Menyadari pergerakan tak biasa Chico, Yulia melepaskan pelukannya. Ia terkejut melihat Chico jatuh berlutut, dengan Theo yang lunglai dalam dekapannya.
"Kenapa? Theo kenapa?" Yulia panik.
"G - gue nggak tahu." Amarah Chico menghilang entah ke mana, hanya tersisa rasa khawatir yang besar.
Yulia memegang kening Theo. "Astaga, dia demam!"
Chico merutuki kebodohannya. Sekujur tubuh Theo panas seperti terbakar. Dan ia baru menyadarinya sekarang.
"Kita bawa ke klinik aja!" saran Yulia.
Chico mengangguk menyetujui. Namun Otak Chico seperti buntu saking khawatirnya. Saat ini ia tengah dihantui oleh rasa bersalah yang begitu besar.
"Chico, lo tunggu apa lagi? Cepet angkat dia!" Yulia pun semakin panik.
Chico mematuhi perintah Yulia. Mereka berlari secepat mungkin menuju klinik sekolah.
~~~~~ I Love You Tante - Sheilanda Khoirunnisa ~~~~~
Chico menidurkan Theo di salah satu ranjang. Yulia berlari keluar. Sekolah sedang sepi karena hari - hari non aktif seperti ini jarang murid yang datang ke sekolah. Kebanyakan hanya menunggu pengumuman remedial di rumah. Yulia menuju ke kantor guru untuk menemui pembina PMR. Karena dokter di klinik sedang tidak ada di tempat.
Chico perlahan melepaskan coat yang dipakai Theo. Ia bingung apa yang harus ia lakukan. Theo berkeringat banyak sekali. Belum ada tanda - tanda bahwa ia akan segera sadar.
Kenapa? Apa pukulannya tadi yang membuat Theo seperti ini? Seharusnya ia sadar lebih awal bila Theo sakit. Kenapa juga Theo datang bila tahu kondisinya sedang tidak baik? Ah ... tentu saja karena Chico yang memaksanya terus menerus.
Yulia datang bersama dengan pembina PMR. Untung saja beliau sedang masuk. Yulia dan Chico tak tahu harus bagaimana bila beliau ikut - ikutan meliburkan diri hari ini.
"Denyut nadinya pelan sekali. Dia juga demam tinggi. Apa dia mengeluhkan sesuatu tadi?" tanyanya.
Yulia dan Chico saling berpandangan. Chico akhirnya menjawab. "Dia nggak mengeluh apa - apa. T - tapi sepertinya perutnya sakit."
Pembina segera memeriksa perut Theo. Menekannya di bagian - bagian tertentu. Dan ia berhenti ketika menemukan sumber masalahnya. "Dia punya maag sepertinya. Ck ... kenapa malah datang ke sekolah dalam keadaan begini? Apa ada remedial?" tanyanya lagi.
Chico dan Yulia saling berpandangan lagi, lalu kompak menggeleng. Chico kemudian menunduk dalam. Semakin merasa bersalah.
Tiba - tiba Theo sadar. Matanya perlahan terbuka. Begitu sadar sepenuhnya ia akhirnya tahu bahwa dirinya ada di klinik. Ia menatap Chico, Yulia dan Guru Pembina di sana.
Theo bangkit dari pembaringannya. Ia mengerang pelan karena perutnya masih sangat sakit.
"Jangan bangun dulu!" Pembina berusaha menghentikannya.
Namun sepertinya Theo ingin melakukan sesuatu. Itu lah yang membuatnya meneruskan pergerakannya.
"Theo, lo mau ke mana?" Yulia kali ini.
Merasa terlalu lemas untuk meneruskan niatnya, masih dalam duduknya, ia membungkuk ke sisi ranjang. Theo memuntahkan cairan merah kehitaman cukup banyak. Cukup untuk membelalakan semua mata yang ada di sana.
"Ya Tuhan ... darah!" Yulia histeris melihatnya.
Pembina PMR mengurut tengkuk Theo. Theo terengah hebat. Perutnya sakit sekali setiap kali muntah. Kepalanya berdenyut tak keruan.
"Kamu, gantikan posisiku di sini. Cepat!" Pembina berteriak pada Chico.
Chico rupanya masih terlalu terkejut dengan semua yang baru saja dilihatnya. Sehingga ia tetap berdiri mematung di tempatnya.
"Cepat! Jangan mengulur waktu!"teriak Pembina sekali lagi.
Chico segera menuruti permintaan Pembina untuk memegangi tubuh Theo agar tidak jatuh.
Pembina itu keluar dari Klinik. Terdengar dari sini ia sedang menelepon. Yulia hanya bisa diam memegangi sisi lain tubuh Theo. Theo sudah berhenti muntah. Kepalanya lunglai bersandar pada Chico di belakangnya.
Chico mengode Yulia untuk melepaskan pegangannya. Yulia menurut. Chico mengembalikan Theo pada posisi berbaring. Chico ngeri melihat muntahan Theo di lantai. Dan juga sisa - sisa darah di sekitar mulut Theo.
Tak terlalu lama sampai suara sirine ambulan terdengar. Hal yang jarang terjadi di sekolah, sehingga mencuri perhatian segelintir orang yang ada di sana. Mereka berkasak - kusuk sendiri tentang apa yang terjadi.
Beberapa ikut melihat saat Theo dibawa menuju ke dalamnya. Bersama dengan Chico, Yulia, dan guru Pembina yang ikut bersama.
Yulia melirik pada Chico di sisi kirinya. Ia mengulurkan tangannya, menggenggam jemari Chico. Meskipun ia sendiri takut dan khawatir, ia ingin menenangkan Chico. Yulia tahu pasti Chico sedang merasa amat bersalah.
~~~ I Love You Tante - Sheilanda Khoirunnisa ~~~
Chico, Yulia, dan Guru Pembina bisa melihat aktivitas medis di dalam sana. Tempat Theo sedang dirawat. UGD ini berdindingkan kaca bening, sehingga memungkinkan para penunggu pasien untuk memantau.
Cukup lama sebelum akhirnya Theo dipindahkan ke ruang perawatan. Kini Chico, Yulia dan, Guru Pembina bisa melihat keadaan Theo dari jarak dekat. Theo masih terlihat sangat pucat. Mereka hanya bisa menatap prihatin.
"Kami memberinya obat penenang. Jadi dia akan tidur cukup lama," ucap Dokter itu.
"Tapi keadaannya bagaimana?" tanya Guru Pembina. Chico dan Yulia belum berani buka suara.
"Untuk saat ini sudah tidak apa-apa. Sebenarnya dia ini pasien kami. Setelah dia bangun nanti keadaannya akan membaik. Tapi tetap harus dirawat intensif sampai keadaannya benar - benar pulih. Anak ini memang sedikit keras kepala, tapi biasanya dia bertanggung jawab dengan keadaannya sendiri. Sudah lama penyakitnya tidak kambuh separah ini. Mungkin dia stres atau sedang ada masalah."
"Kalau boleh tahu, dia sakit apa?"
"Maafkan karena saya nggak bisa mengatakannya. Dia sendiri yang bilang pada saya untuk tidak memberitahu siapapun. Hanya kakaknya saja yang tahu tentang penyakitnya."
Guru Pembina mengangguk mendengarnya. Ia baru tahu jika ternyata Theo memang sakit. Chico dan Yulia pun juga baru tahu. Chico akhirnya tahu kenapa dulu Theo sering sekali tidak masuk tanpa keterangan. Pasti karena penyakitnya itu.
"Baiklah. Saya permisi dulu." Dokter itu berpamitan. "Ah ... kartu asuransinya sudah ada pada kami. Jadi tidak perlu ke bagian administrasi." Tambahnya sebelum benar - benar pergi.
Baguslah kalau begitu, tadinya mereka bertiga sudah bingung mau membayar dengan uang siapa.
"Lo denger, kan? Dia memang sakit. Jadi buang rasa bersalah lo itu!" Yulia menepuk pelan bahu tinggi Chico.
"Tapi bisa jadi dia stres karena gue selalu nekan dia akhir - akhir ini." Chico masih mengelak.
"Lo pikir lo semengerikan itu sehingga Theo sampai stres karena tekanan lo?" Skak mat dari Yulia.
Benar juga. Theo bahkan seperti tak punya rasa takut dengan apapun. Jadi mustahil Theo takut padanya.
Yulia memang khawatir dengan keadaan Theo saat ini, namun di sisi lain juga senang melihat Chico yang terlihat sudah kembali berubah, menjadi sosok Chico yang dirindukannya.
"Dia pasti sedang ada masalah lain," lanjut Yulia.
Chico mengangguk. "Tapi gue tetep merasa bersalah. Sebagai orang yang mengaku sebagai temennya, gue udah jahat banget sama dia."
"Dia juga pernah sangat jahat sama lo. Jadi anggep aja kalian impas."
Chico tersenyum. "Gue juga banyak salah sama lo. Gue bener - bener minta maaf. Gue juga nggak tahu kenapa gue bisa jahat banget."
"Gue emang takut banget dengan perubahan lo itu, tapi kurang lebih gue ngerti kok. Jadi nggak ada yang perlu dimaafin."
Mereka saling berpandangan cukup lama, lalu tertawa bersama setelahnya. Salah tingkah sendiri. Guru Pembina di sana hanya menggeleng heran. Ia belum tahu apa masalah di antara mereka bertiga sebenarnya. Sampai Theo yang sedang sakit nekat berangkat ke sekolah. Tapi ia memaklumi urusan pribadi murid - muridnya itu. Gejolak hati para remaja menjelang dewasa.
"Bapak mau keluar cari kopi. Kalian mau?" tanya Pembina.
"Boleh, Pak," jawab Chico cepat.
"Saya juga mau satu." Yulia nyengir ikut nimbrung.
Setelah Guru Pembina pergi dari sana, Chico dan Yulia melanjutkan obrolan mereka.
"Please janji, lo bakal balik jadi Chico yang dulu."
Chico mengangguk. "Gue janji."
~~~ I Love You Tante - Sheilanda Khoirunnisa ~~~
-- T B C --