9. Sedikit lagi ... ...

2236 Words
Mereka pun terkekeh geli dengan kegiatan konyol tersebut. "Rasanya berkali-kali lipat lebih baik jika kita bertempur habis-habisan dengan makhluk gaib daripada harus berurusan dengan tumpukan buku ini," ujar Zen seraya menghela nafasnya. Bak bisa membaca isi pikiran Runa, Zen mengatakan hal tersebut. Namun, siapa yang menyangka jika semua itu menjadi nyata saat ini. Hentakan keras dirasakan oleh Runa. Begitupula dengan Zen. Ia merasakan gelombang aneh yang mengguncang tubuhnya serta hentakan dari bawah tanah yang juga ikut mendorong tubuhnya. Mereka berdua tersandar pada rak buku di hadapan mereka. Zen mendelik ke arah Runa, ia menatap tajam tanpa sepatah katapun. "Jangan-jangan ini ..." Runa berlari ke arah penjaga perpustakaan dan bertanya sesuatu padanya lalau Runa berteriak, "Zen, ayo! Tiap fakultas pasti punya perpustakaan. Bukan hanya ini perpustakaan di kampus ini." Baru saja Zen hendak menghampiri Runa. Sebuah ledakan besar terdengar menggelar tak jauh dari posisi mereka. Langkah Zen ikut terhenti saat mendengar hal tersebut. Begitu pula dengan Runa yang wajahnya terlihat khawatir. "Ayo cepat!" Runa dan Zen berlari ke arah sumber suara tersebut. Meski itu terdengar sangat besar. Namun anehnya tidak ada orang yang panik dan berlarian. Kecurigaan semakin besar saat Runa dan Zen mendekati sebuah perpustakaan di arah suara-suara ledakan tersebut. Kali ini, gelombang besar energi makhluk gaib menyelimuti seluruh gedung besar tersebut. "Ternyata perpustakaan yang ini!" Zen menatap heran gelombang yang cukup besar tersebut. Bagaikan lubang hitam yang siap menyedot siapapun. Jilatan listrik juga terlihat menggeliat di sekitar gedung. Awan hitam bak di efek film terlihat dengan sangat jelas. Belum lagi suara guntur yang menggelegar dan petir yang menyambar menambah kesan misterius perpustakaan tersebut. "Mustahil jika energi sebesar ini baru terlihat. Pasti ada sesuatu yang terjadi di dalam. Zen ayo kita masuk!" ajak Runa seraya menarik tangan Zen. Tapi, Zen tiba-tiba mengehentikan langkah kakinya. Ia ragu untuk masuk ke dalam lubang energi tersebut. "T-tunggu Runa ..." "Tidak apa-apa, kan ada aku!" seru Runa meyakinkan Zen. Tentu saja, Zen tidak pernah membayangkan jika energi yang muncul akan sebesar itu. Begitupula dengan Runa. Runa juga tidak menyangka jika misi sederhana mereka bisa menjadi misi yang rumit. "Aku sudah memanggil bantuan. Kita tidak bisa membiarkannya begitu saja, kan!" Akhirnya, Zen pun memberanikan dirinya. "Loh, Renji ..." Runa dan Zen bingung begitu masuk ke dalam lubang energi tersebut. Renji sudah berada di sana. Renji tampak terengah-engah, tubuhnya penuh luka di sana-sini. Beberapa waktu yang lalu. Senja kembali mengerjakan tugasnya di perpustakaan. Kali ini, senja datang sendirian. "Huh, Kinan. Kenapa sih, jadi aneh gitu. Setiap di ajak ke sini selalu saja menghindar. Dia juga selalu cepat pulang dan lebih sering diam," keluh Senja. Senja pun mengingat kembali keanehan Kinan terjadi sejak terakhir kali mereka ke perpustakaan. "Apa gara-gara mimpi buruk di perpustakaan waktu itu ya?" "Ini semua salah Bima. Bisa-bisanya dia nakutin Kinan begitu!" Senja terus menggerutu. "Bu, memangnya benar gitu di sini ada hantu?" tanya Senja begitu saja, saat ia tiba di meja penjaga perpustakaan. Sang ibu tersebut tersenyum. Sudah banyak yang bertanya tentang hantu perpustakaan padanya. Tidak heran, jika ada satu orang lagi yang juga bertanya. Ibu tersebut menjawab dengan santainya, "Katanya sih ada, tapi selama saya bertugas. Saya belum ketemu langsung dengan hantunya tuh." "Tuh kan, tidak ada. Kalau memang hantu itu ada, masa aku tidak tahu," Senja pun langsung mengerjakan tugasnya di tempat biasa. Sore itu memang sedikit mendung, petir yang sesekali menyambar memang terkadang menarik perhatian Senja. Ia menatap nanar ke jendela luar. Ia pun kembali mengingat Kinan yang kini tidak ada bersamanya. "Sepi," ucapnya dengan nada lirih. Senja pun menyelesaikan tugasnya dengan segera. Ia bergegas sebelum hujan benar-benar turun. Akan sulit baginya pulang jika sudah turun hujan. Tap ... Tap ... Tap ... Langkah kaki Senja yang berlari terdengar dengan jelas mengisi lorong yang sepi. "Cepat, cepat, cepat," ujarnya seraya terus berlari mengejar waktu sebelum hujan benar-benar turun. Namun, naas. Begitu senja turun dari anak tangga gedung perpustakaan tersebut. Hujan pun turun dengan derasnya. Hujan yang sangat lebat, seketika membuatnya kembali ke perpustakaan. "Hah, aku kembali lagi!" ucapnya dengan senyumannya yang lebar merekah. Ibu yang menjaga perpustakaan ikut tersenyum dan berkata, "Disini saja sampai hujannya reda." Senja mengangguk keras. Ia melihat ke sekitar perpustakaan tersebut yang terlihat tidak ada orang kecuali mereka berduaan. "Kamu takut, hantunya muncul?" tiba-tiba ibu penjaga perpustakaan tersebut bertanya hal tersebut. "Tidak. Tumben aja, jam segini di perpustakaan sudah sepi?" tanya Senja. "Sepi sih, yang lainnya sudah pada pulang waktu melihat awan mendung." Senja pun kembali ke tempat favoritnya. Ia memutuskan untuk menyelesaikan beberapa tugasnya saja sambil menunggu hujan reda. Hujan pun tak kunjung reda. Senja sudah mulai pegal duduk di kursi perpustakaan tersebut. Ia meregangkan punggungnya. Senja pun kembali melihat ibu penjaga perpustakaan yang juga terlihat membukukan tubuhnya di atas meja. Kring ... Kring .... Kring ... Handphone ibu tersebut berdering. Namun, sang ibu tersebut tidak kunjung bangun. Ia benar-benar tertidur lelap. "Duh, si ibu. Di perpustakaan kan tidak boleh berisik. Si ibu, handphonenya ..." mendengar handphone ibu tersebut yang terus berdering, Senja memutuskan untuk membangunkan ibu tersebut. Senja menghampiri meja ibu tersebut dengan perlahan. Meski segan, suara handphone ibu tersebut tidak kunjung berhenti berdering. Senja akhirnya tiba tepat di meja tersebut. Ia sedikit kesal karena suara berisik dari handphone tersebut benar-benar melanggar peraturan perpustakaan. "Bagaimana sih! Ibu yang jaga perpustakaan justru ibu yang langgar peraturan perpustakaan." Senja kesal dan menggerutu pelan. "Bu, bu ... Ibu ..." Senja mengguncang punggung ibu tersebut. Akan tetapi, ibu tersebut tidak kunjung bangun. "Bu, handphone ibu berdering di perpustakaan. Mungkin ada telepon penting." Lagi-lagi, tidak ada respon dari ibu tersebut. Senja mulai curiga. Mendadak suasana yang di gambarkan Bima kini terjadi. Udara sekitar yang mulanya dikira semakin dingin karena hujan, tapi justru membuat bulu kuduknya merinding. Suara petir yang menyambar dan hanya menyisakan suara detak jam dinding serta lembaran kertas yang tertiup angin, membuat perpustakaan kala itu benar-benar menjadikan siapa saja merasa ngeri. Tiba-tiba saja, listrik padam dan hanya menyisakan cahaya sambaran petir. Senja tanpa rasa segan lagi membangunkan Ibu penjaga perpustakaan tersebut. Ia menyalakan handphone sebagai senter. Menyorotnya ke arah Ibu tersebut. "Aaaaa ..." Senja berteriak begitu ia mendorong tubuh penjaga perpustakaan tersebut. Tubuhnya lunglai dan terjatuh ke lantai. Senja sempat berpikir jika ibu tersebut pingsan. "Bagaimana ini? Ibu ini tidak mati kan," ucapnya cemas. Tepat di lantai perpustakaan, di balik meja besar penjaga perpustakaan. Senja mencoba menarik tubuh ibu tersebut. Betapa kagetnya Senja, ketika melihat wajah ibu tersebut yang tanpa mata dan hidung. Hanya mulut lebar yang besar beserta susunan gigi yang runcing tersenyum lebar ke arahnya. Tangan Senja bergetar dengan handphone di tangannya, ia segera mungkin mencoba menelepon seseorang. Seseorang yang bisa membantunya. Senja yakin yang di lihatnya itu bukanlah makhluk gaib biasa. "C-cepat angkat. Ayo dong, di angkat ..." Kyaaaaaa ... Teriakan Senja pun terdengar menggema di seluruh perpustakaan. Sementara di balik telepon, Renji yang mendengar hal tersebut bergegas menuju kampus Senja. Renji berlari kencang. Ia pun mencari lokasi Senja dengan kemampuan yang di miliknya. "Senja, bangun Senja!" tanpa mengalami kesulitan Renji sudah tiba di lokasi. Blar ... Blar ... Blar ... Makhluk gaib yang berada tak jauh dari Senja sudah menatap tajam ke arah Renji. "Tidak ada waktu lagi. Makhluk itu harus segera di singkirkan," Renji langsung memanggil bantuan dari Aliansi paraNORMAL. Renji yakin jika makhluk gaib kali ini berasal dari ras Iblis. Tidak main-main. Energi yang terpancar juga sangat besar. Tidak cukup jika hanya dia sendiri yang harus menguras habis energi makhluk tersebut. Senja yang sudah pingsan di tengah tumpukan rak buku yang berjatuhan. Hanya bisa Renji sandarkan. Ia melepas jaketnya dan menyelimuti Senja dengan jaket tersebut. "Apa yang kamu lakukan padanya?" Amarah Renji yang semakin memuncak membuatnya tidak ragu lagi menantang makhluk tersebut. Ia mengeluarkan senjatanya yang merupakan pedang ganda. Pertempuran sengit pun terjadi di antara keduanya. Renji yang sudah mulai kelelahan dan makhluk tersebut yang justru seolah mempermainkan Renji. "Sialan, gumpalan energinya tidak berkurang. Sebanyak apa sih, energi yang di miliki makhluk itu." Lagi, Renji menyerang makhluk tersebut bertubi-tubi. "Sedikit lagi ..." Renji tampak masih belum menyerah. Ia melesat dan menyayat tubuh makhluk tersebut. Tapi, sama sekali makhluk tersebut tidak bergeming. "Aaargh ..." pekik Renji. "Hahaha.." tawa makhluk tersebut menggelegar. Renji semakin kesal. Melihat mulutnya yang besar itu semakin melebar dan terkoyak akibat tertawa. Tapi, hal tersebut justru membuat Renji melihat celah dari makhluk tersebut. Renji pun berlari dengan kecepatan tinggi di tengah makhluk tersebut yang masih terbuai dengan tawanya. Jleeb ... Renji menancapkan kedua pedangnya kedalam mulut makhluk tersebut. Terlihat sebuah cahaya merah dari dalam mulutnya. Renji bisa menduga jika itu adalah titik lemah makhluk tersebut. Arrrh... Greeeeek... Makhluk tersebut merintih dan tiba-tiba saja, Duaaaar... Ledakan besar dari makhluk tersebut yang sontak saja membuat tubuh Renji terpelanting jauh menghantam rak buku. Dengan susah payah, Renji berusaha bangkit. Tubuhnya mulai terasa nyeri di sana-sini. Berbeda dengan makhluk tersebut yang sekarang justru semakin besar dan terlihat mengerikan. "Jangan-jangan tadi itu segel." "Dasar, Renji bodoh!" ucapnya memaki dirinya sendiri. Diwaktu yang bersamaan, Runa dan Zen tiba di perpustakaan tersebut. "Loh, Renji ..." Runa dan Zen bingung begitu melihat Renji sudah berada di sana dengan kondisi yang sangat mengkhawatirkan. Tanpa pikir panjang lagi. Runa mengeluarkan senjata andalannya. Sebuah pisau kecil ia keluarkan dari balik jubahnya. Kemudian entah dari mana pisau-pisau tersebut bertambah banyak dan bertebaran. "Keren," tanpa sadar Zen hanya memandangi pertempuran tersebut. "Hei, jangan bengong. Bantu kami." teriak Renji yang sudah terlihat kelelahan. Zen bingung, ia tidak tahu harus berbuat apa. Dia tidak memiliki senjata, dia juga tidak tahu caranya bertempur dengan makhluk gaib. Zen selama ini hanya menerima materi dan berlatih sedikit. Tapi tidak ada latihan untuk bertempur dengan makhluk gaib. "Aku harus bantu apa?" Zen yang kewalahan tersebut akhirnya hanya melempar buku-buku pada makhluk gaib tersebut. Tak ... Satu buah buku menghantam kepala Renji. Renji terlihat kesal. "Kamu ini. Benar-benar deh. Jangan bilang kamu juga tidak tahu bagaimana bertempur dengan makhluk gaib?" "Hey, level D satu-satunya. Hajar saja dia. Kamu kan paraNORMAL. Ada atau tidak senjata tubuhmu sejatinya adalah senjata." Renji mengepalkan tangannya menunjukkan cara terakhir jika tidak memiliki senjata bagi setiap paraNORMAL. Tubuh Renji semakin melemah. Ia yang sudah tak mampu memegang kedua pedangnya hanya bisa bertempur dengan tangan kirinya. Tangan yang juga sudah berceceran darah. "Kuat sekali makhluk itu,' Zen tampak ragu begitu ia berdiri di dekat Renji. "Dia level S dan dari bangsa Iblis. Ras Iblis paling sulit untuk di kalahkan. Regenerasi energinya terlalu cepat. Jika bantuan tidak cepat datang. Runa juga tidak akan bertahan lama." Renji mencoba menjelaskan di sela istirahatnya. Sedangkan Runa masih dalam pertempuran yang cukup sengit. "Mengerikan," itulah yang terpikirkan oleh Zen. Begitu menghadapi makhluk tersebut. Tubuhnya besar mendekati langit-langit perpustakaan yang tinggi. Tubuhnya bak kain hitam yang sobek. Mulutnya menganga besar, gigi-gigi yang berjajar runcing seolah bisa menyayat tubuhmu kapan saja. Tangannya yang panjang dan menjulur ke lantai membuat siapa pun yang terkena libasan tangannya akan terhempas jauh. "Mana mungkin aku harus menghadapi makhluk tersebut dengan tinjuku," ucap Zen kaku. "Lakukan saja Zen, lakukan apapun yang kamu bisa. Aku sudah tidak bisa bertahan lebih lama lagi," pekik Renji yang mulai kembali bertarung. "Ya, sudah lah. Kita coba saja." Zen mengambil ancang-ancang untuk menyerang makhluk tersebut. Namun, langkahnya yang sudah berlari beberapa meter itu terhenti. "Ya tuhan, Dewa, Raja Iblis, Mba Author, atau siapapun itu ... Zen mohon, lindungi Zen. Amiin!" Doa Zen yang tiba-tiba muncul itu membuat Runa dan Renji tercekat. Ctaaaak ... Hantaman makhluk tersebut mengenai tubuh Runa yang lengah. Runa mengerang kesakitan. Ia tubuhnya menghantam langit-langit perpustakaan yang tinggi dan terjatuh ke lantai. Lubang besar di lantai tersebut terbentuk dari hantaman tubuh Runa. "Runa!" Zen berteriak memanggil nama Runa. Ia menghampiri Runa yang terkapar di dalam lubang tersebut. Zen menggendong tubuh Runa yang kini sudah tak sadarkan diri. Renji yang sudah kesulitan untuk menopang dirinya pun kini terjatuh ke lantai. Murka yang membara terlihat dari wajah Zen. Zen meletakkan tubuh Runa di samping Senja. "Kamu melukai semua teman-teman ku!" pekik Zen yang murka. Ia pun berlari kencang tanpa ragu. Buuuuuk ... Blaaaaar ... Hantaman keras dari Zen mengenai wajah makhluk tersebut. Bak bisa terbang, tubuh Zen terasa ringan. Ia bisa melesat cepat dan loncat dengan lincah dan tinggi. Pukulan Zen yang mengenai makhluk tersebut membuat tubuh makhluk tersebut terhempas. "Bagaimana bisa kamu memukul ku?" makhluk tersebut ikut tercengang. Ia tak menyangka jika tubuhnya bisa terjerembab hanya dengan sekali pukulan. "Tidak hanya memukul mu. Aku akan membunuhmu jika kamu tidak enyah dari sini!" ucap Zen dengan tatapan dan aura membunuhnya. Makhluk tersebut menatap ke arah Zen, "Tu-Tuan ..." ucapnya terbata-bata. "Pergi dan jangan muncul di hadapan ku lagi," titah Zen dengan aura membunuh yang kuat. Makhluk tersebut tampak ketakutan. Tubuhnya kembali mengecil, ia berlutut bak memohon ampunan. Zen yang amarahnya masih membara tidak memperdulikan ucapan makhluk tersebut yang terdengar samar. "Tu-Tuan ampuni aku tuan," pinta makhluk tersebut yang kini sudah bersujud di bawah kaki Zen. "Pergi," pekik Zen dengan tatapan yang tajam. "B-baik tuan." Makhluk tersebut pun melebur dengan sendirinya. Seketika itu, suasana di perpustakaan kembali normal. Bak tak terjadi apapun. Rak yang rusak kembali berdiri kokoh. Buku-buku yang berserakan kembali berjajar rapih. Zen yang masih memendam amarahnya melangkah mendekati Runa. "Runa," ucap Zen lembut seraya mengusap pipi Runa. "Zen, makhluk itu ..." Runa yang sudah kembali sadar menatap ke arah Zen dengan nanar. "Semua sudah baik-baik saja," terukir seulas senyuman dari Zen. Kesadaran Runa kembali menurun, Runa bersandar di tubuh Zen dan pingsan. Bersamaan pula dengan bantuan dari Aliansi yang baru saja tiba. Mereka membawa Renji dan Senja yang juga Runa dengan mobil ambulans. Sementara Zen sepanjang jalan hanya duduk terdiam di dalam mobil Tuan Guntur.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD