66. Kunci

1821 Words
"Bagaimana pekerjaanmu?" Agil menoleh ke arah Cika yang sedang memasuki sebuah ruang privat di restoran itu. "Seperti biasa, begitu melelahkan," jawab Agil. Tak Tak Tak Sh Cika duduk di sebuah kursi yang telah disiapkan. "Dua hari kemarin Gilan sudah di operasi lagi, kita tinggal menunggu pemulihannya saja," ujar Cika. Agil mengangguk, ia sudah tahu dari Ussy yang meneleponnya. Pekerjaannya yang padat membuat dia sulit untuk meluangkan waktunya kepada sang adik lelakinya. "Kapan kau akan menjenguknya?" Agil terlihat berpikir. "Jangan terlalu lama tak menemuinya, Agil." "Terakhir kau bertemu dengan Gilan satu bulan yang lalu, dia sedang menunggu kedatanganmu," "Sangat berharap kau datang," lanjut Cika. Agil mengangguk mengerti. "Besok. Ya, besok aku akan menjenguknya." Ujar Agil. "Aku akan mengusahakan agar cepat menyelesaikan penyelidikanku dan aku akan segera ke sana," ujar Agil. Cika mengangguk mengerti. "Kau dari Surabaya?" Cika bertanya. Agil menggeleng. "Semarang," jawabnya singkat. Cika mengerutkan keningnya. "Bukankah seminggu yang lalu kau bilang--," "Memang iya, tapi aku hanya dua hari disana, sisanya aku habiskan di Semarang, penyelidikannya sampai disana, kami harus bekerja sama dengan kepolisian Semarang," sela Agil. Cika mengangguk mengerti. "Mengenai perihal Gea, papa menambah jumlah pengawal padanya dan Gilan," ujar Cika. Agil mendongak ke arah Cika. "Tuan Agri Nabhan, ayah dari Busran Nabhan menawarkan bodyguard dan jasa keamanannya, beliau punya banyak bodyguard yang berpengalaman dan cepat beadaptasi," ujar Cika. "Busran? Dia mau membantu?" Agil bergumam. Cika mengangguk. "Ya. Atas nama persahabatan dengan Randra," ujar Cika. Agil menundukan pandangannya. Ia tersenyum pedih mendengar kalimat Cika yang secara tidak langsung itu membuatnya teringat akan masa-masa sekolah mereka ketika adanya sang adik yang selama lima tahun ini menghilang entah kemana. "Paman Busran dari ibunya juga akan membantu mencari di Eropa, khusus di London dan negara tetangganya," sambung Cika. "Nabhan punya koneksi yang kuat, ditambah lagi dengan saudara-saudara ipar mereka yang menikah dengan orang berpengaruh," ujar Agil. Cika mengangguk membenarkan. "Randra sudah menyisir di semua wilayah Indonesia, namun belum ditemukan keberadaan Momok," ujar Cika. "Dia juga sudah mencari di Malaysia dan Singapura," lanjut Cika. "Sedangkan keluarga Basri yang lainnya mencari di wilayah Australia, Thailand, dan asia tenggara," sambung gadis 25 tahun itu. Agil mengangguk mengerti. "Kami juga sudah mengatur kerja sama dengan badan intelejen Amerika," ujar Cika. Agil mendongak kembali ke arah sang sepupu. "Perdagangan manusia, perempuan dan alasan teroris yang menopang kerja sama kami," ujar Cika menjelaskan. Agil mengangguk mengerti. ♡♡♡ "Nona Gea, apakah anda sudah siap?" seorang bodyguard bertanya ke arah gadis 21 tahun itu. Gea mengangguk. "Sudah, ayo pergi." Ujar Gea. Sang bodyguard mengangguk. Tak Tak Tak "Anda melupakan ini," ujar seorang bodyguard lain sambil menyodorkan sebuah botol semprot berukuran kecil. "Ah, ya. Aku melupakan itu, terima kasih," ujar Gea sambil menerima botol semprot itu. Sang bodyguard tadi mengangguk. Botol semprot itu merupakan senjatanya jika dalam berbahaya, di dalam botol itu berisi cairan pala dengan tingkat pekatan yang cukup membuat mata seseorang buta dalam waktu sekejab saja jika disemprotkan langsung ke dalam mata seseorang yang ingin berbuat jahat padanya. Tragedi tragis lima tahun lalu membuat ia trauma akan benda-benda tajam dan runcing, sebagai ganti benda perlindungannya sang paman memberikan ia botol semprot berisi cairan pala itu. "Ayo," ujar Gea. Tak Tak Tak Mereka berjalan menuju pintu keluar rumah perlindungan Gea. Sret Gadis itu berhenti berjalan, bodyguard yang mengikutinya di belakang juga berhenti berjalan. Gea mengerutkan keningnya. "Ada apa nona?" tanya seorang bodyguard yang berada di depan Gea. "Kenapa jumlah bodyguardnya dari yang aku lihat--," "Paman anda menambah lagi jumlah bodyguard anda," ujar bodyguard yang berada di depannya. "Anda akan bepergian ke Jakarta hari ini untuk menjenguk kakak anda, tuan Gilan yang baru saja selesai melakukan operasi, beliau mengambil tindakan pencegahan," ujar Rex menjelaskan. Gea mengangguk mengerti. "Tapi...mereka...," "Bodyguard milik tuan Agri Nabhan, putra kedua beliau yang berteman dengan tuan muda Basri sekaligus kakak tertua anda, putra kedua Nabhan yang meminta ayahnya," ujar Rex. "Tuan muda Basri...," gumam Gea pelan. Tentu saja dia tahu siapa orangnya, sebab orang itu merupakan kakak dari temannya dari SMP dan juga berlanjut ke SMA yang sama. Dia juga mengingat dengan jelas siapa tuan muda Basri itu. Tunangan kakak perempuannya. Gea dan Gilan juga memasuki SMA Socien School, Gea memilih jurusan IPA sedangkan Gilan dan Misya memilih jurusan yang berlawanan. Tragedi lima tahun lalu membuat ia dan sang kakak kembar mengalami trauma bersosialisasi namun sang paman berusaha keras agar mereka dapat bertahan dalam trauma mereka. Dari semua anak-anak Mochtar yang selamat dari tragedi itu, hanya Gea lah yang terhitung cukup cepat penyembuhannya. Sebab gadis itu hanya menerima dua sayatan lebar dan dalam dikedua nadi tangannya. Setelah ditemukan sang paman, tim evakuasi dan ambulance segera bertindak, Gea kehilangan darah yang tidak terlalu parah, setelah mendapat donor darah dari beberapa anak buah sang paman, kondisi Gea memungkinkan untuk menghadiri pemakaman kedua orang tuanya. Gea histeris ketika mendengar dan mengetahui bahwa kedua orangnya telah tiada. Setelah pemakaman Mochtar dan Nulani, kondisi Gea kembali drop setelah mendengar kabar hilangnya sang kakak perempuannya. Pandangan Gea menunduk ke arah kedua tangannya, dia selalu menggunakan baju berlengan panjang. Terlihat bekas sayatan panjang disepanjang kedua nadi ditangannya. "Huuuuhh...," gadis 21 tahun itu menghembuskan napas lelahnya. Mereka sekarang berada di dalam mobil yang akan membawa Gea ke landasan pacu udara di Bogor. Jamaludin telah menyiapkan pesawat TNI bagi sang keponakan. Ada juga beberapa tentara yang akan menemaninya selama perjalanan ke Jakarta. ♡♡♡ Agil berdiri di depan pintu rawat sang adik lelakinya. Terlihat Gilan yang sedang memakan makanannya lahap, Anindya sedang menyuapi sang adik. "Eh!? Kakak-uhuk! Uhuk!" Gilan tersedak karena pandangannya melihat kedatangan sang kakak sulung. "Pelan-pelan, ini, minum dulu," Anindya menyodorkan minuman. Gilan dengan cepat menerima gelas itu. Agil menarik dan menghembuskan napas sesaat sebelum ia tersenyum manis ke arah sang adik lelaki. "Sshh...huh...," Tak Tak Tak Agil berjalan masuk ke arah ranjang sang adik. Terlihat jaket kulit berwarna hitam membalut tubuhnya yang masih dengan pakaian kepolisian. "Bagaimana perasaanmu?" Agil bertanya sambil tersenyum tipis. "Senang, aku akan segera latihan jalan lagi," ujar Gilan dengan harapan tinggi. Agil memudarkan senyum tipisnya, ia melirik ke arah anggota bawah sang adik. Hatinya kembali terasa panas. Ya, panas. Panas karena melihat kondisi sang adik dari lima tahun lalu sampai sekarang ini masih sama, tidak bisa berjalan akibat sayatan lebar dan dalam yang menyayat kedua lipatan lutut sang adik lelakinya. Lalu pandangannya naik ke arah lengan sang adik yang sedang menuangkan air ke dalam mulutnya dengan memegang gelas itu, terlihat jelas bekas sayatan itu. Bekas sayatannya sangat lebar, bahkan hampir melingkari lengan nadi sang adik, bahkan jika dilihat-lihat lengan bawah diperbatasan nadi sampai telapak tangannya itu hampir putus jika saja para dokter berpengalaman tak bekerja ekstra dalam menyambungkan kembali tangan itu, mungkin saja Gilan sekarang hidup tanpa kedua telapak tangannya. Rahangnya mengeras kuat, tangannya terkepal erat. Inilah yang ia takutkan jika bertemu dan melihat kondisi psikis dan fisik sang adik. Dia tidak akan sanggup mengontrol emosinya. Tak Tak Tak "Ah! Kak Agil!" terdengar seruan senang dari seorang gadis. Agil membalikan badannya, Gilan dan Anindya juga menoleh ke arah pintu masuk. Gea tersenyum lebar dari arah pintu masuk. Tak Tak Tak Hap "Kakak! Gea kangen!" ujar Gea sambil memeluk erat sang kakak sulung. Agil balas memeluk sang adik bungsu. "Gea, ayo sini!" terdengar seruan senang Gilan. Gea melepaskan pelukannya dari Agil dan menoleh riang ke arah Gilan. Tak Tak Sh Gea duduk setelah maju dua langkah ke arah Gilan. "Bagaimana perasaamu?" tanya Gea sambil memegang tangan Gilan. Gilan membalas tautan sang adik. Tangan kanannya memegang erat jemari sang adik. "Aku akan segera latihan berjalan lagi," ujar Gilan. Jawaban yang sama diutarakan pada Agil. Gea menarik napas lalu mengangguk. "Segera," timpal Gea menyakinkan sang kakak. "Kau akan bisa berjalan lagi," gumam Gea pelan, terdengar suara seraknya. Pandangan Agil mendarat ke arah tautan jemari kedua adik kembarnya. Terlihat lagi, terlihat lagi sayatan yang sama seperti milik Gilan yang bersarang di tangan sang adik bungsu. Napasnya memburu, dadanya kembali merasakan perasaan panas seperti tadi sebelum kedatangan Gea. Rasa panas di dalam dadanya itu lebih panas dari sebelumnya, bahkan rasa panas itu dua kali lipat dari rasa panas yang dirasakannya. Glik Bunyi gemeletuk gigi-gigi Agil. Pemuda 25 tahun itu mengeraskan rahangnya kuat, tangannya kembali terkepal erat. Anindya merasakan bulu kuduknya berdiri seketika. "Aku takut dengan dia ini," batin Anindya menggigil takut. ♡♡♡ "Di sini sudah aman, Pak." Ujar salah seorang pria berbadan kekar. Terlihat seorang pria paruh baya mengangguk mengerti. "Keluarga Basri sudah menyisir tempat ini, jadi mereka tidak akan curiga jika dia dipindahkan disini," ujar lelaki berbadan kekar itu. Lagi-lagi pria paruh baya itu mengangguk mengerti. Flashback Tok Tok Tok Terdengar ketukan pintu dari ruang kerja seorang lelaki setengah abad itu. "Masuk," sang empunya ruang menyahut. Ceklek Tak Tak Tak "Permisi, pak. Ada seorang yang ingin bertemu dengan anda," ujar salah seorang pria. Kening pria paruh baya itu mengerut. "Siapa?" "Namanya Arman Anwar, dia merupakan seorang anak buah mendiang adik anda, ada hal penting yang ingin dia bicarakan mengenai tragedi tiga hari lalu," ujar lelaki itu. "Suruh dia masuk!" ujar pria paruh baya itu tegas. "Dan rahasiakan kedatangannya dari siapapun," perintah pria itu lagi. "Baik, Pak." Beberapa belas detik kemudian, terlihat Arman Anwar yang memasuki ruang kerja dari pria paruh baya itu. "Saya Arman Anwar, Pak." Lapor lelaki itu. "Duduk dan jelaskan apa yang ingin kau katakan," pinta lelaki sang pemilik ruang itu. Arman Anwar mengangguk. Dia duduk lalu memulai pembicaraannya. "Saya berada di rumah pak Mochtar ketika beliau sedang keluar dalam penyelidikan penyelendupan senjata ilegal dari Amerika Latin dan Meksiko pada saat itu." Pria paruh baya itu mengangguk mengerti. "Empat hari yang lalu, satu hari sebelum kejadian penculikan keluarga pak Mochtar terjadi, nyonya Nulan meminta tolong kepada nona Moti agar memberikan berkas yang diminta oleh pak Mochtar dalam penyeledikannya, nyonya Nulan memberi tahu pada nona Moti bahwa nona Moti harus ke restoran Imperial untuk menemui pak Mochtar dan teman kerja beliau, pak Christian Hindanata pada saat itu,"  lanjut Arman. Jamaludin, pria paruh baya itu menatap serius ke arah Arman. "Lanjutkan," "Setelah nona Moti pulang dari restoran tersebut, tingkah yang ditunjukan nona Moti berbeda, sang supir yang biasa mengantarkan nona Moti bepergian memberitahukan saya bahwa sebelum mereka pulang dari restoran, nona Moti berlari ketakutan sambil berteriak histeris ketika memasuki mobil dan cepat-cepat menyuruh Jono, sang supirnya untuk cepat-cepat meninggalkan tempat itu," lanjut Arman. Jamaludin melebarkan matanya. Ia mengisyaratkan agar Arman melanjutkan lagi penjelasannya. "Setelah sampai dirumah, nona Moti cepat-cepat naik ke kamar dan mengurung diri. Paginya, nona Moti meminta ah, bukan, tapi memaksa nyonya Nulan dan yang lainnya agar tidak datang ke upacara kenaikan pangkat pak Mochtar," lanjut Arman yang membuat jantung Jamaludin mulai berdetak tak menentu. "Nona Moti ketika ditanyakan alasannya oleh nyonya Nulan, selalu saja diam dengan tubuh kaku dan keringat yang bercucuran, sebelum masuk ke dalam mobil pun nyonya Nulan dan nona Moti sempat terlibat cekcok, dan pada akhirnya nona Moti memasuki mobil itu dengan perasaan takut luar biasa." Jelas Arman. Telapak tangan Jamaludin basah, lelaki paruh baya itu terlihat sedang memikirkan sesuatu. "Ketika aksi penyelamatan juga, nona Moti di bawa terpisah oleh pelaku penculikan di lantai atas, lalu nona Moti diseret ke atas gedung gudang itu, sebelum sayatan pisau tajam itu berhasil lolos menyayat leher nadi nona Moti, nona Moti sempat memberi sebuah isyarat yang saya kurang pahami, tapi saya asumsikan bahwa nona Moti berusaha menyebut nama pak Mochtar dalam bungkaman mulutnya." Arman mengakhiri pembicaraannya. Dag dig dug Jantung Jamaludin berdetak kuat, bahkan dadanya naik-turun terlihat jelas. Tangannya terkepal kuat keringat menghiasi dahi dan lehernya. "Dia adalah saksi kunci kita!" Slash Masih teringat jelas di memorinya ingatan lima tahun lalu. Jamaludin menoleh ke arah sang keponakannya yang ia sembunyikan lima tahun ini dari orang-orang. Perasaan sedih itu muncul lagi, perasaan kehilangan itu muncul lagi. Luka itu kembali terbuka lagi ketika melihat kondisi sang keponakannya dari lima tahun lalu sampai sekarang belum memperihatkan perubahan yang berarti. Selang pernapasan dan infus masih setia menempel pada tubuh gadis 23 tahun itu. Masih setia penyangga leher itu menemani sang keponakan selama lima tahun. "Kau harus cepat sadar," ujar Jamaludin serak. "Agar aku tahu siapa pengkhianat dan pelakunya, Momok." Tangannya terkepal erat, wajahnya memerah menahan amarah yang sangat besar. ♡♡♡
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD