70. Jeritan hati

1437 Words
Tak Tak Tak Terlihat Jamaludin turun dari pesawat itu. Banyak pengawal yang mengawal kedatangannya ketika Jamaludin keluar dari bandara itu, ia dialihkan ke landasan pacu helikopter. Beberapa menit kemudian Jamaludin turun dari helikopter itu dan berjalan menjauh, terlihat orang-orang menunduk hormat padanya, termasuk beberapa orang dokter yang sedang menunduk hormat. "Bagaimana keadaannya?" Jamaludin langsung bertanya ke arah dokter Hong. "Tadi malam, nona Moti sudah sadar, kami sudah memeriksa keadaan dan kondisinya, hasilnya tidak ada masalah dengan organ dalam nona Moti," jawab dokter Hong rinci. Jamaludin menganggukan kepalanya. Mereka sedang berjalan menuju ruang rawat Moti yang begitu dirahasiakan dan dijaga ketat. "Lalu?" tanya Jamaludin lagi. Mereka hampir mendekati ruang rawat itu. Tak Tak Tak "Nona Moti--," Sret Jamaludin berhenti berjalan, semua orang juga berhenti melangkah. Jamaludin meneliti baik-baik pengawal yang mengawal dan menjaga ruang rawat Moti. "Siapa yang mengawal keponakanku?" tanya Jamaludin hati-hati. "Pengawal yang anda pilih, tuan." Jawab seorang bodyguard yang mengikuti Jamaludin. "Berapa banyak?" tanya Jamaludin. "Sekitar--," suara bodyguard itu berhenti, matanya membulat. "Ini! Kalian!" seru bodyguard itu. Hap Sret Bugh Bagh Krat "Aakh!" Tak Tak Tak Jamaludin berlari cepat ke arah ruang rawat sang keponakannya. Bruk "Moti--," matanya membulat. Tubuh pria berusia 56 tahun itu melototkan matanya ketika melihat pemandangan itu. Terlihat seorang pria mendongak perlahan-lahan ke arahnya dihiasi senyum iblis yang tercetak jelas dari bibir itu. "Tuan...Randra." ♡♡♡ Jamaludian hanya bisa menarik dan menghembuskan napas pasrah. Randra Adilan Basri, pemuda itu, pemuda yang merupakan tunangan sang keponakan yang ia sembunyikan selama lima tahun ini, mengetahuinya. Randra terlihat tak ingin bergerak seincipun dari tubuh yang baru sadar dari tidur panjangnya selama lima tahun itu. Moti terlihat memejamkan matanya, gadis itu tertidur lagi setelah setengah jam ia sadar jam satu dini hari tadi. Jamaludin berdiri tegak ditempatnya. Ia dan Randra saling berhadapan dan saling bertatapan di dalam ruang yang identik dengan bau obat-obatan itu. Jemari Randra membelai-belai pipi pucat gadis itu, gadis yang selama lima tahun ini tertidur dalam komanya. Napas Jamaludin memburu, dadanya naik-turun tak karuan. Tak kalah dengan Jamaludin, detakan jantung Randra semakin menggila ketika jemarinya menyentuh bagian tubuh gadis yang lima tahun itu menjadi bayang-bayang dan mimpinya. "Aku tidak akan memaafkan dirimu karena telah memisahkan tunanganku dariku." Ujar Randra datar bercampur dingin, setiap kata diucapkannya ia tekan. Jamaludin terlihat menelan air ludahnya, ia berusaha mentralkan emosinya. Sebelumnya dia berpikir bahwa ada orang yang mengetahui keberadaan Moti dan ingin berbuat jahat padanya. "Saya lebih bersyukur, kau yang berada disini." Ujar Jamaludin membuka suaranya. Randra menaikan sebelah alisnya. Glik Bunyi gemeletuk gigi-giginya. "Saya tidak akan meminta maaf mengenai apa yang telah saya lakukan," "Yang saya lakukan ini benar," Tak Tak Bugh "Akh!" Bruk "Tuan!" "Tahan!" Bodyguard Jamaludin memasuki ruang rawat itu. Sedetik setelah kalimat terakhirnya diucapkan, Randra menerjangnya dengan sebuah pukulan pada bibir pria berusia 56 itu. Jamaludin mengisyaratkan para bodyguardnya untuk mundur. Mendapat sinyal itu, para bodyguard Jamaludin mundur perlahan secara teratur. Sret Sret Randra menarik kuat kerah baju Jamaludin, bahkan kerah itu terlihat hampir sobek. "Ingin sekali aku meremukan semua tulangmu, kau tahu tentang tunanganku, kenapa memisahkan kami?" nada dingin nan menusuk itu keluar lagi. Jamaludin beradu tatapan dengan tunangan dari sang keponakannya itu. "Biar dijelaskan disini saja, saya pikir kamu tidak mau bergerak keluar dari ruang ini," ujar Jamaludin tenang. Randra tersenyum sinis. Sret Randra melepaskan kerah baju Jamaludin. Jamaludin memperbaiki pakaiannya. "Nyawa keponakan saya terancam," ujar Jamaludin sambil memperbaiki kerak bajunya. Randra melototkan matanya. ♡♡♡ "Jadi, saya harap kamu bisa merahasiakan ini dari yang lainnya," ujar Jamaludin ketika menutup penjelasannya mengenai alasan mengapa ia menyembunyikan Moti selama lima tahun ini. Selama penjelasan Jamaludin mengenai perihal Moti, ekspresi pemuda itu hanya satu. Marah, itu adalah ekspresi dan emosi yang ia tunjukan kepada Jamaludin. "Bukannya saya tidak mau memberitahukan keberadaan Momok pada kalian, pengkhianat yang sebenarnya belum bisa diketahui tanpa keterangan dan buka mulut dari keponakan saya," ujar Jamaludin. Randra menoleh ke arah Moti yang masih menutup matanya. "Sudah aku transfer," ujar Randra datar. Jamaludin mengerutkan keningnya. "Transfer?" "Sembilan milyar kepada dokter Inne Hong, lima milyar kepada dokter Harper, dan enam milyar pada dokter Thompson," ujar Randra datar. Jamaludin membulatkan matanya. "Kau...," Randra mengangguk. "Apapun akan aku lakukan untuk Moti," ujar Randra. "Bukankah itu semua adalah jumlah dari biaya pengobatan tunanganku selama lima tahun ini?" tanya Randra datar. Jamaludin melirik ke arah sang keponakannya. "Saya tidak pernah menuntut biaya ganti rugi apapun, kesembuhannya adalah yang nomor satu," ujar Jamaludin. Randra menaikan bahunya. "Bukan saya sombong ataupun angkuh, namun saya melakukan ini karena tunangan saya, sekali lagi saya tekankan, tunangan saya." "Saya tahu anda adalah paman kandungnya, namun tetap saja saya juga bertanggung jawab padanya, pada keselamatannya, pada kesembuhannya, termasuk berapapun biaya yang akan saya keluarkan untuk Moti supaya harus sembuh." Jamaludin mengangguk mengerti. "Saya ingin ketiga dokter itu kesini dan menjelaskan secara rinci kondisi tunangan saya," ujar Randra. Jamaludin mengangguk mengerti. Ia juga mendengar perihal psikis yang dialami oleh tunangan keponakannya itu pasca hilangnya sang keponakannya. Depresi dan hampir gila. ♡♡♡ "Saya dokter James Clinford Harper, dokter yang menangani kondisi tulang pada nona Moti," ujar dokter harper memperkenalkan diri. "Kondisi tulang nona Moti ketika saya tangani cukup parah, memang nona Moti pernah melakukan operasi pada saat dia dibawa ke rumah sakit di negara anda, namun tidak cukup," ujar dokter Harper memulai pembicaraan. Randra hanya terlihat datar dan diam, jemarinya terangkat mengelus-elus ubun-ubun Moti. "Tulang leher nona Moti mengalami retakan akibat jatuh dari lantai tiga, sebelum kami melakukan operasi tulang untuk memperbaiki tulang leher itu, dokter Hong dan dokter Thompson telah menyambungkan kembali nadi leher nona Moti yang hampir putus akibat sayatan pisau," lanjut dokter Harper. Kepalan Randra mengerat, ada rasa tidak suka yang didengarnya dari penjelasan dokter Harper. "Keparat." Batin Randra. "Selanjutnya tulang d**a dan belikat nona Moti mengalami retak, sejauh ini kami sudah beberapa belas kali mengoperasi seluruh tulang-tulangnya agar kembali seperti keadaan semula," "Tulang paha hampir patah, butuh operasi lima kali untuk itu," Dug dug dug Jantung Randra menggila, detakan jantungnya mempompa cepat, aliran darah pemuda itu mengalir panas. "Hanya tulang pinggang dan pinggul yang belum merespon gerakan--," "Maksudmu tunanganku cacat!?" serobot Randra cepat, terlihat Randra menatap nyalang ke arah dokter Harper. Dokter Harper menghembuskan napas lelah. "Huuuh...," "Retakannya kuat, terkilir, hanya bisa disembuhkan apabila nona Moti melakukan terapi tulang berupa gerak jalan pelan agar pinggang dan pinggul itu dapat mampu berfungsi lagi," ujar dokter Harper kemudian. Randra seakan tak bisa bernapas. "Moti sangat menderita, tunanganku menderita," batin Randra menjerit pilu. "Selanjutnya, dokter Hong yang akan menjelaskan mengenai kondisi organ dalam dari nona Moti," ujar dokter Harper Dokter Hong menganggung lalu ia memperkenalkan diri. "Nama saya Inne Hong, saya ahli bedah dan organ dalam, hati dan paru-paru nona Moti pernah mengalami syok dan tekanan kuat, ini diakibatkan karena ia jatuh dari lantai tiga dan tulang dadanya retak, saya sudah empat kali mengoperasi hati dan paru-paru nona Moti bersama dokter Thompson, beliau ahli saraf, kami berusaha menyambungkan kembali nadi lehernya yang hampir putus," ujar dokter Hong. "Dokter Thompson dan saya juga beberapa kali mengoperasi ginjal dan aliran darah nona Moti yang tersumbat, sejauh ini perkembangan nona Moti cukup memuaskan karena nona Moti tadi malam telah sadar dari koma," tutup penjelasan dokter Hong. Randra menoleh cepat ke arah dokter Hong. "Telah sadar dari koma?" "Ya. Pukul satu dini hari, nona Moti sadar dari komanya selama lima tahun." Dokter Hong menjawab. Dag dig dug Detakan jantung Randra semakin menggilan. "Berarti selama lima tahun ini, Moti tidur tanpa tahu apa-apa," gumam Randra dingin. Pandangan dokter Hong jatuh pada jemari Moti. "Jari pasien merespon gerakan, kelopak mata dan bibir mulai bergerak," Tak Tak Tak "Permisi tuan, kami harus memeriksa kondisi nona Moti," ujar dokter Hong sopan. Randra bergeser sedikit. Ya, hanya sedikit, ruang itu untuk tubuh dokter Hong yang sekarang sedang memeriksa mata, d**a dan perut Moti. "R-ran...," terdengar suara serak lirih. Randra mendongak cepat ke arah wajah Moti. "Moti!" ♡♡♡ "Bagaimana keadaannya?" Jamaludin bertanya ke arah dokter Hong. "Sudah sadar dan mampu mempertahankan daya sadarnya, namun...," "Namun apa?" tuntut Jamaludin. "Nona Moti akan sangat susah untuk berbicara mengingat tenggorokan dan lehernya pernah luka akibat sayatan itu," "Apa!?" "Sulit bicara?!" Jamaludin syok. ♡♡♡ "Sayang...," ujar Randra lirih. Pandangan Moti lurus kedepan, dokter Hong mengatakan bahwa, penglihatan Moti memburam, ini wajar karena diakibatkan koma yang terlalu lama. Gadis itu hanya mampu mengedipkan matanya sayu dan lemah, ia menelan susah air ludahnya. Tak Tak Tak "Permisi, kami akan memeriksa ulang leher dan tenggorokan dari nona Moti, tolong diluar, harap dimengerti," ujar salah satu suster disitu. Randra menatap tajam ke arah suster itu, ia mengeraskan rahangnya. Glek Suster itu menelan susah salivanya. "Biarkan tuan Randra disini," dokter Hong dari arah belakang suster itu. Suster itu mengangguk cepat. Tak Tak Tak Sret Sret Dokter Hong membuka penyangga leher yang digunakan Moti lalu tak lupa perban yang melekat pada kulit leher itu. Randra memperhatian baik-baik setiap gerakan dan gerakan dari dokter dan kedua suster itu. "Pelan-pelan...," ujar dokter Hong. Sang suster mengangguk mengerti. Setelah perban itu di buka tiada sehelaipun yang tersisa di kulit leher itu, pandangan mata Randra mematung tepat pada leher nadi itu. Bekas, bekas sayatan lebar itu menghiasi leher tunangannya. Mata Randra membulat sempurna, tubuhnya kaku. "Mereka...mereka benar-benar ingin membunuhnya," batin Randra syok. "Tak puaskah mereka telah menghabisi kedua orang tuanya dan membuat kedua adiknya trauma serta Gilan yang tak bisa berjalan?" batin Randra memanas. "Tak cukupkah mereka menyiksanya selama ini? Moti-ku bahkan tak bisa bergerak seincipun dari tempat tidurnya...Moti-ku menahan sakit disekujur tubuh dan tulang-tulangnya ngilu...Moti-ku...Moti-ku menderita...," batin Randra menjerit-jerit pilu. Tes Setetes air meluncur bebas dari sudut mata itu. "Mereka menyiksa Moti-ku...mereka menyiksa tunanganku...," Tes tes tes Tetesan-tetesan itu makin banyak. "Motiku...Motiku tersiksa...Motiku menderita...dia menderita...dia menderita...dia tersiksa...dia tersiksa...," batin Randra meraung pilu. Tangan Randra terkepal erat, buku-buku jarinya memutih. Pandangan dan aura yang dia keluarkan sangat dingin. "Tiada hidup bagi kalian." ♡♡♡
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD