Sebuah Chaos

1610 Words
Keluarga besar Theo mengadakan acara makan malam sederhana. Sebagai syukuran karena sang Ayah baru saja menang tender bisnis. Mereka mengundang beberapa orang terdekat. Theo pun diberi kuasa untuk mengundang teman - temannya. Siapa lagi yang diundangnya kalau bukan Tante Ali sekeluarga. Dan juga dua sahabatnya Chico dan Yulia. Sedangkan Luna yang tak punya banyak kenalan dekat, hanya mengundang Ifan. Luna melakukannya karena tak ada pilihan lain. Namun sepertinya Ifan mengartikan undangan itu dengan berbeda. Ia begitu senang ketika Luna mengundangnya untuk datang. Rasanya seperti pernyataan cintanya sudah diterima oleh Luna. Dari siang Luna sibuk membantu Mama dan juga para asisten rumah tangga untuk menyiapkan jamuan. Karena yang diundang para kerabat dekat, makanya mereka memilih mempersiapkan sendiri makanan yang ada. Supaya kesan kekeluargaanya lebih terasa. "Sayang, motong brokolinya jangan terlalu kecil." "Salah ya, Ma. Hehe." Luna malah nyengir. Maklum dia belum pernah belajar masak secara benar. Dari dulu hanya berdasarkan rasa sok tahu saja. "Nanti bisa terlalu lembek saat direbus," jelas Mama. Luna mengangguk tanda mengerti. Selesai memotong brokoli, ia beralih pada bahan - bahan lain yang belum tersentuh. Anggota keluarga yang lain juga ikut membantu para asisten rumah tangga menata ruangan yang akan digunakan untuk acara inti nanti. Jam menunjukkan pukul tujuh malam. Makanan sudah tersaji rapi di atas meja. Kursi - kursi yang mengelilingi meja itu berjumlah 50 buah. Disesuaikan dengan jumlah undangan. Para tamu mulai berdatangan. Mereka dipersilakan oleh para asisten rumah tangga. Ada di antara mereka yang memilih melihat - lihat ornamen antik dalam rumah itu dulu. Atau justru bersantai di gazebo, dan di tempat - tempat lain yang menurut mereka paling nyaman. Luna, Mama dan dan Ayah akhirnya turun, bertepatan dengan kedatangan Alila sekeluarga. Alila memakai simple dress berwarna cream. Sedangkan Jo memakai stelan tuxedo warna abu - abu. Dio kecil terlihat stylish memakai kemeja putih dan celana hitam, jangan lupakan dasi kupu - kupu warna merahnya. Di dalam sana Namira sedang didandani oleh seorang maid. Ia berada di ruang keluarga bersama tiga kakak laki - lakinya, Kian, Dion dan Lintang. Namira sebenarnya risih memakai dress renda - renda seperti itu. Tapi karena harus, ia mau tak mau menurut. Ketiga kakaknya di sana sebenarnya sudah rapi, tapi belum mau turun. Mereka menunggu Namira selesai dandan. Dan juga Theo yang malah belum keluar kamar. Para tamu yang sudah datang sedang bercengkrama satu sama lain. Karena para undangan kebanyakan berasal dari golongan konglomerat, yang dibicarakan tak jauh - jauh dari bisnis, bisnis dan bisnis. Ada di antaranya yang begitu antusias. Ada pula yang memasang senyum palsu. Chico dan Yulia baru saja datang. Bahkan sekarang mereka sudah tidak malu lagi saling bergandengan tangan seperti itu. Dari semua hadirin, mereka hanya mengenal Alila sekeluarga. Jadi Chico dan Yulia segera bergabung dengan mereka. ~~~~~ I Love You Tante - Sheilanda Khoirunnisa ~~~~~ Namira memandang puas pada refleksi dirinya dalam cermin. Rambut kriting gantungnya dikuncir kuda, dengan bando yang senada dengan dress biru mudanya. Katanya biar mirip Elsa. "Ya Tuhan, cantiknya adek Mas ini!" Lintang berhampur menggendong Namira, lalu mengecupnya berkali - kali. "Mas Lintang ... STOP! Nanti makeup Nami rusak." Gayanya sudah mirip 'Princess' sungguhan. Padahal semua masih ingat saat Namira ogah - ogahan didandani tadi. Dua kakanya yang lain hanya tertawa saja melihat tingkah adik mereka yang sungguh menggemaskan. "Turun yuk! Kayaknya udah banyak yang dateng," ajak Dion. "Tapi Theo belum keluar," jawab Kian. "Astaga! Mau dandan berapa lama lagi dia?" Dion balik bertanya sembari tertawa. "Jangan - jangan dia masih tidur kayak waktu itu." Namira meronta minta turun dari gendongan Lintang. "Mas - mas semua turun duluan aja. Biar Nami yang panggil Mas Theo. Awas aja kalau dia bener - bener masih tidur." Lintang, Dion dan Kian saling berpandangan. Menggeleng heran namun tertawa geli karena tingkah lucu Namira. "Baik lah, Tuan Putri." Tiga kakak itu kompak membunguk pada Namira. Bak prajurit kerajaan yang menuruti titah sang Putri Raja. Terang saja 'Syndrome Princess' Namira semakin tergugah. Lihat lah caranya mengibaskan rambut sok centil, yang akhirnya justru membuat tertawa kakak - kakaknya semakin keras. ~~~~~ I Love You Tante - Sheilanda Khoirunnisa ~~~~~ Seperti kebiasaannya, Namira langsung membuka knop pintu kamar Theo tanpa mengetuk. Namira berdecak heran melihat Theo yang masih duduk - duduk di pinggiran ranjangnya. Posisinya membelakangi Namira, sehingga Namira hanya bisa melihat punggungnya. Theo sudah rapi sebenarnya. Hanya saja Jas - nya masih tergantung. Belum dipakai. "Mas Theo, ayo! Udah ditungguin." Theo sepertinya baru menyadari kehadiran Namira. Ia menoleh. Namira terdiam begitu melihat wajah Theo. Kakaknya itu terlihat berbeda hari ini. "Nami duluan saja." Suara Theo terdengar aneh. "Tapi ...." Belum selesai Namira bicara, Theo beranjak dari posisinya. Ia berjalanan tertatih menuju kamar mandi di sudut ruangan. Namira hanya bisa menatap bingung. Bahkan Theo menutup pintu kamar mandi dengan begitu keras. Membuat Namira terkejut. Namira tidak mengerti ada apa dengan Theo. Yang jelas melihatnya seperti itu, membuat Namira enggan meninggalkannya. Gadis kecil itu memutuskan untuk menunggu. Ia duduk di pinggiran ranjang, tempat Theo duduk tadi. Ia kemudian memperhatikan kondisi sekitarnya. Bed cover ini terlihat kusut. Dan laci nakas di samping tempat tidur terbuka semua. Namira bisa melihat banyak botol warna putih berserakan di karpet. Bersama dengan butiran - butiran obat yang tercecer. Merasa cukup lama menunggu. Namira akhirnya beranjak. Ia mengetuk pintu kamar mandi. "Mas!" Tidak ada respon. Namira hanya mendengar suara gemericik air yang tak terlalu jelas. Gadis kecil itu akhirnya memutuskan untuk menunggu lagi. Berdiri di depan pintu kayu kokoh, yang kontras dengan tubuh mungilnya. ~~~~~ I Love You Tante - Sheilanda Khoirunnisa ~~~~~ Keluarga besar dan para undangan sudah duduk manis memutari meja makan. Acara inti akan segera dimulai. Suasana masih riuh karena mereka tetap mengobrol dan saling bercanda, sembari menunggu hingga acara benar - benar dimulai. Keluarga besar tuan rumah memiliki kursi khusus yang saling berdekatan. "Theo dan Nami belum turun?" tanya Ayah. Mama mulai bingung mencari - cari mereka juga. "Luna, mereka belum turun?" "Kayaknya emang belum, Ma. Luna juga belum lihat mereka," jawab Luna. Ifan di sampingnya menatap pada dua kursi kosong yang tersisa. Alila dan Jo yang duduk berseberangan dengan mereka juga melakukan hal yang sama. "Tadi Nami nyusul Theo ke kamarnya." Lintang menambahkan. "Soalnya dia masih belum keluar kamar. Padahal kita udah nunggu lama banget." Mendadak perasaan Luna tidak enak. Seharian ini ia terlalu sibuk mempersiapkan keperluan acara ini. Hingga ia tak terlalu perhatian dengan Theo. Bahkan ia hanya bertemu Theo sekali tadi pagi. "B - biar Luna ke atas." Tanpa menunggu konfirmasi dari siapapun Luna segera pergi dari sana. Alila, Jo, Ifan, Chico dan Yulia terlihat terus memperhatikan pergerakan Luna. Karena jujur saat ini perasaan mereka juga tidak enak. Luna mulai menaiki anak tangga satu per satu. Ia ingin segera sampai hingga membuat langkahnya terasa sangat lambat. Mendadak langkahnya terhenti. Ia mendengar sebuah teriakan. Luna menajamkan pendengarannya, berusaha fokus. Apakah suara itu benar ada, atau hanya halusinasinya saja. Dan rupanya teriakan itu kembali terdengar. Seperti suara Namira. Suaranya terdengar tak terlalu jelas karena suasana di bawah yang terlalu riuh. "Ya Tuhan, Jangan seperti ini. Tolong jangan seperti ini!" Luna seperti kehilangan arah. Bingung antara ingin langsung ke atas, atau turun dulu untuk meminta para tamu diam sejenak. Dan akhirnya ia memutuskan untuk turun. Melihat Luna seperti itu, Alila beranjak dari duduknya. Ia menghampiri Luna untuk memastikan apa yang terjadi. Sementara Jo segera menggendong Dio. Memberi kode pada Ifan untuk ikut berdiri bersamanya. Saat ini Jo tengah konsentrasi membaca gerakan bibir Alila dari sana. Setelah beberapa kali berucap, akhirnya Jo mengerti apa yang dikatakan oleh Alila. "Bisa mohon perhatian sebentar!" seru Jo. Satu kali belum ada respon yang berarti. Hanya beberapa saja yang mendengar. Hingga Jo kembali menuturkan kalimat yang sama dengan volume yang lebih keras. Kali ini berhasil. Semua orang akhirnya terdiam dengan pandangan yang tertuju padanya. Sebagian pada Ifan karena ia juga berdiri. Keluarga Theo yang lain terlihat bingung, dan justru menganggap kelakuan dua tamu itu sebagai sebuah kelancangan. Ada amarah yang tersirat dari sorot mata sang kepala keluarga. "Kumohon para hadirin diam dulu sebentar!" Ayah sebenarnya hendak menegurnya, namun ditahan oleh sang istri. Dan sedetik kemudian suara teriakan Namira terdengar lagi. Mereka semua mendengarnya dan akhirnya mengerti kenapa Jo dan Ifan tiba - tiba meminta mereka untuk diam. Mereka mulai mencari - cari dari arah mana suara itu berasal. "Nami ... itu suaranya Nami!" seru Mama yang segera beranjak dari duduknya. Disusul oleh suami dan ketiga anaknya yang lain. Jo dan Ifan ikut menyusul, juga Chico dan Yulia. Tersisa para hadirin yang hanya bisa duduk menunggu, mengira - ngira apa yang terjadi sebenarnya. Semakin dekat, suara Nami terdengar semakin jelas. Nami berteriak histeris berulang kali. Membuat mereka semakin panik. Luna dan Lintang segera menuju ke kamar Theo, karena mereka tahu Namira ada di sana. Pun demikian Kian dan Dion. Yang lain hanya mengikuti mereka. Begitu berada di kamar Theo, perhatian mereka terpecah. Sebagian pada meja nakas dan obat - obat yang tercecer. Sebagian lagi pada pintu kamar mandi yang terbuka. Luna menjadi orang pertama yang memutuskan untuk masuk ke kamar mandi itu. Begitu masuk, ia melihat Namira di sana. Nami kecil akhirnya berhenti berteriak begitu melihat Luna datang, namun ia masih terus menangis. Dan perhatian Luna langsung teralih, ketika menyadari bahwa ternyata saat ini Namira sedang menangis di samping tubuh Theo yang tergeletak. Luna segera berlutut, perlahan meletakkan kepala Theo di atas pangkuannya. Tubuhnya bergetar hebat melihat darah tercecer di sana sini. Paling banyak menggenang di wastafel. Luna lemas melihat Theo yang begitu pucat, dengan sisa darah yang mengalir dari sudut bibirnya. Dan Theo sama sekali tidak merespon ketika Luna memanggil namanya. Ifan dan Jo segera mengambil alih Theo. Mereka memberikan pertolongan pertama sebisanya, sembari menunggu ambulans datang. ~~~~~ I Love You Tante - Sheilanda Khoirunnisa ~~~~~ -- T B C --
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD