Kami Penumpang

1018 Words
Lorong ini dipenuhi tangisan. Menunggu kepastian ... menanti kejelasan tentang sesuatu yang begitu ingin mereka semua tahu. Sesuatu yang sedang menjadi harap bagi semua orang di sana. Tentang kejelasan bagaimana keadaan Theo yang sedang ditangani para dokter di dalam sana. Mama terlihat paling terpukul di antara semuanya. Wanita itu tak henti - hentinya menangis. Tak henti - hentinya merasa buruk. Tak henti - hentinya menyalahkan dirinya sendiri. Alila merasa ikut bersedih atas apa yang dirasakan oleh ibu Theo itu. Tapi mau bagaimana lagi. Kurang lebih Alila tahu bagaimana perasaannya. Mengingat mereka sama - sama seorang ibu. Alila merasa bukan pada tempatnya jika ia berusaha menenangkan ibu Theo. Pandangannya justru terfokus pada seseorang lain. Alila segera memberikan Dio pada Jo. Jo yang seperti biasa selalu cepat tanggap, segera merengkuh putranya yang terlihat bingung dengan situasi saat ini. Alila beranjak menghampiri Namira ... ya, seseorang yang sejak tadi ia perhatikan diam - diam. Alila segera membawa anak itu dalam peluknya. Anak itu tidak lagi menangis dengan keras. Namun air matanya terus mengalir meski pun ia diam. Menggambarkan kesedihan yang begitu mendalam, namun tak lagi tahu cara mengungkapkan. Ketiga kakak laki - lakinya berusaha menenangkannya dari tadi, namun tidak berhasil. Namira, gadis kecil itu, terus teringat dengan apa yang tadi dilihatnya. Ia menunggu di depan pintu kamar mandi kamar Theo begitu lama. Hingga ia merasa tidak tahan lagi. Ia tahu ada yang tak beres dengan Theo. Ia memutuskan membuka pintu kamar mandi yang ternyata tidak dikunci. Dan ia melihat Theo kakaknya sudah tergeletak. Serta darah - darah di sana - sini yang membuatnya sangat takut. Namira semakin takut begitu mengetahui bawah darah - darah itu berasal dari kakaknya. Namira menggoyangkan lengan Theo berulang kali, namun Theo tetap tidak bangun. Ia berteriak memanggil Mama. Ia terus menerus memanggil sampai lelah, namun Mama tidak kunjung datang. Hingga selanjutnya ia hanya bisa berteriak. Berharap ada orang yang mendengar dan segera menolong kakaknya. Semua terus terngiang dalam benak Namira hingga menciptakan trauma tersendiri. Baru saja Namira kecil merasa sedikit tenang karena pelukan hangat dari Alila. Kini ia kembali harus terguncang, karena situasi di lorong ini kembali menegang. “Gimana bisa kalian merahasiakan ini semua? Luna, kamu tahu. Kenapa kamu nggak bilang ke Mama?” Mama terlihat begitu hancur. Ia yang sedari tadi hanya bisa menangis, kini mulai mencari pelampiasan atas sakit hatinya. “Maafin Luna, Ma. Maafin Luna.” Luna terus menerus minta maaf. Ia bersandar pada dinding, terlalu lemas untuk menopang tubuhnya sendiri. Yulia dan Chico berada di dekatnya. Berusaha menenangkannya.   “Gimana Mama bisa nggak tahu? Theo ... Ya Tuhan … Theo ....” Sang Mama kembali menangis keras. Lintang beralih memegangi pundak Ibu tirinya itu. Takut kalau saja beliau tiba - tiba pingsan karena perasaan sedih yang terlampau besar. Ibu mana yang tidak terpukul jika tahu ternyata anaknya sedang sakit parah. Dan parahnya lagi beliau baru tahu saat keadaan Theo sudah sangat serius. Sementara sang kepala keluarga hanya duduk diam. Memikirkan semua kejadian yang terlalu tiba - tiba ini. Ia juga sangat terpukul. Meskipun hanya anak tiri, namun ia sudah menganggap Theo sebagai anak kandungnya. Ia juga sangat menyayanginya.   “Seharusnya kamu bilang sejak awal. Kamu anggap kami ini apa? Mama merasa begitu buruk karena baru tahu sekarang, Lun.”   Luna kembali menghapus air matanya. Namun pergerakannya terlihat berbeda kali ini. Ia menghapus air matanya dengan kasar. Kalimat terakhir yang baru saja diucapkan Mama, membuatnya merasa .... kesal mungkin. Seakan sang Mama meletakkan kesalahan sepenuhnya hanya pada dirinya.   “Kami ….” Luna akhirnya mengucapkan kata lain selain permohonan maaf. Yang berhasil membuat semua perhatian teralih padanya. "Sejak dulu Luna dan Theo selalu melakukan apa pun berdua. Tumbuh bersama, merasakan suka dan duka pun bersama.” Luna memberikan jeda sebentar sebelum melanjutkan kata - katanya. "Memang raga kami selalu berada dekat dengan Mama, tapi … tidak kah Mama merasakannya ... Bahwa kita ... begitu jauh?” Mama menatap Luna. Mendengarkan apa yang diucapkan putrinya dengan saksama. Terdapat rasa ingin menyela. Namun nalurinya sebagai seorang ibu akhirnya memilih untuk terus mendengarkan apa yang sedang coba disampaikan oleh putri sulungnya itu. “Apa Mama pikir Luna bener - bener nggak pengen kasih tahu kalian?” Luna meneruskan ucapannya. Yulia yang berada di sebelahnya mengeratkan pegangannya pada Luna. Berusaha memberinya kekuatan secara moril. “Kami tahu kalian begitu menyayangi kami. Ayah, Mas Lintang, Dion, Kian dan Nami. Kami pun menyayangi kalian. Sangat. Tapi kami sadar akan posisi kami. Kami tinggal menumpang di rumah kalian dan hidup enak. Sementara kami bukan siapa - siapa. Melakukan apa pun rasanya tidak nyaman. Namun kami berusaha bertahan karena kami … hanya ingin Ibu kami bahagia dengan keluarga barunya.” “Luna pun tidak mengerti sejak kapan kami menjadi terlalu nyaman membagi apa pun berdua saja. Sore itu setelah diagnosa Theo keluar, kami bicara banyak. Mencari cara dan waktu yang tepat untuk memberi tahu kalian semua. Tapi rupanya hal itu tidak lah mudah. Kami selalu bingung bagaimana harus memulai.” Air mata Luna kembali terjatuh. “Luna tahu Luna salah. Luna pun merasa begitu buruk, Ma. Luna merasa begitu bersalah. Tapi … Tidak kah Mama memikirkan perasaan Luna? Luna adalah satu - satunya anggota keluarga yang tahu. Selama ini Luna nggak pernah berhenti memikirkan bagaimana cara memberi tahu anggota keluarga yang lain. Luna memantau pengobatan Theo dari jarak jauh. Luna merasa menjadi kakak yang buruk karena justru meninggalkan Theo di saat yang sulit. Luna ….” Mama bergerak mendekati putri sulungnya itu, kemudian memeluknya dengan erat. Pelukan itu berhasil menghentikan kata - kata Luna. Mama sengaja melakukannya. Hati Luna pasti sangat sakit saat ini. Luna sudah banyak menderita selama ini., dan dengan bodohnya ia sempat menyalahkan putrinya tadi. “Maafin Mama, Sayang. Maafin Mama.” Tangisan mereka kembali pecah. Malam ini, untuk kedua kalinya sang Ibu merasa begitu hancur. Selain karena ketidak tahuannya mengenai kondisi putranya, juga karena membiarkan putri sulungnya menanggung beban yang sangat berat, sendirian. Tanpa memikirkan kesalahan fatal yang telah dilakukannya sendiri.   Kenangan - kenangan itu kembali muncul. Tuhan seperti sengaja menghukumnya. Membuatnya mengingat peristiwa - peristiwa itu, dengan begitu jelas.   *** I Love You Tante - Sheilanda Khoirunnisa *** -- T B C --
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD