8. Kamu masuk kamar wanita sembarangan?

2244 Words
Meski Zen kemarin terkapar lemas dalam sesi latihannya. Kali ini Zen sudah di paksa untuk kembali berlatih oleh Runa. Mereka tidak punya banyak waktu untuk menunda lebih lama sesi latihan mereka. Lebih cepat menangani makhluk gaib, maka semakin banyak juga orang yang bisa mereka tolong nantinya. Aliansi paraNORMAL memang sudah sangat kekurangan anggota. Membuka gate bukanlah hal yang sulit, dilakukan dengan hanya menggerakkan tangan yang memiliki simbol. Meski hanya sebuah simbol namun simbol ini benar-benar memiliki banyak fungsi. Zen sejujurnya cukup takjub dengan simbol tersebut. "Runa! Aku berhasil ..." Zen berteriak girang begitu ia berhasil membuka gate dengan kemampuannya sendiri. Runa pun tersenyum dengan keberhasilan Zen dalam waktu singkat tersebut. "Zen, kamu yang sudah mampu mengontrol energi mu. Kali ini hanya kamulah yang bisa membangkitkan kemampuan khusus yang kamu miliki. Kemampuan khusus dimiliki sejak kamu lahir. Jika seperti Tuan Guntur katakan, kamu yang memang bagian dari kami. Artinya masih ada kemampuan tersembunyi yang ada padamu. Ingat baik-baik untuk menggali potensi mu. Sementara itu, kamu sama sekali tidak memiliki senjata gaib Zen. Jadi hindari yang namanya pertempuran sebisa mungkin. Kamu cukup membantuku saja sesuai apa yang aku perintahkan," nasehat Runa. Sisa waktu yang dimiliki Zen di habiskan untuk beristirahat. Walaupun dibilang istirahat, Zen memutuskan untuk berkeliling apartemen yang sekaligus merupakan asrama mereka. Zen kembali takjub dengan apa yang ada di asrama mereka. Banyak fasilitas yang benar-benar bisa di gunakan bagi penghuni di sana. Belum lagi semua fasilitas yang ada benar-benar mewah dan gratis bagi penghuni. Di waktu yang nyaris bersamaan. Senja yang saat itu baru pulang dari sesi perkuliahannya, tampak bersenda gurau dengan teman-temannya. "Sen, itu salah kamu. Kamu bisa lihat wajah menyeramkan Professor tadi saat kamu nyaris meledakkan laboratorium," ucap seorang pria yang terkekeh geli. "Aduh, Bima ... Itu kan tidak di sengaja. Tidak sengaja!" dalih Senja yang malah di sambut tawa renyah oleh teman-temannya. "Kinan, yuk! Kita tinggalkan saja dia," Kinan yang tadinya terkekeh geli akhirnya ikut mengalah dan berjalan bersama Senja dalam rangkulannya. "Hei.. tunggu.. maafkan aku Senja.. Senja.. maaf ya!" Bima yang mengejar langkah cepat Senja dan Kinan berusaha meminta maaf atas gurauannya. Jelas rasa kesal Senja membuatnya mengabaikan Bima begitu saja. Kinan hanya terkekeh geli dengan tingkah kedua teman baiknya tersebut. Tidak mau menyerah, Bima akhirnya memutar otaknya untuk membuat amarah Senda mereda. Dilihatnya di seberang jalan ada sebuah toko kue yang pasti akan di suami oleh Senja. "Maaf ya senja.. aku traktir deh di sana. Cheese cake di sana katanya enak banget loh!" Bima spontan menghentikan langkah Senja dan menunjuk ke arah seberang jalan. Tepat seperti dugaan Bima. Senja menatap tajam toko kue tersebut dengan mata yang berseri-seri. "Ya sudah, yuk!" Bima langsung menarik ke dua teman baiknya tersebut. Amarah Senja jelas mereda. Kini hanya bersisa tawa dan canda di antara mereka. Akan tetapi, Bima lagi-lagi berbicara sembarangan. "Kalian, besok jadi ke perpustakaan?" tanya Bima memulai pembicaraan yang di sambut anggukan oleh Senja dan Kinan. "Kalian tahu tidak? Rumor yang kali ini sedang beredar di kampus kita?" Bima tampak serius, begitu juga dengan Senja dan Kinan. "Rumor? Kamu punya pacar?" ucap Senja yang spontan saja membuat Kinan mendelik ke arahnya. "Rumor Senja.. rumor. Bukan gosip." kesal Bima, "Sini deh, aku ceritakan. "Rumornya jika kita terlalu asyik membaca buku di perpustakaan. Tanpa disadari AC perpustakaan akan semakin lama semakin terasa dingin. Kemudian sering terdengar lembaran-lembaran buku yang di buka di salah satu sudut perpustakaan. Tapi, begitu kamu melihat sekeliling hanya ada kamu sendiri di sana." Bima melirik Senja dan Kinan yang kini mendengarkan dengan seksama. "Rumornya lagi, jika kamu tertidur di perpustakaan saat membaca. Dia akan mendatangi mu dan meminta mu membaca buku untuknya. Buku itu berlembar-lembar bahkan bisa lebih tinggi dari mu. Sedangkan tulisan di buku itu tidak bisa di baca. Jika tidak bisa membaca buku tersebut kamu akan di jadikan halaman selanjutnya di buku tersebut," Bima melanjutkan ceritanya. Semua hanya tersenyum kecil mendengar cerita Bima, sedangkan Kinan sudah tampak ketakutan. Kinan memanglah gadis yang penakut. Jelas saja ucapan Bima pasti akan membuatnya resah. "A-aku sering ke perpustakaan tapi tidak pernah mendengar hal itu," Kinan terlihat semakin resah. Ia mencari alasan untuk tidak mempercayai ucapan Bima. "Kamu tidak percaya? Coba tanya sendiri dengan penjaga perpustakaan. Adik-adik kering kita saja sudah sering adu nyali di sana jika kalah taruhan." Bima berkeras. "Ah ... Kinan! Kamu ingat tidak, adik leting yang waktu itu kamu bilang imut. Adik leting kita yang meminjam jurnal mu waktu itu. Katanya dia juga pernah mengalami hal serupa. Dia bilang tiba-tiba saja AC perpustakaan semakin terasa dingin, lalu lampu perpustakaan pun tiba-tiba berkedip dan ..." belum lagi usai Bima bercerita Senja sudah memotong pembicaraan mereka. "Sudahlah, itu kan rumor. Namanya juga anak-anak baru. Mereka masih suka seru-seruan. Kita kan sering ke perpustakaan dan tidak pernah terjadi apa-apa!" Senja menepuk pundak Kinan yang sudah tampak ketakutan. "I-iya juga ya!" Kinan yang masih sedikit was-was berusaha mempercayai Senja. Mereka pun menghabiskan makanan yang telah mereka pesan dan kembali pulang. Kegiatan perkuliahan di tahun akhir memang sedikit membuat pikiran runyam. Namun, hal itu pula yang membuat kita merasa jika waktu ternyata sangat berharga. Keesokan harinya sesuai janjinya bersama Kinan, mereka mengerjakan banyak hal di perpustakaan. Tugas mereka yang terus-menerus menumpuk. Membuat mereka lebih banyak menghabiskan waktu mereka di perpustakaan. Seperti biasa, Senja dan Kinan duduk di tempat favorit mereka. Di sebuah sudut lebih dalam. Dimana tidak banyak orang yang akan berlalu-lalang dan merusak konsentrasi mereka. Tanpa suara, Senja dan Kinan konsentrasi dengan tugas mereka masing-masing. Hanya sesekali mereka bangkit untuk ke kamar kecil atau mengambil dan menyimpan buku. Waktu terus bergulir tanpa terasa matahari pun mulai terbenam. Suhu ruangan di perpustakaan itu terasa semakin dingin dan menusuk. Mereka yang masih asyik dengan tugas dan hanya terdengar gema keyboard laptop yang mengetik sesuatu. Membuat Kinan kembali mengingat perkataan Bima kemarin. Ia pun menghentikan jemarinya yang tengah asyik mengetik tersebut. "Sen, kamu ngerasain juga tidak? Rasanya kok semakin dingin ya?" Kinan terlihat sedikit resah. Kata demi kata yang di lontarkan Bima mendadak memenuhi pikirannya. Kinan pun menatap ke sekitar. Hanya tinggal dia dan Senja saja di perpustakaan tersebut. Senja masih asyik membaca sebuah buku yang lebar dan besarnya membuat kepalanya terbenam di sana. Kinan mengetuk meja di depan Senja dengan telunjuknya, "Senja, kamu dengar tidak? Aku kepikiran kata-kata Bima nih! Suhu di sini juga rasanya semakin dingin." Namun, Senja masih tidak merespon. Kinan semakin menghentakkan jarinya mengetuk meja perpustakaan tersebut. "Senja, jangan becanda dong. Kamu dengar aku, kan!" Kinan yang merasa semakin resah tersebut bangkit dari kursinya. Ia mencoba menghampiri Senja yang ada di depannya. "Jangan-jangan dia pakai headset lagi seperti biasanya. Sampai tidak mendengar ucapan ku," pikir Kinan yang kini tepat berada di dekan Senja. "Senja, kebiasaan deh. Kamu pasti keasyikan dengerin musik seperti biasanya, kan!" Kinan menarik buku yang tengah di baca Senja. "Se .... Sen ...." Bruuuuk.. Kinan terjatuh ke lantai perpustakaan. "Kinan ... Kinan ... bangun!" Senja menggoyangkan tubuh Kinan. Kinan terkejut, ia bangkit dan nafasnya terengah-engah. Ia memandang ke sekitar. Didapatinya suasana perpustakaan yang masih cukup ramai. Orang-orang memandanginya. Ia pun menyadari jika tadi dia sempat tertidur. "Kamu kenapa? Mimpi buruk?" tanya Senja yang merasa reaksi Kinan sedikit aneh. Anggukan kuat terlihat dari Kinan. Ia pun segera mengemas barang-barangnya dan mereka pun segera beranjak dari perpustakaan tersebut. "Bagaimana kalau kita ke kantin dulu? Habis ini kamu mau ngapain lagi?" tanya Senja. Akan tetapi Kinan tidak meresponnya. Kinan masih larut dalam pikirannya, ia teringat akan mimpinya yang mengerikan. Kepalanya jelas terasa sakit bak benar-benar terjatuh ke lantai dan membentur sesuatu, belum lagi suasana dingin di perpustakaan yang masih terasa membuat bulu kuduknya berdiri. Sementara, Kinan juga yakin betul jika ia tidak tertidur saat di perpustakaan tadi. Kinan anak yang cukup jeli, ia tidak mungkin ketiduran di sembarang tempat. Kinan merasa kejadian tadi benar-benar nyata. Sosok yang dilihatnya itu benar-benar sosok yang nyata. Bukan sekedar mimpi ataupun khayalan konyolnya akibat ucapan Bima. "Senja, kamu percaya hantu?" tanya Kinan tiba-tiba begitu mereka sampai di kantin. "Tentu saja!" Senja menjawab dengan cepat penuh keyakinan. "Hmmm ..." Kinan hanya bergumam dan kemudian larut lagi dalam pikirannya. "Kamu benar-benar kelelahan ya? Tadi di perpustakaan kamu ketiduran juga!" Senja tampak mencemaskan Kinan. "Aku kepikiran kata Bima. Aku juga yakin itu bukan sekedar rumor." ucap Kinan penuh keyakinan pada Senja. Masih dengan pandangan matanya yang menerawang. Sejak kejadian itu, Kinan tampak berbeda. Dia sering melamun dan tatapan matanya menerawang. Kinan yang rajin kini mengabaikan tugasnya. Membuat Bima dan Senja semakin resah. Disisi lainnya, Zen yang telah selesai memindahkan barang-barang dari tempat kos lamanya. Kini sedang mempertimbangkan misi selanjutnya. Selama dua hari dia sibuk beres-beres dengan asrama barunya. Ia terlalu senang dengan semua fasilitas yang ada. Begitupula dengan Runa, Runa yang membiarkan Zen dengan aktivitas lebih fokus melakukan latihan fisik sambil mencari misi yang lebih cocok dia lalukan dengan Zen. "Zen harus mencoba kemampuan yang sudah di latihnya. Kira-kira misi yang mana ya?" Ting ... Satu notifikasi terdengar dari handphone Runa yang masih di pegangnya. "Runa!" Zen berteriak seraya membuka pintu kamar Runa. "Kyaaaaaa...." teriak Runa. Teriakan khas wanita yang biasa di dengar di sebuah film drama. Teriakan yang membuat salah faham. Teriakan yang selalu ada di n****+ romansa. Jelas saja sebab saat itu, tampak di salah satu sisi tembok kamar, Runa dengan posisi terbalik dengan kaki yang ke atas dan kepalanya di bawah. Ia menahan tubuhnya dengan satu tangan. Sedangkan tangan lainnya memainkan handphone miliknya. "Ru ... Runa!" Zen yang masih terkejut dan tergagap itu menatap lekat Runa. "Keren! Bagaimana kamu bisa seperti itu?" mata Zen berbinar-binar menatap Runa yang kini sudah duduk di sofa. "Ada apa sih?" Runa sedikit kesal. Pasalnya Zen masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Ia menerobos kamar wanita sesukanya. "M-maaf!" Zen menundukkan kepalanya. "Telat," ketus Runa. "Ada apa? Jangan bilang kamu masuk kamar wanita sembarangan dengan alasan yang remeh. Jika alasannya tidak masuk akal. Awas saja kamu, Zen." Melihat mata Runa yang sudah menatapnya tajam. Zen merasakan aura membunuh yang menekan kuat dirinya. "Aku, lihat misi ini. B-bagaimana jika kita lanjut bekerja saja!" Zen menunjukkan sebuah misi yang baru saja muncul di aplikasi paraNORMAL dan menunjukkannya pada Runa. Meski dengan kekesalan yang memuncak. Runa masih berusaha tetap tenang dan memaafkan Zen. "Ya, mungkin dia masih menggebu-gebu ingin mencoba kemampuan baru yang telah dipelajarinya!" ucap Runa dengan setengah berbisik. "Hee ..." Zen tersenyum dengan lebar menunjukkan giginya yang berjejer rapih. Runa melihat misi yang ditunjukkan oleh Zen. Benar saja sesuai dugaan Runa. Zen juga akan mengambil misi tersebut. Menurut Runa, Zen itu benar-benar cerdik. Ia paham betul sebatas mana kemampuannya, ia cepat tanggap dan belajar dengan cepat, di kondisi yang tidak terduga ia juga bisa cepat mengambil keputusan dengan tepat. Runa pun tersenyum dan berkata, "Bersiap-siaplah kita langsung ke sana!" Tanpa membutuhkan waktu yang lama. Zen dan Runa sudah siap dengan pertempuran mereka selanjutnya. Misi kali ini di minta oleh seorang mahasiswa. Meski bayarannya tidak sebesar misi saat menyelamatkan Linda. Tapi di misi kali ini Zen merasa benar-benar bisa menggunakan kemampuan barunya. "Hantu perpustakaan!" ucap Zen begitu tiba di sebuah kampus tersebut. "Apa benar di sini ada hantu?" meski menerima misi tersebut dari aplikasi paraNORMAL. Runa meragukan hal tersebut. Melihat Runa yang ragu, Zen jadi semakin bingung. Pasalnya jika Runa saja bingung atas kebenaran hantu tersebut, apalagi dirinya yang baru masuk dalam Aliansi paraNORMAL. Jelas saja dia masih tidak terlalu peka pada situasi yang melihatnya berbagai jenis makhluk gaib. "Runa, kamu kok ngomong gitu?" Zen menatap dengan mata yang berkaca-kaca. "Habisnya, ini kan kampus bocah itu. Bocah itu tidak pernah cerita tentang hantu di kampusnya," gerutu Runa. Zen hanya menyipitkan matanya begitu mendengar ucapan Runa. Senyum simpul pun terlihat dari wajah Runa, ia geli dengan tingkah konyol Zen yang menyipitkan matanya tersebut. "Ya, sudah. Yuk, kita masuk!" Mereka melangkahkan kaki dengan penuh percaya diri ke arah perpustakaan. Zen tampak begitu semangat. "Kamu membiarkan aku mencobanya, kan!" ucap Zen dengan penuh harap yang di sambut anggukan oleh Runa. Setibanya mereka di sana. Runa dan Zen nyaris tidak menemukan sesuatu yang ganjil dari perpustakaan tersebut. Berkali-kali mereka berputar, mengelilingi perpustakaan namun hal ganjil juga tidak ditemukan. "Aneh, sama sekali tidak ada jejak makhluk gaib disini." Runa meletakkan kedua tangannya di pinggangnya. Seperti yang di katakan Runa, jika makhluk gaib mengeluarkan aura. Aura tersebut akan meninggalkan jejaknya di dunia nyata. Di tempat makhluk tersebut bersembunyi. Meski sedikit, tapi makhluk gaib pasti meninggalkan jejak. "Apa dia bersembunyi di balik lembaran kertas?" Runa berbicara sembarangan. Tapi, ucapan Runa tersebut justru membuat Zen terbelalak kaget. "Kalau iya, artinya kita harus mencari jejaknya di setiap lembaran buku di sini?" Pandangan mata keduanya kini berputar. Melihat ke sekeliling. Susunan buku yang bertumpuk tiada akhir. Bisa dibayangkan oleh mereka berdua. Jika memang harus memeriksa tiap lembar buku di sana. "Runa, apa bisa di batalkan saja misinya?" Zen tampak memohon. "Tidak bisa!" seru Runa tegas. "Aku saja, waktu sekolah tidak pernah ke perpustakaan. Sekarang kita harus mengecek seluruh buku di perpustakaan ini?" gerutu Zen yang masih menatap jejeran buku yang tersusun rapih di seluruh ruangan perpustakaan tersebut. "Perpustakaan sekolah ku yang sempit aja. Aku tidak pernah niat membaca bukunya. Ini sih ukurannya puluhan kali lipat dari perpustakaan sekolah ku," gerutu tiada akhir dari Zen yang masih terus keluar. Runa hanya tertawa renyah dengan tingkah Zen yang jelas terlihat setengah hati. Meski dia sendiri juga merasakan hal yang sama. Bagi Runa, bertempur mati-matian lebih bisa dijalankan olehnya daripada harus menghadapi tumpukan buku di depannya seperti saat ini. "Kenapa juga, aku tidak memperhitungkan ini, ya!" kini giliran Runa yang mulai menggerutu begitu ia menyentuh rak kedua di perpustakaan tersebut. Jelas, kali ini giliran Zen pula lah yang terkekeh geli dengan kegiatan konyol mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD