Dokter mengizinkan Dhifa pulang sebab kondisinya sudah pulih dan tak ada yang patut dicemaskan. Ia hanya perlu istirahat yang cukup, makan teratur dan minum resep dokter agar masalah lambungnya segera teratasi. Kini selang infus tak lagi melekat di tangannya. Gadis itu kembali ceria seperti biasanya.
Betapa bahagianya gadis bertubuh tinggi langsing itu. Akhirnya ia tak jadi menginap di rumah sakit yang memuakkan itu. Perawatan di rumah lebih baik dan nyaman. Sebenarnya di hati gadis itu masih menyisakan sedikit kesedihan lantaran Alwi masih dalam perawatan di rumah sakit yang sama.
Ia berharap Alwi baik-baik saja dan segera pulang.
Tante Vina, Om Diki, kedua adiknya serta kakek dan neneknya telah pulang lebih dulu, tersisa ayah dan ibunya saja.
"Alhamdulillah, aku bisa pulang!" Dhifa merasa bahagia. Setelah dirinya lolos dari masalah tuduhan hamil yang dilayangkan oleh orang tuanya, kini ia pun lolos dari sandera dokter. Bebas dari yang namanya bau obat-obatan rumah sakit.
"Papa kamu yang bujuk dokternya." Mama Heni memberikan alasan mengapa diizinkan untuk pulang cepat. Awalnya dokter menyarankan pulang besok namun Papa Dany mendesak dan meyakinkannya.
"Makasih ya, Pa, Ma." Dhifa mencium pipi mereka berdua. Meskipun sempat kesal kepada keduanya namun Dhifa menyayangi mereka.
Mama Heni lantas membereskan barang-barang yang akan dibawa pulang. Dhifa pun telah siap berganti pakaian. Ia duduk di kursi.
"Aku, ingin jenguk Alwi dulu." Dhifa mengungkapkan niatnya dengan perasaan takut. Khawatir tak mendapat izin dari Papa Dany. Dhifa memikirkan kondisi Alwi yang katanya mengenaskan. Sayangnya ia tak bisa menghubunginya sebab ponselnya tertinggal di rumah.
"Ayo, kita jenguk dia. Tapi setelah urusan administrasi beres ya." Papa Dany setuju. Ia tampak menunjukkan sikap bersahabat. Barangkali karena perasaan bersalahnya kepada Alwi yang menjadikannya melunak. Tentu saja Dhifa senang dengan perubahan ayahnya, berharap selamanya akan seperti itu agar hubungan asmaranya dengan Alwi berjalan lancar.
Dhifa sering merasa heran mengapa ia sulit mendapatkan restu dari orang tuanya, kalau dipikir-pikir mereka itu bersahabat dan rasanya lebih masuk akal jika menjodohkan anak-anaknya seperti di cerita-cerita n****+ remaja yang ditulis oleh saudari kembarnya. Dunia nyata memang tak seindah dunia halu.
***
Usai mengurus administrasi, mereka tidak langsung pulang melainkan mengunjungi kamar inap Alwi seperti yang diinginkan oleh Dhifa. Pemuda yang berstatus sebagai kekasih Dhifa itu resmi menjadi penghuni ruang VIP 104.
Papa Dany telah setuju untuk menanggung semua biaya perawatan hingga Alwi sembuh total dan orang tua Alwi yang notabene sahabat Papa Dany tak menuntut apa pun darinya. Mereka menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan karena yakin ini hanya kesalahan pahaman saja.
"Mein Lieblieb..." Dhifa menyebutkan nama panggilan kesayangan Alwi begitu tiba di dalam ruangan lalu mendekat ke arahnyabdengan pandangan iba. Pujaan hatinya terbaring lemah tak berdaya akibat ulah sang papa. Selang infus melekat ditangan kirinya dan beberapa perban menghiasi wajahnya. Dhifa tak kuasa menahan air matanya.
"My Lopelope." Alwi tersenyum begitu menyadari ada Dhifa di ruangannya. Meskipun tanpa kacamata ia dapat melihat dengan jelas jika itu adalah bidadarinya.
Alwi menatap Dhifa penuh kerinduan.
"Mengapa jadi begini" ucapnya lemas. Melihat Alwi sakit, Dhifa pun merasa sakit.
"Aku baik-baik saja." Alwi tak ingin terlihat lemah di depan Dhifa meskipun seluruh bagian tubuhnya masih terasa sakit dan linu akibat aksi Papa Dany yang brutal. Ia tak bisa melawannya karena diserang secara mendadak. Lagipula jika melawan rasanya memalukan.
Dhifa tak kuasa meneteskan air matanya. Ayahnya sungguh keterlaluan, tega membuat kekasihnya tak berdaya, bagaimana jika tulangnya patah bahkan ia menjadi lumpuh. Dhifa tak akan memaafkan papanya jika itu sampai terjadi.
Gadis itu makin perpendek jaraknya, hingga duduk di samping kekasih hatinya. Ia genggam tangan Alwi yang terbebas dari infusan dengan erat. Berusaha menyalurkan kekuatan cinta yang mungkin bisa menyembuhkannyw.
"Maafkan aku sama papaku." Dhifa terisak.
"Kamu ga salah apa-apa. Gimana kondisi kamu sudah sehat?" Alwi malah memperdulikan kesehatan Dhifa.
"Alhamdulillah, sehat. Aku sudah bisa pulang." Dhifa menjawab sambil menganggukan kepalanya.
"Syukurlah." Alwi tersenyum.
"Semoga kamu lekas sembuh." Doa Dhifa tulus.
"Kamu jangan nangis!" Alwi ingin menghapus jejak air mata Dhifa, sayangnya ia tak bisa banyak bergerak.
"Kamu harus kuat dan cepat pulang, sebentar lagi kita mau acara pelepasan di sekolah." Apa jadinya jika Alwi tak hadir.
Sementara orang tua mereka hanya diam menyaksikan adegan drama tersebut. Mereka tak ingin mengganggu keduanya. Empat orang dewasa itu hanya bisa memandanginya dengan pemikiran yang berbeda-beda.
***
Dhifa kembali berada di rumahnya setelah enam jam berada di rumah sakit.
Ia langsung menuju kamarnya untuk istirahat. Suasana kamar sudah kembali rapi, bahkan sprei nya sudah diganti oleh ARTnya
"Makan dulu ya, " Mama Heni membawakan makan malam untuk putrinya.
"Masih kenyang Ma." Dhifa menolak. Beberapa waktu yang lalu ia makan biskuit dan minum s**u kotak. Ia juga sempat makan makanan Alwi. Ia sempat menyuapi Alwi dan kabar gembiranya orang tua mereka tak melarang. Semoga saja usai insiden ini kedua orang tua mereka merestui hubungannya.
"Mama suapin, pokoknya kamu harus banyak makan biar lekas sembuh." Sang Mama menykdorkan sendok dengan paksa. Ia tak ingin ditolak.
"Kamu harus sembuh. Mama sedih banget lihat kamu dipasangi selang infus. Apalagi sampai menjerit-jerit saat melihat jarum suntik. " Mama Heni tak ingin Dhifa sampai di rawat. Ia begitu tertekan karena berhadapan dengan dokter yang hampir menyerah menghadapi putrinya yang tak mau menurut.
***
Dhifa mendapatkan izin untuk kembali menjenguk Alwi, Papa Dany sendiri yang memerintahkan. Ia sudah bersiap untuk pergi.
"Kamu boleh ke rumah sakit menemui Alwi." Pria yang selalu terlihat rapi itu berujar.
"Bawa ini juga ya!" Mama Heni telah mengemas makanan dan buah-buahan.
"Di sana hanya ada mamanya saja, kalau kamu mau seharian di sana juga boleh, nanti sore Papa yang jemput." Papa Dany malah memberikan perintah. Tentu saja Dhifa merasa senang bukan main.
Dhifa seperti sedang berhadapan dengan sosok malaikat, kemana perginya sang papa yang terkenal galak kepada teman-teman lelakinya. Dhifa merasa jika sosok dihadapannya itu adalah papa orang lain bukan papanya.
"Serius Pa? Dhifa boleh lama di sana?" Dhifa memastikan.
"Iya." Papa Dany mengangguk.
"Mang Amar sudah menunggu. Maaf, Papa tidak mengantar." Papa Dany berkata lembut.
"Ayo berangkat! Kasihan Mama Vio sendirian disana, Papa Alan sedang pergi ke Tanggerang. Sampaikan salam Mama untuk mamanya Alwi juga." Mama Heni memberikan perintahnya.
"Baik Ma!" Dhifa meraih tasnya dan menjinjing titipan Mama Heni. Betapa bahagianya ia sampai sulit menghentikan senyumnya.
"Hati-hati di sana?" Mama Heni memberikan nasihat.
Dhifa langsung mencium tangan mereka sebelum melangkah menuju halaman rumah.
"Assalamualaikum,"
"Waalaikumsalam,"
Papa Dany menahan senyumnya. Ia yakin dua jam lagi akan minta dijemput. Mana bisa ia lama-lama di rumah sakit. Tiap kali diajak besuk selalu menolak.
***
Bersambung