Bab.7 Luka Di Hati Aksa

1143 Words
Aksa hanya tersenyum dan memilih tidak menjawab pertanyaan anaknya. Itulah yang kemudian menyisakan tanda tanya besar di benak Rena, apalagi dia tahu semalam kakaknya dan dokter cantik itu kembali bertemu di Mirror. "Maaf, aku tidak bermaksud membuat Cello sedih." ucap Rena dengan wajah bersalahnya. "Tidak apa-apa, kamu sendiri juga tahu dia memang lebih sensitif kalau disinggung soal ini." "Tapi Kak …" "Cello masih butuh waktu, Ren. Dia pernah merasakan bagaimana rasanya hidup tanpa kasih sayang seorang ayah, jadi wajar kalau sekarang takut kehilangan. Aku tidak mau kejadian salah paham seperti saat dengan Vian dan Lena itu terulang lagi. Karena kebodohanku justru menyakiti anakku. Pelan-pelan pasti suatu saat Cello bisa mengerti," jelas Aksa.. "Kak Aksa tidak benar-benar berniat selamanya sendiri kan?" tanya Rena. "Menikah bukan lagi menjadi prioritas hidupku, karena kebahagian anakku jauh lebih penting dari apapun. Mungkin nanti kalau ada seseorang yang bisa membuatku berubah pikiran dan Cello bisa menerima kehadirannya, aku baru akan menikah lagi." jawab Aksa jujur. Untuk beberapa lama mereka bertiga hanya terdiam. Rena masih terlihat merasa bersalah melihat Cello yang masih diam meringkuk di pangkuan papanya. "Lah, malah tidur dia." gumam Rena tersenyum geli. Aksa membetulkan posisi tidur anaknya supaya lebih nyaman. Dia tidak pernah berhenti bersyukur karena Sasha dulu tetap mempertahankan kandungannya. Kalau tidak Aksa pasti sudah benar-benar kehilangan segalanya sekarang. "Apa Kak Aksa sudah cerita tentang mama ke Cello?" "Belum," jawab Aksa malas saat Rena mulai lagi membahas tentang mama mereka. "Harusnya Kak Aksa mulai memberitahu Cello tentang neneknya. Minggu depan mama sudah keluar dari penjara dan akan tinggal di sini bersama kita." Aksa mendengus keras, perkataan Rena terdengar begitu menggelikan di telinganya. "Nenek?! Dia bahkan tidak pantas disebut nenek. Tidak ada nenek yang menginginkan kematian cucunya sendiri. Dia yang sudah membuat anakku lahir tanpa ayah, tapi dia juga yang paling keras memakinya anak haram. Yang lebih memalukan lagi, dia tetap ngotot ingin merebut Cello dari ibunya." dengus Aksa sinis. "Kak ..." "Jangan lupa! Cello pernah dengan mata kepala sendiri melihat mama menyakiti bundanya. Apa kamu pikir dia akan menerima kehadiran nenek yang seperti itu?!" sambung Aksa. "Tapi dia sekarang sudah berubah, apa sesulit itu buat Kak Aksa memaafkan mama?" tanya Rena setengah putus asa. Mereka sudah berkali-kali membahas soal ini, tapi selalu tidak sepaham. "Iya, sangat sulit. Jadi jangan terus mendesakku untuk memaafkannya, karena tidak semudah itu setelah apa yang dia lakukan pada kami bertiga." Aksa menghela nafas kasar. Menatap wajah lugu anaknya terasa sakitnya sampai ke ulu hati. Dulu bahkan meski dia sudah berlutut menangis dan memohon pada orang tuanya supaya mereka melepaskan Sasha yang sedang hamil, mamanya tetap mendatangi wanita malang itu di rumah sakit dan memaksanya menggugurkan kandungannya. Aksa tidak habis pikir, mamanya juga seorang perempuan dan ibu yang punya anak gadis. Bagaimana bisa bertindak setega itu pada Sasha yang tengah mengandung cucunya. Lebih brengseknya lagi, dirinya tidak bisa berbuat apa-apa untuk melindungi Sasha dan calon anak mereka. Mamanya akan semakin menggila kalau sampai dia terang-terangan membangkangnya. Seumur hidup Aksa belum pernah merasakan sesakit itu, saat terpaksa hanya bisa diam tanpa mampu melakukan apapun melihat Sasha menangis dan kesakitan di depan matanya. "Aku tidak akan melarangnya tinggal di rumah ini. Aku juga pastikan dia tidak akan hidup kekurangan, tapi jangan minta lebih dari itu." ucap Aksa gamblang. "Lalu bagaimana dengan Cello? Apa Kak Aksa benar-benar tidak akan membiarkan mama dekat dengan cucunya sendiri?" cecar Rena belum ingin menyerah. "Dia tidak punya hak untuk itu!" Tanpa sadar Aksa menyahut dengan setengah membentak. Belum juga mamanya tinggal bersama mereka, Aksa sudah gerah setiap kali Rena menyinggung tentang dia. Semua orang terus mendesaknya untuk memaafkan mamanya. Mereka tidak pernah berada di posisinya dan merasakan penderitaannya selama ini, mana mungkin tahu seberapa dalam luka yang telah dia gores di hatinya. "Kasihan mama, dia juga tersiksa penyesalannya. Kenapa satu kesempatan pun tidak Kak Aksa berikan untuk mama memperbaiki dan menebus kesalahannya." ucap Rena. "Kenapa aku harus peduli?" sahut Aksa kesal. "Kak ..." "Dia baru merasakan menderita selama setahun lebih di penjara. Itu belum seberapa jika dibanding aku yang hampir enam tahun dipaksa hidup bersama seorang wanita sakit jiwa. Lebih mirisnya lagi, papa dan mama justru bersenang-senang di atas penderitaanku dengan menikmati keuntungan dari ayah Riana." ucap Aksa miris saat mengingat semua. Dia merasa sudah dijual dan dimanfaatkan oleh orang tuanya sendiri. "Kamu tidak akan pernah tahu bagaimana sakitnya ditolak anakmu sendiri, Ren. Dipanggil om, sedangkan Cello justru memanggil orang lain ayah di depanku. Bahkan aku harus rela membiarkan anak kandungku menyandang nama belakang orang lain." "Sorry, aku bukannya bermaksud menjadikanmu sebagai pelampiasan kekesalanku. Tapi Ren, tidak semudah itu untuk aku bisa memaafkan mama. Beri aku sedikit waktu untuk bisa berdamai dengan hatiku." ucap Aksa. "Tidak, aku yang seharusnya minta maaf. Apa yang dilakukan oleh orang tua kita dulu memang sudah di luar batas. Lumrah kalau sampai sekarang Kak Aksa masih belum bisa memaafkannya." sahut Rena. Aku mencium lembut kening anakku. Dia lah yang membuatku kuat bertahan sampai sekarang. Kalau sampai Cello juga menjauh pergi, dengan alasan apalagi aku akan melanjutkan hidupku. Seandainya bukan karena keegoisan dan keserakahan orang tuaku, harusnya sekarang aku, Sasha dan Cello sudah hidup bahagia. Bukan malah terpaksa merelakan dua orang yang begitu aku cintai menjadi milik orang lain. "Ikhlas itu bohong, yang ada adalah terpaksa. Rasanya masih saja sakit, meski aku sudah berusaha rela karena ada yang lebih bisa membuatnya bahagia." gumam Aksa. Hatinya terasa seperti diremas, sakit bukan main. "Move on Kak, cerita kalian sudah usai. Sasha sudah tidak lagi disana, sudah saatnya Kak Aksa beranjak pergi. Aku yakin Sasha juga tidak ingin melihatmu seperti ini." tukas Rena dengan tatapan ibanya. "Aku tahu, aku juga sedang berusaha untuk itu." sahut Aksa lirih sambil tangannya mengusap lembut rambut ikal anak kesayangannya. Selama ini Aksa selalu belajar kuat sendirian dan menelan sendiri kesakitannya. Hubungannya dengan Rena baru benar-benar dekat setelah tidak ada lagi orang tua mereka. Duduk mengobrol, apalagi bercanda dulunya tidak pernah mereka lakukan. Seperti ada tembok pembatas yang membuat hubungan mereka layaknya orang asing yang terpaksa tinggal satu atap. Ironisnya justru dari bundanya Sasha, Ibra dan teman-teman yang lain lah Aksa bisa merasakan kehangatan sebuah keluarga. Mereka semua yang selalu ada disaat Aksa dan Rena jatuh terpuruk di titik terendah. Orang selalu beranggapan, betapa beruntungnya bisa terlahir di keluarga yang berlimpah harta. Namun mereka tidak pernah berpikir semua itu juga tidak datang dengan sendirinya, apalagi secara cuma-cuma. Ada harga yang harus mereka bayar. Sejak pertama kali menghirup udara dunia, mereka sudah dihimpit tanggung jawab dan dituntut menjadi sempurna sesuai keinginan orang tua. Itulah cara mereka menggembleng kami supaya nantinya siap menjadi pengganti mereka. Andai bisa memilih, Aksa juga tidak pernah mau jadi pewaris dari apapun yang mereka punya. Percuma tinggal di rumah megah, tapi tak pernah ramah. Isinya hanya teriakan marah dan wajah-wajah tak ramah. Orang lain pulang untuk tenang, tapi Aksa malah tersiksa di sana. Dan sekarang dia tidak akan pernah membiarkan kebahagiaan anaknya teracuni dengan mengajak Cello tinggal seatap dengan mamanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD