Pactum | 5

1123 Words
Tawa Ratih mengisi setiap sudut ruangan pribadi Natasya di toko bunganya. Gadis cantik dengan mata bundar itu memiliki lesung pipi, gigi gingsul dengan dagu berbelah. Ratih ini posturnya lebih pendek dan berisi daripada Natasya. Dia hitam manis dengan pembawaan selalu cerita. Wajahnya yang kalem seperti anak baik-baik itu selalu diracuni menjadi jahat oleh Natasya agar menjadi gadis yang kuat dan tahan banting. Kadang Natasya merasa berdosa juga mengajak Ratih melakukan kekonyolan seperti dirinya, kasihan anak orang menjadi korban. "Untung ada yang mau nikahin lo, Tas. Gimana sih? Selain tampan, Kenan Almeer juga orang nomor satu di ibu Kota. Duitnya banyak, bisa buat beli mulutnya si Chika." Ratih menambahkan dengan menaik turunkan alisnya. Natasya memutar bola matanya malas sekali. "Lo pikir si Kenan itu nggak pelit? Perhitungan banget ya ampun, lo nggak tau aja! Bisa-bisa tuh uang dia bawa ke dalam kubur, sampai heran gue!" "Bukan pelit. Dia bekuin debit lo biar lo-nya sadar, nggak keluyuran ke sana ke mari lagi belanja yang nggak jelas, habis-habisin uang aja!" Ratih mendesis tak kalah kesal pada Natasya. Gadis ceriwis itu menceritakan semua yang terjadi pada dirinya kemarin di toko jam tangan bersama Chika dan pertengkarannya dengan Kenan sejak semalam hingga pagi tadi. Apa respons Ratih? Dia hanya tertawa sambil memegangi perutnya, tidak sama sekali merasa kasihan. Ratih bilang, Natasya sih pembangkang, makanya Kenan marah. Ratih juga menyarankan agar Natasya sedikit menurunkan ego, jadi gadis yang manis di depan Kenan, setidaknya luluhkan hati pria dingin itu. Sayangnya, Natasya tak mau mengerti hal itu. Dia tetap pada pendiriannya, tidak ingin di kekang dan tak mau menurut meski mulut Kenan melebar sampai telinga meneriakinya. Natasya emang setidak mau itu di atur-atur hidupnya, lihat sekarang dia ... terlalu bebas, bersikap sesuka hatinya tanpa banyak memikirkan apa yang akan terjadi ke depannya. Jika salah jalan, ya sudah. Begitu saja terus. "Lo bela dia, Cha. Sebenarnya yang sahabat lo itu gue atau Kenan?" Ratih tertawa. "Ya, elo." "Jangan bela Kenan di hadapan gue, nggak enak banget didengernya. Gue nggak suka dia, sumpah." "Awas nanti malah jatuh cinta, biasanya kalau kelewat benci begini bakal jadi bucin kuadrat. Susah mengontrol rasa yang sudah melambung tinggi, apalah pesona Kenan wow banget, gue akuin itu." Natasya memberengut sebal. "Jangan bilang kalau lo juga suka dia kayak wanita lain di luar sana?" Lantas memicingkan matanya, menelisik penuh intimidasi. "Ya kalau dia bukan suami lo, sorry ya Tas, gue nggak doyan sama suami orang. Hot Daddy alias duda boleh juga sih, perawakannya kayak Kenan, oke deh. Langsung gas, besok nikah gak pa-pa, rela gue!" Ratih mulai gila, dia memang pecinta pria timur tengah seperti modelan Kenan, memiliki cambang tipis selalu menjadi andalan yang selalu disebut pria tampan bak seorang dewa. Berbeda dengan Ratih yang sangat siap membangun rumah tangga-menjadi istri dan juga ibu, Natasya kebalikannya. Selucu itu memang kenyataan hidup, yang siap malah belum bertemu dengan jodohnya. Setidak adil itu kah? "Stress! Gue nggak paham jalan pikir lo, iyain aja udah yang ngebet nikah mah. Gue pahamin aja, gue doain biar ada pria yang suka sama lo." "Amin paling serius ya Tuhan ... gue nggak sabar pengen hamil, rasanya itu. Ah ... mantap bener!" "Nggak sabar hamil atau buat anaknya?" Natasya mencibir, dia tahu Ratih ini meski polos memiliki tingkah m***m yang tinggi. Dia bahkan tak tahu dosa bertanya bagaimana permainan Kenan di malam pengantin mereka waktu itu, kurang ajar emang. Sayangnya, Natasya dan Kenan tak pernah saling bersinggungan. Untunglah! Ratih tertawa malu-malu. "Dua-duanyalah. Gila aja lo ya pertanyaannya, frontal amat." "Enak? Gitu juga waktu lo tanya gimana malam pengantin gue sama Kenan, lebih lagi pas banget ada banyak karyawati gue ngumpul. Kurang ajarnya kelewatan Neng, pengen gue tendang sampai ke belahan dua lain sana." Ratih terbahak. Dia kemudian bangkit dari tempat duduknya. Melihat dari jendela ke arah kafe di samping toko bunga Natasya. "Lagi ramai banget hari ini kafe, gue mau ke sana dulu. Lo mau ikut? Bentar lagi makan siang nih, sekalian isi perut." Natasya mengangguk. Dia memasukkan ponsel dan dompet ke dalam tas, melangkah mengikuti Ratih ke kafe sebelah. Sangat tidak disangka-sangka, sesuai kehendak kedua gadis itu memiliki usaha yang saling berdekatan. Selain saling mendukung, mereka juga enak bertemu setiap harinya. Sambil kerja, sekalian menghabiskan banyak waktu dalam kebersamaan. Bagi yang tidak tahu, orang-orang mengira Ratih dan Natasya adalah saudara-kakak dan adik. Saking kompak dan selalu bersama, meski tahu banyak kekurangan masing-masing. *** Kenan menyerongkan ke kanan dan ke kursi kebesarannya sambil melihat ke arah layar tablet canggih miliknya. Sebuah gps dihubungkan, menunjukkan ke mana saja Natasya pergi seharian ini. Tidak ada yang aneh, pergerakan gadis itu hanya di sekitar toko bunga dan kafe milik sahabatnya yang Kenan ketahui namanya Ratih, Damian memberikan biodata Ratih beserta keluarganya. Ratih terlahir dari keluarga baik-baik, ayahnya seorang chef di sebuah rumah makan yang keluarganya punya, sementara ibu Ratih adalah ibu rumah tangga. Kenan lega jika lingkungan pertemanan Natasya terjaga, dia tidak terlalu mengkhawatirkan bagaimana pergaulannya selama di luar rumah. "Kirimkan segera biodata gadis yang bertengkar dengan Tasya kemarin siang." Damian yang berdiri beberapa meter di depan Kenan mengangguk paham, dia sedang mengumpulkan informasi yang akurat agar tidak salah ketika sampai ke tangan Kenan. "Baik, Pak." Saat di kantor, Damian akan memanggil Kenan dengan sebutan 'Pak', namun ketika di rumah beda lagi. Kenan menyuruh Damian meninggalkan ruangannya, mengecek pekerjaan lain yang harus segera di selesaikan dalam waktu yang cepat juga tepat. Kenan seseorang yang selalu ingin mendapat hasil yang sempurna dalam setiap pekerjaannya, tidak bisa kurang sedikit saja. Semaksimal mungkin, harus rapih dan tersusun dengan baik dari A hingga Z. Kenan orang yang selalu tepat waktu--semua kegiatannya diperhitungkan dengan baik--agar tidak ada waktu yang terbuang sia-sia untuk hal tidak penting. Kenan disiplin, berwibawa, berbanding terbalik dengan sosok Natasya. Entahlah, Tuhan memang menakdirkan dua manusia untuk saling melengkapi bukan? Teringat kejadian tadi pagi saat Natasya ingin keluar rumah, benar-benar terjadi keributan. Seperti kata gadis itu, tidak ada siapa pun yang bisa mencegah kepergiannya ... memang benar. Kenan sampai pusing di buatnya, dia angkat tangan. Damian dan para pengawal lain akhirnya melepaskan, mereka undur diri menghalangi jalan Natasya. Natasya gadis dengan segala kekuatannya, dia bahkan tak segan menonjok wajah Damian tadi pagi, sebab terlalu kesal. Untunglah pukulan itu tak sampai merobek sudut bibir Damian. Apa Natasya merasa bersalah setelah melakukannya? Tentu tidak. Gadis itu malah tertawa sinis, mengangkat dagu seolah dia tidak terkalahkan. Jika saja Natasya seorang pria, Damian tidak akan berpikir dua kali untuk menghabisinya. Damian bukan seseorang yang gampang memberikan ampun kepada siapa pun yang berani menyakiti dirinya. Berani memukul, siap mati. Begitulah prinsip seorang Damian. Kenan membuka dompetnya, di sana terdapat sebuah foto yang menunjukkan dirinya dengan seorang putri kecil yang sedang tersenyum sangat amat lebar. "Kamu berbeda sekali. Saya hampir tak mengenali sosok kamu yang sekarang." *** Semoga suka sama cerita Kenan dan Natasya ya. Hehe ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD