CHAPTER 9

1595 Words
Mami nggak bisa kayak gini?! MAMI NGGAK BISA AMBIL KEPUTUSAN SENDIRI?! MAMI!!!" Tayra menjerit histeris di dalam kamar. Erika sudah hilang di balik pintu. ... Seluruh keluarga berkumpul di ruang makan pagi ini, kecuali Tayra. Perempuan itu tidak tampak batang hidungnya. Suasana di meja makan terasa sama seperti biasa. Tenang dan damai. Entah mereka belum tau tentang masalah besar tadi malam atau mereka memang tenang dalam menghadapinya. Bahkan Gunawan yang baru kembali dari Eropa jam 3 pagi tadi terlihat menikmati makanannya dengan santai. "Pi..." Erika memanggil suaminya yang sedang berjalan menuju ruang kerjanya itu. Gunawan menoleh. Ia turunkan kaca matanya sedikit. "Ada yang mau mami bilang.." Gunawan menatap sang istri cukup lama, sebelum kemudian ia berikan anggukan. ... "Apa? Nyokap lo tau? Gimana bisa?" "Panjang ceritanya, ntar aja gue ceritain. Sekarang lo harus bantuin gue.." Tayra bicara sedikit berbisik di telepon. "Apa yang bisa gue bantu?" "Lo di mana sekarang? Jemput gue please.." "Lo di mana? Di rumah?" "Iya. Gue—" "TAYRA!" Erika tiba-tiba muncul dari balik pintu. Ia melangkah cepat ke tempat Tayra. "Mam—" "Jangan coba-coba mau kabur ya kamu. Sini hape kamu!" "Mam!" Erika merebut paksa ponsel Tayra dan ia mendapatkannya. "Mami nggak bisa kayak gini!" Tayra protes. Erika mematikan ponsel itu kemudian menatap sang putri. "Apa yang nggak bisa kayak gini?! Kamu nggak punya pilihan! Harusnya kamu itu merasa bersalah! Harusnya kamu minta maaf sama Mami!" Suara Erika semakin meninggi. Tidak takut. Tayra justru menatap sang Ibu dengan d**a menggebu-gebu. "Kenapa?" Tanya Tayra pelan. "Kenapa Tay harus minta maaf sama Mami?" Erika melotot. Ia terlihat bersusah payah menahan emosi dan amarahnya. "Selama beberapa hari ini kamu nggak boleh ke mana-mana. Kamu diam di rumah." "Tay harus kuliah.." "Mami udah urus urusan kuliah kamu. Sementara kamu nggak usah masuk kuliah dulu, sampai masalah ini selesai.." Tangan Tayra mengepal. "Apa menurut Mami masalah ini bisa selesai? Mami nggak akan dapat apa-apa dengan nahan Tay kayak gini.." Erika mengabaikan protes putrinya. Ia tetap berbalik melangkah menuju pintu. "Mami nggak akan pernah bisa nyelesaiin masalah Tay. Sampai kapanpun!" Jerit Tayra bersamaan dengan tertutupnya pintu. Tayra terduduk di kasurnya. Ia pijat keningnya. Kepalanya terasa mau meledak. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Sumpah! Ia tidak mau menikah sekarang, apalagi dengan Abi! ... "Duh malah putus, halo Tay.." Minda menatap layar ponsel yang sudah menampilkan menu home. "Min.." Minda tersentak kaget saat Abi tiba-tiba muncul di depannya. "Anjir, Abi! Gue kaget b*****t!" Makinya tanpa ampun. Melepaskan dendam sebenarnya. Abi terlihat tak perduli meski Minda baru saja memakinya terang-terangan. "Tayra mana?" Minda menatap laki-laki yang memakai kemeja hitam lengan panjang itu. Hebatnya Abi adalah ia cocok dengan tampilan apa saja. Dan dia selalu memakai semua jenis style. Dari yang paling santai, biasa sampai yang formal. Seperti hari ini. Dia sangat rapi. Meski tetap tidak bisa menutupi kebejatannya di mata Minda. "Ngapain tanya gue?!" Jawab Minda ketus. Abi menatap perempuan itu dengan ekspresi datar beberapa detik. Kemudian ia tiba-tiba melangkah maju membuat Minda otomatis mundur hingga membentur dinding. "Abi!" Minda menahan Abi dengan kedua tangannya karena hampir tidak ada jarak di antara mereka. "Mau lo apa sih?!" Minda mengalihkan wajah ke arah lain karena saat ini wajah Abi benar-benar berada tepat di depan wajahnya sendiri. Jika saja Abi memajukan wajahnya satu senti lagi, sudah pasti bibir itu menempel di bibir atau pipi Minda. "Lo tau kan betapa gilanya gue. Nggak perlu gue ingetin kan?" "Iya iya. Tayra nggak ada, nggak kuliah dia.." "Kenapa dia nggak masuk? Dia ke mana? Nomornya juga nggak aktif.." Minda susah payah mengatur napasnya. Bukannya ia berdebar bahagia berada dalam jarak sedekat ini dengan Abi. Yang ada ia rasanya mau menghajar Abi sekarang. Tapi ada daya dia perempuan dan dia sendirian saat ini. Sedangkan Abi bersama temannya, Jun. "Dia di rumahnya..." Minda beranikan melirik Abi sebentar. "Kasih tau yang lengkap. Gue tau lo tau sesuatu.." potong Abi. "Ya minggir dulu. Gue nggak bisa napas.." "Mau gue salurin oksigen? Boleh, dengan senang hati.." Abi siap memajukan wajahnya dan Minda langsung menutup wajahnya dengan kedua tangan yang sudah terjepit. "Ok, ok. Tayra di rumahnya, lagi sakit. Nggak boleh ke kampus sama Maminya.." Minda berharap Abi percaya. Jika dilihat dari gelagatnya sepertinya Abi belum tau apa-apa. Minda tidak ingin keceplosan dan memperburuk situasi. Ya meskipun Mami Tayra sudah tau. Cepat atau lambat pasti Abi akan tau. Yang jelas Minda tidak ingin Abi tau dari dirinya. "Tayra masih sakit?" "Hm, iya.." jawab Minda asal. "Lo nggak bohong kan? Nggak sengaja kan nyembunyiin Tayra dari gue?" "Nggak. Lihat aja ke rumahnya kalau nggak percaya.." dan Minda menyesali kalimatnya. Harusnya ia tidak mengatakan itu. Salah jika ia mengatakan itu pada orang macam Abi. "Ok." Akhirnya Abi melepaskan Minda. Perempuan itu menghela napas lega. "Awas aja kalau lo bohong.." ancam Abi. "Lo nanya sama gue buat apa kalau nggak percaya?" Minda menatap Abi sinis. Abi hendak maju saat Jun menahan tangannya. Laki-laki itu menggeleng. Abi memutar bola matanya. "Untung lo.." katanya menunjuk Minda. Minda menaikkan kedua alisnya cuek. "Gue tanya serius sama lo, Bi," ucap Minda akhirnya membuat Abi menatapnya. "Lo kenapa sih gangguin Tayra mulu? Biasanya lo nggak pernah jalan lebih dari seminggu sama satu cewek. Dan nggak pernah jalan dua kali sama cewek yang sama.." Minda melipat tangannya di d**a, menatap Abi serius. "Gue nggak perlu jawab pertanyaan lo.." Abi mengeluarkan ponselnya. Kemudian sibuk dengan benda pipih itu. Minda menyeringai. "Jangan-jangan lo suka beneran sama Tayra.." Abi langsung mengangkat wajahnya, menatap Minda tajam. Tapi kemudian ia membuang napas kasar. "Kalau aja bukan karena temen gue, udah gue beri lo.." katanya. Ia dan Jun kemudian pergi dari sana. Minda mengendikkan bahu. "Ngomong apa sih tuh orang?" ... Abi benar-benar sudah dalam perjalanan menuju rumah Tayra saat ponselnya berdering. "Angkat bro," kata Jun saat dering itu sudah yang ke tiga kali. "Kali aja penting.." Jun tau kalau orang tua Abi tidak akan menelpon sekedar bertanya kabar. Apalagi yang menelpon papinya. Sudah pasti penting! "Hallo.." Abi menekan tombol jawab di mobilnya yang terhubung langsung dengan ponsel. "Kamu di mana?" "Jalan." "Papi tunggu di hotel dalam sepuluh menit." "Tap—" belum sempat Abi menjawab sambungan sudah diputus. Laki-laki itu mendengus kesal. "Kenapa?" tanya Jun. "Bokap nyuruh ke hotel.." Abi langsung memutar arah mobilnya di tengah jalan tak perduli ada mobil lain yang lewat. "Kalau gitu gue minta jemput sama Renno.." "Nggak usah. Tunggu aja di mobil. Paling lama gue lima menit.." Abi melaju mobil sportnya membelah jalanan. ... Abi hampir mengumpat karena mengira Papinya sedang mempermainkannya. Untuk apa dia datang mendengarkan obrolan orang tuanya tentang pernikahan Argio dan Cenilaa, kakak Tayra? Awalnya Abi mengira begitu karena saat sampai di private area di restoran hotelnya, ia melihat di meja yang sama ada kedua orang tua Tayra. Untuk apa dia datang mendengarkan masalah orang lain? "Duduk.." perintah sang papi. Abi menurut karena tau hanya akan buang-buang waktu jika ia membantah. Lebih cepat lebih baik. Diam adalah solusi agar semua berjalan cepat. Kini perhatian ke empat orang itu tertuju pada Abi. Rasanya seperti sedang di pengadilan dan dia adalah terdakwa. Situasi macam apa ini? "Apa?!" Abi langsung bangkit dari duduknya. "Papi ngomong apa barusan? Nikah? Aku nikah sama Tayra?!" Abi tak pernah sekaget ini dalam hidupnya. Bahkan saat maminya kabur dari rumah ia tidak sekaget ini. "Papi pasti bercanda.." Tapi tak ada raut bercanda di wajah Ram Agala. Pun kedua orang tua Tayra. Abi mengerutkan kening. "Tapi kenapa?" tanya Abi akhirnya. "Bukannya Argio sama Cen yang mau nikah? Kenapa Abi sama Tayra jadi ikut dijodohin?" Ram menghela napas berat. Sepertinya ia sangat lelah menghadapi anaknya ini. "Duduk! Harusnya kamu tau betul alasannya, Abi," ucap Ram. "Maaf ya, Guna, Erika. Kalian harus mengalami ini.." Erika menggeleng pelan. Ekspresinya sulit dijelaskan. Sedangkan Gunawan terlihat tenang. "Maksud Papi apa?" tanya Abi dengan kening mengerut. Erika mengulurkan sebuah amplop coklat yang dari tadi dipegangnya pada Abi. Dengan ekspresi bingung Abi menerimanya. Dan untuk kesekian kali Abi terkejut begitu melihat apa yang ada di dalam sana. Itu foto-foto dirinya dan Tayra. Bahkan ada foto mereka berdua saat di apartemennya. Meskipun wajah Tayra tidak terlihat di sana. Tapi dengan foto-foto saat mereka masuk ke dalam apartemennya sudah jadi jawaban kalau itu Tayra. Abi mengumpati Argio di dalam hati. Sepertinya Argio sudah memfotonya diam-diam. Abi rasanya ingin menguliti laki-laki itu saat ini. Tapi rasa terkejutnya belum selesai sampai ia membaca tulisan pada kertas putih dengan kop sebuah rumah sakit itu. Abi sempurna membeku. "Tayra hamil?" Tanyanya hampir tanpa suara. Kerongkongannya tercekat dan udara rasanya tidak masuk lagi ke saluran pernapasannya. Ram menarik napas dalam. "Papi rasanya nggak perlu menjelaskan atau bertanya sama kamu. Percuma jika Papi bertanya panjang lebar. Intinya, kamu dan Tayra harus menikah.." "Pi.." "Jangan membantah Abi! Belajarlah bertanggung jawab!" Suara Ram meninggi. Amy sang istri menyentuh lengan Ram, menenangkan sang suami. Laki-laki itu membuang napas perlahan. "Sekali lagi maaf, Guna.." "Ini bukan hanya salah Abi, ini juga salah Tayra," Gunawan akhirnya membuka suara. "Salah kita juga.." sambungnya tenang. Hampir tak ada emosi dalam nada suaranya. "Kamu beruntung Om Guna baik. Kalau Papi jadi Om Guna udah Papi kulitin kamu.." Abi masih terlalu shock untuk memberikan tanggapan apapun. Ada banyak sekali isi kepalanya saat ini. Dan Abi sama sekali tidak takut pada Papinya. ... "s**t!" Akhirnya Abi mengumpat, memukul kemudi stir dan membuat Jun yang duduk di sebelahnya terkejut. Sejak lima belas menit lalu kembali, Abi terlihat aneh. Tapi Jun tidak bertanya karena suasana hati Abi tampak sangat tidak baik. Abi menghentikan mobilnya di pinggir jalan. Ia menutupi wajahnya dengan sebelah tangan. "Kenapa Tayra nggak ngasih tau gue?! b******k!!" Abi menurunkan tangannya, menatap jalanan lurus di depan. "Tayra hamil, Jun," ucap Abi akhirnya membuat ekspresi Jun berubah seketika. Mata sipitnya membesar. "Apa?" Itu hanya reaksi saja. Jun mendengar dengan jelas apa yang Abi katakan barusan. "Dan gue harus nikah sama dia.." sambung Abi terdengar kacau. Jun pun terdiam, meski sebenarnya dia memang pendiam. "Terus lo mau gimana sekarang?" tanya Jun akhirnya. Abi menghela napas berat. "Gue harus ketemu Tayra, sekarang!" ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD