Bab.8 Kakak Terbaik

1151 Words
Setelah mama keluar dari penjara aku akan pindah ke apartemen," ucap Aksa yang langsung mendapat gelengan kepala dari Rena. "Tidak, kita akan tetap tinggal bersama di rumah ini." tolaknya dengan wajah masam. "Aku tidak bisa," sahut Aksa. "Selama ini Kak Aksa tidak pernah mau datang menjenguknya di penjara. Sekarang setelah mama mau bebas, Kakak justru mau pergi dari rumah. Masalahnya tidak akan pernah selesai kalau Kak Aksa terus saja menghindar." "Menghadapi mama aku sudah terlanjur mati rasa, Rena. Melihatnya hanya akan mengorek kembali lukaku, lagipula Cello tidak akan nyaman lagi di sini." ujar Aksa yang sepertinya sudah bulat dengan keputusannya. "Kenapa tidak dicoba dulu?" sahut Rena dengan raut kecewanya. "Dengan mempertaruhkan mental anakku? Tidak akan, aku tidak mau!" tolaknya tegas. Bukannya egois atau durhaka, tapi Aksa merasa belum siap tinggal satu atap dan bertemu dengan mamanya setiap hari. Bersikap seolah tidak pernah terjadi apa-apa, sedangkan hatinya sendiri masih berdarah-darah. "Mau sampai kapan keluarga kita berantakan seperti ini?" Rena mengeluh dengan raut sedihnya. "Entahlah, maaf kalau sebagai kakak aku belum bisa bersikap dewasa dan memberi contoh yang baik buat kamu." "Tidak, aku justru beruntung punya kakak seperti Kak Aksa. Terima kasih karena selalu ada untuk aku dan Naya." Rena mendekat dan merangkul lengan kakaknya. Kepalanya menyandar seakan benar-benar sudah lelah dengan apa yang telah dilaluinya. Kisah hidup Rena juga tidak kalah menyedihkan. Sampai sekarang Aksa juga masih tidak habis pikir, bagaimana bisa adiknya yang baik dan lugu sampai hilang akal menjadi perusak rumah tangga orang. Sialnya lagi pria yang sekarang dekat dengan Rena juga seorang tukang main perempuan. Meski Aksa tahu Satria tidak sebrengsek Daniel, tapi tidak ada yang bisa menjamin kelakuannya akan berubah setelah menikahi adiknya nanti. Buktinya semalam Satria masih gatal mau saja digerayangi wanita genit di Mirror. "Sudah sejauh mana hubunganmu dengan Satria?" tanya Aksa ingin tahu. "Hubungan apa?" tanya Rena sok tidak paham. "Jangan pura-pura bodoh!" sindir Aksa yang membuat adiknya itu tertawa pelan. "Selama dua bulan ini kami memang mulai dekat karena Satria sering datang mengunjungi Naya, hanya sebatas itu." "Satria tidak akan mendekati Naya kalau tidak punya maksud lain ke kamu," sahut Aksa. "Tahu kok," balas Rena mengangguk. "Terus?" Aksa menoleh menatap adiknya yang tampak santai menjawab setiap pertanyaannya. Dia bukannya bermaksud ingin ikut campur, tapi khawatir Rena akan terluka lagi. "Wanita mana yang tidak kepincut dengan pria tampan dan punya segalanya seperti Satria. Apalagi dia terang-terangan memberi perhatian lebih," ucap Rena jujur. "Jadi maksudnya kamu juga sudah kepincut sama Si Buaya Burik itu?" Rena tertawa tergelak mendengar kakaknya menyebut Satria buaya burik. Tapi memang iya kok, kelakuannya benar-benar minta ampun genitnya. "Ya wajar aku kepincut, Satria kan ganteng. Biar mulutnya kalau ngomong kadang suka nyebelin, tapi dia sweet dan gentle banget. Namun sejauh ini aku belum berpikir untuk melangkah lebih jauh lagi. Dengan kelakuannya yang masih seperti itu mana mungkin aku percaya dia akan bisa setia," ucap Rena yang membuat Aksa bisa bernafas lega. "Yakin kamu tidak akan menyesal menolak Satria?" Melihat Rena yang mengangkat bahu sambil tersenyum hambar Aksa tahu dia sendiri masih ragu. "Aku sudah memintanya untuk tidak datang lagi menemui Naya. Sebelum semua terlambat akan lebih baik kalau kami menjauh dari dia, toh Naya tetap bisa bahagia meski tanpa seorang papa. Tapi Kak Aksa tahu sendiri kan, Satria tidak mungkin semudah itu menyerah." Aksa mengangguk senang karena Rena benar-benar belajar banyak dari kesalahannya yang dulu. Pemikirannya juga semakin dewasa semenjak memiliki Naya. Adiknya sebenarnya baik, cuma sayangnya dia salah jalan dan jatuh ke tangan pria b******k seperti Daniel. "Aku mengirimkan foto dan video itu bukan bermaksud ingin menjatuhkan Satria atau membuatmu menjauhinya, Ren. Aku hanya ingin kamu lebih mengenal Satria bukan cuma tahu sisi baiknya saja," jelas Aksa.. "Terlepas dari kebiasaan buruknya yang satu itu, Satria pria yang baik, bertanggung jawab dan sangat sayang keluarga. Jadi kalaupun nanti kamu berubah pikiran dan memutuskan menerima Satria, aku pasti juga akan mendukungmu." sambung Aksa lagi. Rena meraih ponselnya yang terus berkedip, tapi memilih mengabaikan telepon dari Satria. Puluhan panggilan tak terjawab dan chat dari Satria dibiarkan begitu saja. Dia justru membuka foto-foto Naya bersama Satria. "Menurut Kak Aksa, aku harus bagaimana?" "Sebagai seorang kakak, aku selalu berharap yang terbaik untuk kamu dan Naya. Kalau memang kamu merasa Satria bisa membuat kalian bahagia, tidak ada salahnya mencoba." ucap "Melihat tawa bahagia Naya saat bersama Satria, terkadang aku juga ingin mencobanya. Tapi takut kalau ternyata tidak seperti yang aku harapkan?" gumam Rena sambil terus menatap foto di ponselnya. Aksa sangat paham apa yang sedang adiknya takutkan. "Pintu rumah ini selalu terbuka untuk kamu dan Naya. Aku tidak akan membiarkanmu seperti dulu menghadapi semua sendirian, Ren. Kapanpun kamu butuhkan, aku akan selalu ada untuk kalian." "Terima kasih," gumam Rena kembali memeluk lengan kakaknya. "Jadi?" tanya Aksa penasaran. "Kita lihat saja nanti, seberapa bisa Satria membuktikan kesungguhannya. Aku tidak akan semudah itu menerimanya sebelum yakin kalau dia benar-benar sudah berubah." "Sebajingan apapun Satria, dia pasti akan berpikir seribu kali kalau hanya ingin menjadikanmu mainannya. Bukan hanya aku, mereka semua pasti tidak akan tinggal diam kalau Satria sampai berani menyakiti kamu dan Naya." Rena mengangguk dan tersenyum menatapku. "Aku tahu, lalu bagaimana dengan Kak Aksa sendiri?" "Aku?" tanya Aksa tidak paham maksud pertanyaan Rena. "Apa Kak Aksa benar-benar tidak ingin mempertimbangkan Dokter Sifa?" "Jangan aneh-aneh Ren!" "Bukankah kemarin malam kalian bertemu dan ribut di Mirror? Kak Aksa juga kan yang mengantar Dokter Sifa pulang?" Aksa terpaksa mengangguk, kali ini dia tidak bisa menghindar seperti saat Cello bertanya tadi. "Aku hanya meluruskan kesalahpahaman antara kami. Mengantarnya pulang karena dia sudah mabuk," jawab Aksa apa adanya. "Serius aku pengen tanya. Apa sedikitpun hati Kak Aksa tidak tersentuh melihat kegigihan Dokter Sifa memperjuangkan perasaannya, bahkan setelah dua kali Kakak tolak?" Aksa mendecak melihat Rena yang menatapnya penasaran. Pertanyaan itu seperti mengingatkannya lagi saat bertemu dan bicara dengan Sifa di Mirror kemarin malam. "Bohong kalau aku tidak tersentuh. Terus terang aku sendiri juga tidak mengerti, kenapa sampai segitunya perasaan Sifa padaku. Bodoh sekali kan dia?" Rena menggeleng. "Bukan bodoh, tapi cinta memang tidak butuh alasan. Seperti Kak Aksa yang masih saja mencintai Sasha, meski sakit melihatnya sudah bahagia bersama orang lain. Seperti itu juga lah Dokter Sifa." "Dasar sok tahu!" Aksa tertawa melihat Rena yang merengut setelah dia toyor kepalanya. "Cilok, jangan kayak preman kamu! Hero lagi tidur jangan diganggu dong!" Rena beranjak berdiri, lalu mengangkat Cilok yang sedang menggigit dan mencakar ekor Hero. "Kak ..." "Apa lagi?" Aksa menatap malas Rena yang sudah duduk di lantai dengan Cilok di pangkuannya. "Cobalah untuk membuka hati. Bagaimana orang lain bisa masuk, kalau Kak Aksa sendiri menutup pintu rapat-rapat. Kehadiran orang yang tepat, bisa jadi akan menyembuhkan luka hati Kakak lebih cepat." "Masuk akal," sahut Aksa mengangguk setuju. "Jadi apakah Dokter Sifa masih punya kesempatan?" Lagi-lagi Aksa tertawa melihat wajah penasaran adiknya. Begitu beranjak berdiri dia langsung meringis, karena pahanya kesemutan setelah memangku Cello yang semakin berat. "Kok malah kabur sih! Kak Aksa belum jawab pertanyaanku!" dengus Rena kesal. "Entahlah, menurutmu?!" balas Aksa sambil berlalu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD