Tasya. Kata Tuan Kenan segeralah mandi dan sarapan, dia menunggu." Sebelum Natasya menolak, Lala kembali berucap, "Kata Tuan Kenan dia tidak segan melakukan ancaman yang tadi malam kalau Nona Tasya membangkang." Natasya membulatkan mata, dia langsung berdiri dari tempat duduknya. "Kenan mengatakan sama kamu ancamannya apa?" Bisa mati jika Lala sampai tahu, dia akan malu. Natasya tak segan menguburkan diri sekarang juga jika jawabannya iya atau anggukan kepala. Untungnya, Lala menggeleng cepat. "Tidak, Nona Tasya. Tuan Kenan hanya mengatakan seperti itu. Saya tidak berani tanya mengenai apa ancamannya, takut Tuan marah." Natasya menganggu cepat, lalu lekas beranjak dari tempatnya. "Kamu mandi dulu, kamu kembali saja ke dapur." Lala tidak mengangguk, tidak juga berucap iya. Dia bingung. Ancaman seperti apa memangnya yang berhasil membuat Natasya menurut dengan cepat begini? Kenan sudah mendapatkan kelemahan Natasya? *** Natasya duduk di salah satu kursi meja makan, berjarak sangat jauh dari Kenan Almeer. Dia mengambil makanannya, sedikit nasi, sedikit sambal, tahu dan sayur sawi rebus. Tidak memakai saos atau kecap, hanya empat macam itu saja. "Makan yang banyak, apa kamu mau menyaingi tengkorak? Berkacalah, badanmu seperti sapu lidi, tidak ada daging sedikit pun." Kenan mencibir, dia mendelik kesal. "Orang pikir saya tidak mampu memberikan makanan yang layak." Natasya hanya diam mendengarkan, tetap memakan makanan yang sedang dia hadapi. "Ini ada sereal, bubur, makan semua." "Tidak!" Natasya mengerucutkan bibir. "Kamu menyuruhkan makan ini dan itu, tadi malam juga memaksa menghabiskan banyak makanan. Kamu tidak lihat sekeras apa aku sejak tadi pagi di ruang olahraga? Mengesalkan!" Natasya menggerutu penuh kesal, Kenan hanya memberikan respons mengangkat bahu cuek. "Apa kamu pikir saya peduli? Tambah sedikit berat badanmu." Sebelum Natasya memotong ucapannya, Kenan kembali mendahului, "Jangan mengatakan jika badan kamu sudah bagus. Kamu buta? Itu tulang semua isinya, saya malah takut kamu melayang diterpa angin." Lala yang sedang membereskan piring di balik pantry tertawa mendengar percakapan lucu itu. "Lala, diam!" Natasya bersuara lantang, Lala langsung tutup mulut. Bibi Iris menggelengkan kepala. "Kurang ajar banget mulut kamu, Kenan!" Setelah itu Natasya meletakkan kasar sendoknya hingga membentur piring, membuat bunyi yang menarik perhatian. "Aku sudah kenyang!" "Kembali ke tempat dudukmu!" "Tidak mau." Natasya kemudian melempar tatap pada Lala. "Lala, suruh Pak Ian siapkan mobil, aku akan ke toko bunga sebentar lagi." Lala mengangguk patuh. Sebelum berhasil beranjak, Kenan menghentikan gerakan Natasya. "Kamu pikir hari ini bisa keluar rumah?" Natasya menaikkan sebelah alis. Tentu saja dia akan keluar, bosan berada di rumah sepanjang hari. "Aku tetap akan keluar." "Saya bilang tidak, berarti tidak ada yang bisa membantahnya." "Ada, aku!" Natasya membuang muka, kemudian melangkah cepat meninggalkan ruang makan menuju kamarnya. Setiap langkah yang Natasya ambil penuh dengan entakan, gadis itu menunjukkan kekesalannya. "Selamat pagi, Nona." Damian menyapa, dia kebetulan baru saja memasuki ruang bersantai dekat tangga menuju kamar Natasya. "Apa sapa-sapa! Nggak usah nyapa aku, sakit telingaku dengernya!" Natasya membentak, dia melewati Damian tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi. "Tidak ada yang boleh melarang keinginanku, termasuk presiden sekali pun. Aku tidak suka aturan, pengekangan. Burung saja perlu terbang bebas ke alam luar, berada di sangkar bukan pilihan yang tepat!" Setelah itu terdengar pintu yang ditutup nyaring. Untung pintu itu mahal dan terbuat dari bahan yang bagus, sesuai harganya, kalau saja tidak ... sudah hancur tak berumur sehari akibat perlakuan Natasya yang tidak ada lemah lembutnya. Demian dan Lala berjengkit mendengar kegaduhan di pagi ini. Sementara Kenan hanya diam, dia masih melanjutkan makan dengan benar tanpa mengeluarkan suara. Di dalam kamar, Natasya segera bersiap di depan meja rias. Memoles sedikit wajahnya agar lebih fresh kelihatannya. Natasya gadis keras kepala dan pembangkang, dia akan melanggar semua perintah Kenan, tidak peduli ancaman apalagi yang akan diberikan padanya. Natasya sama sekali tidak takut. "Halo, Cha?" Ratih Natalia, Natasya memanggil gadis itu dengan sebutan Chaca, sedangkan keluarga dan orang di luar sana memanggilnya Ratih atau Talia. Tidak tahu bermula dari mana panggilan itu, Natasya memang beda sendiri. "Iya, Tasya. Kenapa?" "Gue jemput. Ke toko habis ini ya, gue mau cerita banyak hal." Ratih yang baru saja selesai mandi langsung mengiyakannya. "Boleh, gue siap-siap dulu, baru selesai mandi nih." "Gue ganti baju dulu, habis itu jalan." "Oke sip." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD