Sepuluh

1158 Words
Seminggu kemudian. Dhifa meringkuk di atas ranjangnya dengan selimut tebal menutupi seluruh tubuhnya. Hanya terlihat kepalanya saja yang menyembul. Sejak semalam ia kurang enak badan, maka dari itu selepas sholat subuh gadis bertubuh langsing itu enggan keluar dari kamar. Orang tuanya tidak akan mempermasalahkan karena ia tak akan berangkat sekolah. Dhifa dan Dhira diberi kebebasan mau bangun kapan pun mereka mau. Sejak pengumuman kelulusan ia resmi menganggur dan sedang menunggu acara pelepasan yang akan dilakukan pekan depan. Gadis cantik itu pun banyak menghabiskan waktunya dengan membuat content video untuk akun YouTube dan Instagramnya sambil menunggu pendaftaran masuk perguruan tinggi. Semalam ia telah melakukan video call selama dua jam bersama Alwi. Hubungan dirinya dengan sang pujaan hati masih dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Terdengar suara pintu terbuka, pertanda ada seseorang yang masuk. "Aduh ini anak perawan masih tiduran saja. Lihat tuh sudah jam berapa? Pamali tahu ntar susah dapet jodohnya. " Tiba-tiba terdengar suara cempreng Tante Vina, Istri Om Diki yang masih muda itu masuk ke kamarnya. Ia menatap keponakannya dengan pandangan mencemooh. Entah sejak kapan tantenya Dhifa itu berada di rumahnya. Keluarga adik Papa Dany itu sering mampir ke rumahnya. "Tante Vina?"Dhifa memastikan itu adalah tantenya yang selalu ceriwis. Cerewetnya sudah bisa dibilang copy paste Oma Ratih. Selalu berisik dimana pun berada. "Numpang ke kamar mandi sebentar ya! Kebelet banget nih." Tanpa menunggu persetujuan dari Dhifa wanita beranak dua itu masuk ke dalam kamar mandi. "Iya," jawab Dhifa terlambat . Ia terlalu malas meladeni Tantenya. Kepalanya terasa mau pecah, mungkin saja meledak jika terlibat obrolan panjang dengan tantenya yang berdarah Sunda itu. Sepuluh menit kemudian terdengar Tante Vina keluar. "Kok tidur lagi sih! Dasar pemalas!" Wanita itu sempat mengoceh sebelum keluar dari kamar Dhifa Dhifa sendiri memejamkan matanya, jadi tak lagi berbincang apapun. Sebenarnya ia tak tidur, rasa sakitnya terlalu hebat, kepalanya begitu berat. Ia tak kuat lagi. *** Sampai jam makan siang tiba, Dhifa masih di dalam kamarnya. Ia belum ingin keluar terlebih rasa pusingnya semakin menjadi-jadi, padahal ia sudah sempat tertidur pulas. Hoek Hoek Ia bangkit dari tidurnya. Rasa mualnya tak tertahankan lagi. Perutnya bergejolak. Makanan yang masuk ke perut saat sarapan tadi ingin ia muntahkan segera. Ia pun lari ke kamar mandi. Bahkan sampai bolak balik, tubuhnya terasa lemas. Ia ingin pingsan saja. Wajah cantiknya terlihat memucat. Gadis berwajah imut itu pun lantas memanggil mamanya lewat ponsel. Selang dua menit kemudian Mama Heni segera datang. "Kak,...Kakak kenapa sih?" Mama Heni terlihat cemas. Tak biasanya Dhifa seperti ini. Walaupun badannya kecil Dhifa tergolong memiliki daya tahan tubuh yang kuat. Kini, sang Mama melihat kondisi putrinya sangat memprihatikan. "Pusing Ma, Dhifa lemes banget," keluhnya. Mama Heni meraba kening putri ke duanya namun tak sedikit pun terasa panas. Tak lupa ia membalurnya dengan minyak kayu putih yang ada di dekat Dhifa. Biasanya minyak itu bisa membantu meredakan. "Mama panggil dokter ya?" Sang Mama hendak meraih gawainya. Ia sangat cemas. Takut terjadi hal buruk. "Ga usah Ma. Dhifa baik-baik saja." Dhifa menolak. Dia kan cuma mual dan pusing saja. Sejak kecil ia malas berhubungan dengan dokter, padahal ia tetanggaan dengan dokter. Almarhum papanya Nayla adalah dokter dan suami baru Mama Nayla juga dokter tetap saja Dhifa takut sama dokter. "Kalau begitu kamu minum obat dulu." Wanita berkerudung hitam itu segera menuju kotak P3K untuk mengambil paracetamol. Dhifa tampak berusaha untuk memejamkan matanya lagi. Mama Heni kembali membawa obat dan segelas air putih lalu menyodorkan kepada Dhifa. "Minum dulu!" Mama Heni memberikan perintah. Dhifa menurut sebab ia ingin sembuh. "Ayo Mama pijat, barangkali kamu masuk angin. Semalam pasti begadang lagi nonton film. Jangan mentang-mentang lagi nganggur lantas lupa waktu, tidur larut terus." Mama Heni memberikan nasihatnya seraya memijat bagian kening Dhifa sebelum beralih ke bagian pundak. Ia tahu persis kegiatan anaknya selama tak sekolah. Mama Heni terus memberikan pijatan yang membuat Dhifa nyaman. Urusan pijat memijat dan urut mengurut mantan sekretaris itu adalah ahlinya. "Kamu istirahat dulu ya, Mama mau ke toilet." Mama Heni menghentikan aktifitasnya. Dhifa sendiri merasa sudah membaik. Ia ingin melanjutkan tidurnya. Keluar dari toilet, sang Mama berteriak cukup keras. "Papa......!!! Hik...hik..." Mama Heni menjerit histeris memanggil suami tercintanya. Tangisnya langsung pecah hingga Dhifa yang baru tertidur sebentar kembali membuka matanya. "Ma...ma..." gumamnya pelan. "Ada apa sih Ma?" Papa Dany yang sudah bersiap pergi syuting berjalan tergesa menghampiri anak dan istrinya. Ia tampak cemas dan segera memburu istrinya yang menangis terisak dengan tubuhnya yang lemah. "Mama kenapa?" Sekali lagi, ia ajukan pertanyaan karena istrinya hanya diam. Hanya ada air mata yang meleleh membasahi pipinya. "Dhifa Hamil Pa!" Mama Heni berkata lirih dengan Isak tangisnya, kemudian memeluk suami brondongnya penuh kesedihan. Wanita itu menyodorkan sebuah benda pipih yang belum lama ditemukan di kamar mandi putrinya. "Kamu Hamil!!!?" Papa Dany mendekat ke arah anak gadisnya seraya menatap tajam penuh amarah. Bola matanya hampir keluar semua. Hal yang paling ditakutkan olehnya menjadi kenyataan. Ia tak menyangka putrinya berani berkhianat. Anak gadisnya hamil di luar nikah, di saat usianya masih remaja. Benar-benar aib keluarga. Pria itu begitu hancur. Bagaimana ia harus menghadapi kenyataan ini. Ia yakin semua ini pasti karena pergaulan anaknya yang tak terjaga. Sudah berulang kali ia mengingatkan nya untuk tidak menjalin hubungan yang namanya pacaran. Mengingat kan untuk segera menutup aurat. Namun putrinya itu tak patuh. Ia sangat mencintai Alwi anak sahabatnya. Ia yakin ini ada hubungannya dengan pemuda itu. "Kalian kenapa sih?" Dhifa membuka matanya dengan paksa, Ia tak mengerti dengan apa yang terjadi hanya terdengar suara Isak Mama Heni . Kepalanya kembali terasa pusing dan mual mendengar omelan Papanya yang tak jelas. "Ayo kamu jujur sama Mama Papa!" Papa Dany menekan Dhifa. Ia mengguncang tubuh anaknya., Berusaha mencari jawaban. "Jujur apa sih Pa?" Dhifa semakin tak mengerti. Apa salahnya kenapa kedua orangtuanya seperti menghakimi dirinya. Saat ini ia ingin tidur nyenyak agar lekas sembuh. Kalau bisa keduanya lebih baik keluar dari kamarnya. "Mau ngelak? Ini apa?" Pria itu memperlihatkan sebuah benda. Dhifa melotot melihat testpack di tangan Papa Dany. Ia tampak kaget. Ia tak merasa memilikinya. Memangnya itu milik siapa. "Lihat ini dua garis artinya positif." Teriak Papa Dany histeris. Coba kalau anaknya sedang tidak sakit ingin rasanya ia menampar pipinya. Benar-benar mencoreng nama baiknya. Reputasinya di dunia hiburan tanah air bisa hancur seketika. Kehamilan putrinya akan mengganggu tatanan kehidupannya. Mama Heni malah menangis tak tahu harus berbuat apa. Setumpuk kekecewaan membuatnya lemas. Ia merasa gagal menjadi seorang ibu untu menjaga kehormatan putrinya. "Kamu sama Alwi..." Mama Heni kembali menangis. Ia tak kuasa melanjutkan kalimatnya. Ia tak pernah menyangka semua jadi begini. Ia menyesal beberapa waktu lalu mengizinkan putrinya ikut ke villa. Ibu empat anak itu yakin bahwa di tempat itu telah terjadi sesuatu kepada putrinya. Dhifa tak bisa melakukan pembelaan. Tubuhnya terlalu lemas dan ia ingin pingsan. Ya Allah jangan dulu ambil nyawaku. Teriaknya dalam hati. Sebelum matanya semakin berkunang-kunang dan dalam waktu beberapa detik ia tumbang. Ambruk di atas kasur empuknya. Mama Heni dan Papa Dany panik bukan kepalang. "Pa...Dhifa pingsan!" Mama Heni berteriak. *** Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD