Episode 3 : Tentang kekhawatiran

1344 Words
Nyaris tengah malam saat Nada turun ke lantai bawah. Perutnya masih nyeri. Tapi untuk minum obat, Nada harus makan terlebih dulu. Suasana rumah sangat sepi. Nada yang memang penakut, bergegas mengisi piring dan berlari meninggalkan dapur. Karena tidak memperhatikan jalan, Nada malah menabrak Adam yang hendak mengambil air minum. Alhasil, Nada menumpahkan isi piringnya meskipun masih sempat memegang piring dan gelas agar tidak jatuh ke lantai. "Nyaris saja." ujar Nada setengah berbisik. Nada buru-buru meletakan piring dan gelas bermaksud untuk membersihkan kekacauan yang sudah dia buat. "Menyebalkan, apa yang dia lakukan tengah malam begini? Ah dia baru saja mengotori pakaianku."  Adam menggerutu tidak jelas. Saat Adam hendak pergi, Nada buru-buru menarik bajunya. "Aku harus membersihkan ini, tapi aku takut." Adam menghela napas kesal. "Kau bahkan tidak khawatir saat tumpahan air panas mengenai bajuku. Kau juga tidak pernah menggunakan kata tolong. Jika kau bisa bersikap manis, aku juga bisa bersikap layaknya seorang kakak." Karena tersinggung, Nada melepaskan pegangan di baju Adam. Tanpa rasa takut, Nada kembali ke dapur, mengambil kain lap, dan mulai membersihkan tumpahan nasi. Adam sudah tidak terlihat. Sepertinya Adam sudah kembali ke kamar. "Padahal dia juga salah. Siapa suruh dia muncul tiba-tiba seperti itu. Lagipula kenapa aku harus bersikap manis? Aku bukan Dita. Aku benci diperlakukan seperti gadis manja. Kenapa juga aku harus mengkhawatirkannya? Dia saja tidak pernah khawatir dengan keadaanku." gerutu Nada. Setelah melawan rasa takut, Nada memutuskan makan sendirian di dapur. Selesai makan, Nada memperhatikan gelas yang tadi Adam bawa. Sepertinya Adam tidak jadi mengambil air minum gara-gara bajunya basah.  "Aku akan berbaik hati untuk kali ini saja." gumam Nada. Nada mengisi gelas Adam dan mengantarnya ke kamar sang kakak. Melihat Nada masuk tanpa pemberitahuan, Adam memasang wajah masam. "Apa kau tidak bisa mengetuk pintu?" tanya Adam. "Bukankah kakak juga sering melakukannya? Kakak baik-baik saja kan?" tanya Nada saat Adam mengoleskan sesuatu ke perutnya. Adam tampak cuek dan mengambil gelas di tangan Nada. "Perut kakak merah. Jangan-jangan karena air panas tadi? Tapi airnya kan tidak terlalu panas?" tanya Nada tidak yakin. "Jangan berlebihan." ujar Adam. Karena penasaran, Nada mendekat dan dengan cepat menyingkap baju Adam. Benar saja, kulit perut Adam tampak memerah.  "Padahal airnya kan..." "Jangan lebay. Ini bukan luka bakar. Kulitku memang sedikit sensitif terhadap panas." potong Adam. "Tapi tetap saja..." "Kalau kau merasa bersalah, segera tinggalkan kamar ini. Aku butuh konsentrasi untuk mempelajari kasus."  Lagi-lagi Adam memotong ucapan Nada. Bukannya pergi, Nada justru kembali menyingkap baju Adam. "Aku akan membantu kakak mengoleskan obat. Tolong jangan tolak atau aku akan merasa sangat bersalah." tegas Nada. "Kau keras kepala sekali. Sudah kukatakan ini tidak seserius yang kau pikirkan." "Tapi tetap saja aku merasa bersalah." ujar Nada sembari mulai mengoleskan obat. Karena kulitnya sangat putih, kulit Adam sensitif terhadap panas. Memang tidak parah seperti luka bakar. Tapi rasanya panas seperti terbakar. Karena itu Adam mengoleskan obat untuk mengatasi rasa nyeri. "Ternyata kau bisa merasa bersalah." sindir Adam. "Aku tidak seperti kakak yang selalu cuek dan masa bodoh terhadap sesuatu." "Bukannya kau yang selalu seperti itu?"  "Sama seperti kakak, aku terbiasa memperlakukan orang sebagaimana orang memperlakukanku." tukas Nada. Adam membuang muka. "Apa kau masih tidak bisa menerima kehadiran kami?" Nada memilih bungkam. Memiliki keluarga utuh tidak terlalu menyenangkan seperti apa yang dulu sering neneknya katakan. Hanya saja, Nada harus mengikuti aturan agar tidak membuat ayahnya khawatir. Saat neneknya yakin Nada tidak akan kesepian, Nada justru merasa sendirian dalam keramaian. Bagi Nada, tidak ada yang bisa mengantikan posisi ibunya. "Sudah selesai." ujar Nada seraya berlalu. Adam menghela napas panjang. Semakin dewasa, Nada semakin menutup diri. Dulu sekali Adam berusaha mendekatkan diri. Sayangnya Nada seperti membangun tembok agar Adam dan Dita tidak bisa masuk ke kehidupannya. Nada yang seperti itu membuat Adam menyerah. Adam tau, dia dan keluarganya, tidak diterima di hati Nada. *** Keesokan harinya Nada masih terlihat lemas. Santi yang menyadari itu, meminta Adam mengantar Nada. Nada sempat menolak walaupun akhirnya terpaksa menurut saat Johan turun tangan. Terhadap perintah Johan, Nada tidak pernah bisa membantah. "Perut kakak sudah baikan?" tanya Nada setelah mereka dalam perjalanan. Adam mengangguk sekilas kemudian kembali fokus mengemudi. "Dasar manusia batu. Memangnya dia tidak punya mulut? Bagaimana bisa dia jadi dokter dengan perangainya yang membosankan." gerutu Nada. Walaupun mendengar omelan Nada, Adam tidak merespon sama sekali. Untuk memancing simpati Adam, Nada pura-pura meringis sambil memegangi perutnya. "Perutmu masih sakit?" tanya Adam. "Ternyata kakak bisa bicara. Kupikir mulut kakak cuma pajangan." sindir Nada. Adam berdecak malas. "Seharusnya jawab saja apa yang ditanya. Kau tidak perlu mengeluarkan kalimat untuk menyindir." "Apa kakak selalu menghadapi pasien dengan ekspresi seperti itu?" tanya Nada. Lagi-lagi Adam diam. Enggan menjawab pertanyaan konyol Nada. Tak berapa lama mereka sampai di kampus. Saat hendak turun, Nada kesulitan membuka sabuk pengaman. "Sepertinya sudah harus diperbaiki." gumam Adam. "Bukan diperbaiki, tapi ganti mobil baru." omel Nada. "Ini mobil antik. Ah sudahlah kau tidak akan paham." Karena kesulitan membuka dari sebelah kemudi, Adam turun dan membuka pintu penumpang. Nada sedikit kaget saat Adam tanpa canggung berusaha membantunya. Jarak mereka terlalu dekat. Nada bisa mencium harum parfum kakaknya dari jarak sedekat itu. Tak berapa lama sabuk pengaman berhasil dibuka.  "Kau sudah bisa turun." ujar Adam dingin. Nada berdecak malas kemudian berlalu tanpa mengatakan apa-apa. "Apa dia benar-benar tidak bisa mengatakan kata tolong dan terimakasih? Sebenarnya dia itu mirip siapa?" omel Adam. *** Kampus masih cukup sepi saat Nada sampai. Gadis itu sengaja datang lebih pagi untuk mengerjakan tugas di perpustakaan. Siapa sangka saat menuju perpustakaan, Nada justru melihat pemandangan yang membuatnya geleng-geleng kepala. Awalnya Nada hendak berlalu tanpa harus memperhatikan siapa dua orang yang tengah berciuman mesra di koridor pemisah gedung. Tapi Nada jadi tertarik saat tau orang itu adalah Panji. "Na, Nada!" Setengah berteriak, Panji mendorong gadis yang sedang diciumnya setelah menyadari keberadaan Nada. "Lanjutkan saja, tapi tolong cari tempat yang lebih sepi." ujar Nada. Panji tersenyum kaku dan mengajak pacarnya pergi dari tempat itu.  "Kau membuatku kehilangan tontonan menarik." ujar Rama yang entah muncul dari mana. "Kau mengintip?" tanya Nada. "Mereka melakukannya di tempat umum, jadi hal tersebut tidak bisa dianggap mengintip." bela Rama. "Kenapa sejak awal tidak ditegur?" "Karena menarik. Sudah lama tidak melihat hal-hal seperti itu dilingkungan kampus." jawab Rama. "Bukankah kau juga seorang pemain? Mereka bilang kau laki-laki b******k yang harus dijauhi." Rama sedikit terkejut mendengar ucapan Nada. Tanpa sadar Rama mengikuti langkah Nada menuju perpustakaan. "Darimana kau mendengar cerita konyol seperti itu? Tapi tidak sepenuhnya salah sih." jawab Rama datar. "Sudah berapa wanita yang kau pacari?" tanya Nada. "Kenapa tiba-tiba menanyakannya?" "Mereka bilang bisa jadi aku adalah target selanjutnya. Aku bertanya karena penasaran sudah berapa banyak gadis cantik yang kau pacari. Kalau hanya gadis cantik dan terkenal yang kau targetkan, harusnya aku tidak masuk hitungan." jelas Nada. Rama tertawa pelan. Baru kali ini Rama bertemu gadis yang sangat blak-blakan. Gadis yang Rama temui cenderung bersikap manja atau berlagak sok polos.  "Entahlah, aku tidak pernah menghitungnya." jawab Rama. "Apa kau berencana menjadikanku sebagai target?" tanya Nada.  Nada sengaja berhenti dan menatap Rama serius saat menanyakan itu. Rama tampak salah tingkah, bingung harus menjawab apa. "Kenapa diam? Sepertinya kau masih ragu. Jika kau ragu, aku akan membantumu membuat pilihan. Jika kau membuatku menjadi target incaran selanjutnya, maka..." "Kau tidak perlu membantuku. Aku tidak sedang menargetkan siapapun. Sekarang aku hanya ingin fokus kuliah. Kau tau, dibanding teman-teman seangkatan, aku sudah tertinggal satu tahun. Lagipula dari mana asal cerita itu?" potong Rama. "Orang-orang cenderung suka menceritakan kisah tentang crazy rich sang Casanova yang kembali kuliah setelah setahun cuti. Aku bisa mendengar cerita itu tanpa harus mencari tau. Sepertinya gadis-gadis disini tergila-gila padamu."  "Wow aku merasa terharu. Jika gadis-gadis disini tergila-gila padaku, apa kau juga termasuk di dalamnya?" tanya Rama. Nada tersenyum kecut. "Ibarat benda, kau terlalu mewah untuk dimiliki." Kali ini Rama tertawa. "Jika kau menginginkannya, aku bisa memberi harga murah." "Aku sudah sampai. Terimakasih karena sudah membuatku jadi pusat perhatian. Kau pasti tidak sadar jika sejak tadi orang-orang sibuk melirik ke arah kita." ujar Nada mengalihkan pembicaraan. "Ah mungkin ini terdengar seperti modus, tapi aku juga ingin ke perpustakaan."  Nada menghela napas kasar sembari berlalu. Rama bersikap tidak peduli walaupun Nada menunjukkan wajah kesal.  To be continue
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD